Suara Sejati
Aku Cuma Punya Yesus (Bagian Pertama)
Sdri. Novi Candra Dewi, Gereja cabang Cilacap
Nama saya Novi Candra Dewi, jemaat Gereja Yesus Sejati cabang Cilacap. Tetapi saya sudah belasan tahun tinggal di Jakarta.
Pada awal bulan Juli 2020, anak bungsu saya naik kelas 3 SD. Beban pelajarannya semakin banyak dan semakin sulit. Saya sering terbeban memikirkan dan mengkhawatirkan kalau-kalau dia tidak naik kelas. Apalagi si bungsu agak berbeda dengan kakaknya—yang lebih terbiasa bersosialisasi.
Saya pun harus memikirkan kehidupan ekonomi keluarga sehari-hari. Sejak masa pandemi, saya semakin sulit berjualan. Sebelumnya, saya menjual sayur matang dan makanan lainnya di sekolah. Namun, sejak pandemi semua murid belajar online di rumah. Saya pun semakin pusing memikirkan bagaimana caranya mencari nafkah.
Sudah sekian lama suami saya sakit-sakitan, sehingga tidak bisa bekerja. Saya semakin tertekan. Hampir setiap malam saya tidak bisa tidur, karena terbeban oleh banyak pikiran. Mungkin karena itu akhirnya saya jatuh sakit.
Awal gejalanya adalah terasa mual, pusing dan tidak nafsu makan. Saat saya memeriksakan diri ke dokter, saya diberi obat maag. Namun, sudah sampai dua minggu tidak ada perubahan juga. Malahan, berat badan saya terus menurun, lidah berwarna putih, tubuh menjadi lemas, dan indera penciuman tidak lagi berfungsi. Tentu saya semakin stress, sebab menurut orang-orang, ciri ciri penderita COVID-19 seperti itu. Dalam doa saya memohon belas kasihan-Nya, “Tuhan, bagaimana jika saya sungguh-sungguh terkena virus corona? Padahal anak-anak masih kecil.”
Tanpa terasa, sudah dua bulan saya menderita sakit perut. Terpaksa saya kembali berobat lagi. Dokter menyarankan saya untuk diperiksa lebih teliti melalui USG dengan biaya sebesar 930 ribu Rupiah. Saya langsung berpikir, “Uangnya dari mana?”
Akhirnya, saya meminta rujukan dari klinik ke Rumah Sakit Hermina. Pertama saat tiba di rumah sakit rujukan, keluhan saya dicatat petugas medis, yaitu: perut sakit, BAB berdarah, timbangan menurun, dan tidak nafsu makan. Setelah itu, dokter meminta saya untuk menjalani pemeriksaan dengan USG dan pemeriksaan darah. Hasilnya: ureum rendah dan leukosit sangat rendah.
Dokter menduga bahwa rendahnya angka yang didapat berhubungan dengan permasalahan fungsi hati. Setelah hasil USG keluar, dokter menyampaikan bahwa ada pembengkakan di organ hati. Tetapi dokter mau memastikan diagnosanya, sehingga ia meminta saya untuk menjalani CT scan.
Saya mengikuti anjuran dokter. Hanya, saat saya akan menjalani CT scan, daya tahan tubuh saya menurun. Tubuh terasa lemas, perut terasa sangat tidak nyaman. Namun, saya tetap memaksakan diri untuk mengendarai motor sampai ke rumah sakit—karena saat itu juga suami sedang sakit tidak dapat mengantar. Sesampainya di rumah sakit, melihat kondisi saya yang begitu lemah, dokter menyarankan agar saya rawat inap. Tetapi saya menolak, karena khawatir takutnya tertular virus corona.
Seminggu kemudian, saya memeriksakan diri lagi ke rumah sakit tersebut. Dokter yang melihat hasil pemeriksaan berkata, “Ibu sih, semua hal dipikirin, ayo semangat! Ibu orang Kristen? Sama bu, saya juga Kristen. Obat dari semua penyakit itu hanya satu, yaitu: happy. Sebab hati yang gembira adalah obat yang mujarab. Ayo bu, semangat dan kita lanjutkan pengobatan ini. Saya akan dampingi sampai ibu benar-benar sehat. Namun, kuncinya ibu harus happy, ok bu?”
Kemudian, dokter menjelaskan bahwa diagnosa terkini penyakit saya ternyata….
Kesaksian ini akan dilanjutkan pada bagian terakhir
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin