Suara Sejati
Manfaatkan Peluang
“Sdr. Fredy Lie, Gereja cabang Daan Mogot, Jakarta Barat”
Selama pandemi, memang sulit melakukan penginjilan. Namun Tuhan membuka mata saya untuk mencari kesempatan baik.
Saya sudah memakai kacamata sejak lama. Namun sejak tahun 2019, masalah penglihatan yang cukup serius dialami mataku, terutama yang sebelah kanan. Pertengahan tahun 2020, aku ke dokter spesialis mata. Ternyata mata sebelah kananku katarak, dan dokter menyarankan operasi.
Tetapi karena usiaku baru 47, aku merasa tidak yakin akan hal itu, lalu mengabaikan diagnosa dokter. Aku mengakali keadaan mataku dengan mengenakan kacamata berbagai ukuran. Ada yang jarak jauh, ada yang dekat.
Seiring berjalannya waktu, kacamataku terasa semakin tidak pas. Apalagi saat bekerja memakai laptop. Rasaya sangat tidak nyaman. Kacamata jarak dekat hanya bisa aku pakai untuk jarak pandang 20 cm. Di luar itu, penglihatan akan berbayang.
Setelah konsultasi dengan dokter berbeda, hasil diagnosanya tetap sama: harus operasi. Aku lalu berdiskusi dengan istri. Akhirnya kami sepakat untuk mengikuti saran dokter. Karena menggunakan BPJS, aku harus melalui prosedur yang sangat panjang. Aku sempat menjadi kecewa dan menunda rencana operasi.
Pertengahan Januari 2021, aku mendatangi rumah sakit yang dirujuk BPJS untuk melanjutkan rencana operasi. Seperti diagnosa sebelumnya, dokter menyatakan mata kananku mengalami katarak, sudah 80% katanya. Bersyukur, Tuhan memberikan dokter yang baik dan rumah sakit yang nyaman. Tidak perlu antri terlalu lama.
Operasi dijadwalkan pada tanggal 22 Januari 2021. Aku menjadi kuatir, namun istri menemaniku berdoa. Aku juga mencoba mendoakan pasien lain yang sedang antri untuk operasi. Hari itu, aku adalah pasien katarak yang usianya termuda.
Puji Tuhan, operasi berjalan lancar. Waktunya hanya sekitar 15 menit. Setelah operasi, terasa sekali pandangan mata jadi jauh lebih terang!
Sekitar dua minggu setelah operasi, ada keinginan untuk membagikan pamflet gereja kepada dokter yang memeriksa mataku. Tetapi aku bingung caranya. Aku tidak pernah menginjil.
“Harus mulai dari mana?”
“Bagaimana bicaranya?”
“Kalimat pertamanya apa?”
“Kalau ditolak bagaimana?”
Sekian banyak pertanyaan membuatku menjadi ragu. Jadi aku mengurungkan niat, dan hanya membawa perkara ini dalam doa.
Bersyukur, saat itu gereja mengadakan pelatihan penginjilan. Aku lalu mengikuti pelatihan ini. Ternyata ada banyak sukarelawan dari berbagai cabang gereja yang pernah melakukan penginjilan.
Aku melihat mereka begitu semangat, sehingga semangatku yang sudah hampir padam pun kembali berkobar! Aku meminta tolong ke pengurus gereja untuk mengirim beberapa pamflet dan majalah rohani ke rumah.
Akhirnya hari konsultasi dengan dokter tiba. Aku berdoa memohon keberanian untuk memberitakan injil. Di akhir sesi konsultasi, aku memberanikan diri dan menyerahkan bacaan rohani itu ke dokter.
Di luar dugaan, dokter memberi tanggapan positif dan menerima amplop berisi pamflet dan majalah rohani Gereja Yesus Sejati. Dokter mengucapkan terima kasih. Katanya, dia senang bisa mendapat majalah rohani berupa hard-copy, yang dirasa jauh lebih baik bagi mata daripada melihat secara online.
Memang proses penginjilan ini sederhana; hanya membagikan pamflet. Tapi aku butuh sekian waktu bergumul, karena aku bukan tipe orang yang luwes bergaul. Aku tidak pernah menginjil. Jadi saat aku berhasil melakukannya, rasanya senang sekali. Hati terasa lega.
Tentu aku berharap Tuhan menggerakkan hati dokter itu. Suatu saat biarlah benih firman bisa tumbuh dalam hatinya. Aku cuma memanfaatkan peluang untuk menabur benih. Biarlah Tuhan yang memberi pertumbuhan.
“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya…” (2 Timotius 4:2)
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus,
amin.