Suara Sejati
Menapaki Tiga Iman Bag 2
“Sdri. Arry Widarti, Gereja cabang Fatmawati, Jakarta Selatan”
Namun sudah delapan bulan aku seperti “terperangkap,” menerima pelajaran Alkitab setiap hari.
Di puncak kejenuhan, akhirnya aku berkata, “Cukup sudah, terima kasih, aku beragama lain.” Namun dia masih tidak putus asa. Malah dia memberikan alamat Gereja Yesus Sejati di Fatmawati di Jakarta Selatan. Kami sepakat untuk tidak berkomunikasi lagi sebelum aku berkunjung ke alamat itu.
Setiap melalui ruas jalan Fatmawati yang panjang itu, entah mengapa aku tidak pernah menemukan Gereja Yesus Sejati. Aku pikir seharusnya berbentuk bangunan besar seperti gerejaku, tetapi tidak pernah terlihat. Setelah beberapa waktu, kenalan di New Zealand itu menanyakan kabar. Setelah mengetahui masalahnya, dia memberikan alamat lain, Gereja Yesus Sejati Sunter, ditambah dengan nama seorang jemaat di sana.
Karena Sunter dekat dengan rumah anakku, di suatu Sabtu pagi aku mencoba berkunjung ke alamat itu dan akhirnya aku menemukannya. Aku mencoba mengikuti ibadah mereka dari pagi sampai siang.
Aku hanya terdiam saat mendengar mereka berdoa dalam bahasa yang tidak kumengerti. Sebelum pamit pulang, aku diberikan nama seorang jemaat di Gereja Fatmawati.
Suatu malam di rumah, aku berdoa dengan cara yang telah diajarkan di Gereja Yesus Sejati, yaitu mengucapkan Haleluya.
Mendadak lidahku mulai bergetar, mengeluarkan bahasa yang tidak aku mengerti. Tentunya aku merasa sangat terkejut. Aku segera berhenti berdoa. Bagiku ini adalah hal yang tidak biasa.
Aku segera menghubungi kenalan di New Zealand itu. Dia bertanya, “Apa tadi kamu berdoa dalam nama Tuhan Yesus?” Saat aku mengiyakan, dia berkata, “Jangan takut. Teruskan berdoa. Pastikan soal ini kepada pendeta di alamat yang telah aku berikan.”
Setelah itu aku kembali berdoa, dan aku kembali mengalami sensasi yang sama. Lidahku bergetar mengucapkan bahasa yang tidak kumengerti, tetapi dalam hati ada rasa lega yang luar biasa.
Hari Sabtu pun tiba. Aku mendapat telepon dari jemaat Gereja Fatmawati. Katanya mereka akan datang menjemput ke rumah. Sejak saat itu, tiap Sabat aku mulai rutin datang beribadah. Aku mulai bisa fokus belajar firman Tuhan. Akhirnya aku menjalani katekisasi dan bertekad untuk dibaptis ulang, sesuai dengan cara di Alkitab.
Dua bulan sebelum tanggal baptisan, sendi lututku bengkak sehingga aku tidak bisa berlutut. Tanggal 31 Januari 2015 adalah hari baptisan, dan lututku masih terasa sakit.
Tetapi aku bertekad berlutut, apapun resikonya. Bahkan waktu itu aku berpikir, kalau Tuhan mau ambil nyawaku, saat itu aku sudah siap secara mental.
Kami pergi ke sebuah pantai di wilayah Ancol. Saat tiba giliranku, sama seperti peserta lainnya, pendeta mengucapkan, “Dalam nama Tuhan Yesus membaptis,” lalu seluruh tubuhku diselamkan ke dalam air laut. Aku tidak memperhatikan kondisi lutut lagi, mungkin karena terlalu bahagia bisa menjalani baptisan air. Bahagia sudah terbebas dari semua hutang dosa.
Lalu kami kembali ke gereja. Saat menerima Sakramen Basuh Kaki dan Perjamuan Kudus, aku doa berlutut. Saat itulah aku baru sadar, ternyata lututku sudah tidak sakit lagi! Aku sudah sembuh! Aneh sekali. Padahal tadi lututku masih bengkak. Jelas-jelas masih sakit. Bahagia sekali hari itu!
Bukan cuma bebas dari hutang dosa, melainkan juga bebas dari keluhan sakit yang sudah mengganggu sekian bulan itu. Sesudah enam tahun berlalu, sampai saat aku menulis kesaksian ini tanggal 8 Februari 2021, penyakit itu tidak pernah kambuh lagi.
Sejak dibaptis, aku merasa ada kewajiban untuk mengabarkan kasih Yesus. Aku mencoba memberitakan injil ke keluarga inti. Aku pun meminta tolong kenalan di New Zealand itu untuk menghubungi suamiku yang saat itu sudah lebih dulu berada di sana.
Puji Tuhan, suami bersedia dijemput untuk ikut ibadah ke Gereja Yesus Sejati di kota Christchurch. Kenalan itu seorang jemaat di sana.
Setiap orang butuh proses. Suamiku mau diajak ibadah ke Gereja Fatmawati, namun belum mau dibaptis. Suamiku punya pola pikir sendiri. Setiap orang butuh proses. Sejak tahun 2019, suami berada di New Zealand karena suatu urusan.
Sebagai istri, aku tetap mendoakan dan berusaha, karena aku percaya Tuhan Yesus mengasihi setiap manusia. Aku yakin bahwa proses sejak lahir sampai dewasa bukan suatu kebetulan. Semua terjadi karena campur tangan dan pertolongan Tuhan (Yes 44:2a).
Dia menuntun hidupku, setahap demi setahap, mengenal keselamatan di dalam nama-Nya. Aku sadar bahwa aku harus setia sampai akhir hidup, supaya dapat mencapai tujuan akhir hidup tiap manusia, yaitu hidup kekal dalam kerajaan surga. Sungguh, Tuhan itu Maha Esa, hanya satu. Nama-Nya adalah Yesus.
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus,
amin.