Suara Sejati
Walau Sukar Tetap Mekar
“Sdri. Go Li-Ciang, Gereja cabang Surabaya”
Tanggal 30-31 maret 2018, kami sekeluarga mendapat kesempatan mengunjungi kota Banjarmasin. Bersama tim paduan suara Gereja Surabaya, kami melakukan pelayanan di Gereja Banjarmasin. Perjalanan itu membangkitkan kembali kenangan lama yang cukup menghanyutkan perasaanku. Aku jadi teringat lagi potongan kisah hidupku di masa lalu.
Di rumah kami memang banyak hewan peliharaan, terutama burung. Berbagai jenis burung dikoleksi, mulai dari yang umum sampai yang langka. Ini hiburan Ayah. Saat jenuh dengan urusan kerja di toko kaca miliknya, Ayah akan terhibur dengan banyak hewan peliharaan ini. Bahkan rumah kami pernah masuk surat kabar di Banjarmasin, dengan judul berita “Taman Burung Mini”.
Aku lahir di Banjarmasin, anak ke-enam dari delapan bersaudara. Orang tua kami berbeda agama. Ayah seorang Kristen, jemaat Gereja Yesus Sejati sejak masa mudanya. Sedangkan ibu beragama lain. Sejak kecil kami terbiasa mengikuti agama kedua orang tua kami. Dua-duanya kami ikuti. Saat ibu sembahyang, aku ikut menemani. Namun aku juga ikut Sekolah Minggu di Gereja Yesus Sejati, walau tidak terlalu aktif dan sering membolos.
Guru Sekolah Minggu sering besuk ke rumah kami. Kalau dia datang, aku pasti bersembunyi. Tapi tiap kali gereja mengadakan acara kenaikan kelas akhir tahun, aku selalu diundang. Tiap anak mendapat hadiah. Tapi hadiah yang aku terima berbeda. Aku tahu isinya pasti selalu pensil dan buku. Berbeda dengan teman-teman lain, mereka mendapat hadiah yang bagus-bagus. Memang ada rasa iri, tapi aku tetap malas ke gereja.
Ada sebatang pohon ceri di halaman rumah yang sering kupanjati. Dari pohon itu aku bisa menuju ke atap rumah. Biasanya aku memanjat pohon sambil membawa uwak-uwak, sejenis kera tanpa ekor, yang kuberi nama “Mercy”. Ini hewan kesayanganku, yang sering kuajak masuk kamar saat tidur.
Ayah marah kalau tahu aku memanjat pohon saat sudah malam. Katanya, itu pamali. Memang orang bilang aku tomboy. Entahlah, kadang bermain seperti ini terasa lebih menyenangkan dibandingkan masuk kelas Sekolah Minggu.
Suatu hari saat aku kelas dua SMP, Ayah mengumpulkan kami. Untuk pertama kalinya, aku melihat mata Ayah berkaca- kaca. Katanya, kami sudah tidak punya uang. Mendung menggantung di wajah Ayah.
Ternyata Ayah mengalami kebangkrutan. Rumah kami disita oleh Bank. Dan rumah yang kami tempati sementara selama ini ternyata milik Paman. Ekonomi keluarga kami sedang sulit. Ibu akhirnya menjual cincin kawinnya. Adikku, anak ketujuh yang paling rajin menabung di antara kami, menyerahkan tabungannya kepada Ibu.
Kami lima bersaudara pindah ke kota Malang, menyusul tiga kakak yang sudah lebih dulu berada di sana. Kata orang seimbang itu adil dan menyenangkan. Aku kurang setuju. Memang seimbang, tiap kamar empat anak. Tetapi ini kan karena tidak ada pilihan. Kami delapan bersaudara, memang terdiri dari empat laki-laki dan empat perempuan. Kami berdesakan tinggal di sebuah kontrakan kecil, yang cuma punya dua kamar.
Ayah dan Ibu tidak ikut kami. Mereka harus tinggal di Lampung, Sumatera. Kami tentu merasa sedih. Aku kadang menangis bersama dengan adik bungsu.
Kami menangis kadangkala karena merasa hidup kami menjadi susah, kadangkala karena rindu dengan orang tua. Penghubung kami saat itu hanya lewat surat. Kami tidak memiliki telepon dan saat itu internet belum ada.
Setelah beberapa waktu, orang tua kadang datang. Waktu datang menengok kami, ayah terlihat bangga saat mengeluarkan sesuatu untuk ditunjukkan kepada kami: Sepotong baju satpam. Ternyata ayah bekerja sebagai satpam di Lampung, menjaga sebuah gudang hasil bumi.
Di kota Malang, aku jadi tidak selera makan. Makanan di sana terasa berbeda dengan yang biasa kumakan. Bahkan nasinya pun terasa berbeda. Jadi aku makan bubur dan roti saja. Perlahan-lahan aku baru bisa menyesuaikan. Kata orang, aku jadi pendiam, tidak seperti saat di kota kelahiran. Entahlah, aku memang jadi malas bicara.
Aku didaftarkan ke sebuah sekolah di Malang. Hanya sekolah ini yang masih mau menampung murid pindahan, apalagi memang kami sudah mau ujian semester dua.
Awalnya aku merasa risih, karena teman sekelas heboh melihat aku, seorang murid pindahan luar pulau. Apalagi aku tidak bisa bahasa Jawa. Tapi mereka baik kepadaku. Saat pelajaran bahasa Jawa, mereka banyak membantuku. Guru bahasa Jawa pun tutup sebelah mata, tidak memberikan nilai merah di rapor.
Para kakak sering berdiskusi, tetapi mereka tidak pernah mengajak aku. Mereka menganggap aku masih kecil. Mereka selalu menunggu aku dan Adik tidur, baru mereka mulai berdiskusi. Namun, aku sering pura-pura tidur. Aku tahu kok apa yang sedang mereka katakan, hanya saja memang aku tidak tahu jalan keluarnya.
Kakak nomor tiga memutuskan untuk berhenti kuliah dan mengambil pekerjaan. Dia memilih berkorban untuk keluarga. Kakak seperti sebatang lilin yang dibakar, supaya kami tetap terang dan hangat.
Kakak yang lain lalu mencoba membuat kopi sendiri. Menggiling biji kopi, memasak, lalu memasukkan bubuk kopi ke dalam kemasan kecil untuk titip jual di toko-toko kecil. Kakak juga mulai coba-coba menjual baju. Aku juga ikut berjualan ke teman-teman sekelas, dengan cara boleh dicicil bayarnya.
Di Malang, kami mengikuti komsel yang lokasinya bergiliran, termasuk di rumah kontrakan kami. Komsel itu dilayani Gereja Yesus Sejati dari Surabaya, yang diadakan dua minggu sekali. Tujuannya untuk melayani jemaat dan simpatisan yang sebagian besar adalah pelajar dari Banjarmasin. Aku mulai mendengarkan firman Tuhan dengan serius. Yang dulu terasa membosankan, sekarang menjadi sesuatu yang menenangkan hati.
Kami terus bertumbuh dalam iman. Saat mengalami masalah, kami belajar untuk menyerahkan semuanya dalam doa, kepada satu nama yang sungguh berkuasa, yaitu Yesus. Akhirnya, tanggal 29 Juli 1989, aku menerima baptisan di Gereja Yesus Sejati.
Titik balik ini bukan cuma dirasakan oleh aku dan saudaraku. Belakangan, Mama juga berubah. Akhirnya Mama pun di baptis di Gereja Yesus Sejati. Sampai akhir hayatnya, Mama tetap di dalam Tuhan Yesus.
Setelah cukup lama meninggalkan kota kelahiranku, Banjarmasin, baru kali ini aku bisa kembali menginjakkan kaki ke sana. Sungguh, dalam masa sukar, Tuhan tetap memelihara kami, sehingga semua masih bisa makan dan bersekolah.
Lalu perlahan, Tuhan Yesus memulihkan ekonomi keluarga kami. Tetapi yang lebih penting, Tuhan Yesus memulihkan iman keluarga kami. Sehingga walau sukar, iman kami tetap bisa mekar.
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus,
amin.