Suara Sejati
Jalur Undangan
“Sdri. Dewi Widjaja, Gereja cabang Jakarta”
Debora, anak kedua kami sudah duduk di kelas 3 SMA yang artinya akan segera lulus dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang perkuliahan. Tentunya, kami sebagai orangtua berharap Debora juga bisa masuk ke Universitas Indonesia (UI) di Depok, seperti Dian, kakaknya. Selain karena UI adalah salah satu universitas terbaik di negara ini, biaya kuliahnya juga tidak mahal.
Kami sudah mendoakan Debora sejak tahun lalu dia naik kelas 3 SMA dan berharap, kalau bisa masuk tanpa harus bertarung di jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), karena dia sama sekali tidak mengikuti les atau bimbingan belajar manapun.
Januari 2020, saatnya pengumuman murid yang berhak ikut mendaftar jalur khusus yang disebut Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Jalur ini merupakan jalur undangan (tanpa tes tertulis) berdasarkan nilai rapor semester satu sampai semester lima dan reputasi sekolah. Akan tetapi, peluang dari jalur ini tidak besar, karena akan diseleksi beberapa tahap. Di tahap awal, diambil 40% dari seluruh siswa kelas 12 (3 SMA).
Di sekolah Debora, terdapat lima kelas Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan tiga kelas Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang setiap kelasnya ada 36 siswa, sehingga total siswa saat itu ada 288 Siswa. Puji Tuhan, Debora termasuk dalam 40% yang berhak ikut seleksi ini. Walaupun sudah melewati tahap awal, Debora akan diseleksi lebih ketat lagi di tahap akhir.
Tahap akhir seleksi ini hanya menyisakan 20% dari 40% tahap awal tersebut. Jadi hanya 23 siswa dari total 288 siswa yang bisa diterima tanpa tes tertulis, di beberapa universitas negeri unggulan seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Indonesia Depok, dan lainnya. Itupun masih menyisakan kekhawatiran terakhir, yaitu: Jangan sampai siswa “salah memilih jurusan,” dikarenakan jurusan tertentu persaingannya sangat ketat.
Saat mengisi formulir seleksi, kami bingung jurusan apa yang harus diambil. Tetapi setelah konsultasi dengan guru BK, pertemuan orangtua dan diskusi dengan teman, akhirnya Debora memutuskan untuk mengambil jurusan gizi. Awalnya sempat ragu, karena jurusan gizi dari tahun-tahun sebelumnya di sekolah ini tidak pernah ada yang berhasil lolos seleksi, karena peluangnya sangat kecil. Daya tampung jurusan gizi, hanya untuk 18 siswa dan diperebutkan peminat dari seluruh sekolah di Indonesia. Berdasarkan data di tahun sebelumnya, tingkat persaingan di jurusan gizi sedikit lebih ketat dari jurusan kedokteran di UI.
Kami hanya bisa berdoa rutin selama berbulan-bulan. Setiap malam sekeluarga bersatu hati menyerahkan semuanya kepada Tuhan Yesus, karena kami percaya apa yang mustahil bagi manusia, tidak ada yang mustahil bagi-NYA. Tetapi sebaliknya, walau pun nanti tidak berhasil masuk, kami percaya Tuhan yang kami sembah sejak masa muda kami, Yesus, DIA selalu punya cara lain yang ajaib. Biarlah semua terjadi menurut kehendak-NYA.
Hari pengumuman pada tanggal 8 April 2020 bertepatan dengan masa awal wabah Covid-19 berkecambuk. Hati kami gelisah sejak pagi. Hal ini dikarenakan ibu kami, nenek dari Debora, akan menjalani operasi pemotongan usus besar siang ini, karena ususnya pecah di dua titik. Operasi ini darurat dan harus dilakukan karena mengancam nyawanya jika dibiarkan.
Pada pukul 13:00 WIB nanti, akan diumumkan hasil SNMPTN secara online. Sebelum melihat hasil penerimaan di laptop, kami sekeluarga kembali berkumpul berdoa. Sekali lagi kami memanjatkan segala syukur kepada Tuhan Yesus, karena anak kami ini tidak ambil cadangan di universitas swasta mana pun.
Puji Tuhan, ternyata Debora diterima di jurusan gizi Universitas Indonesia lewat jalur undangan (tanpa tes tertulis). Sungguh, ini suatu penghiburan di saat hati sangat gelisah karena ibu kami sedang dibedah di Ruang Operasi.
Ingatan kami melayang pada peristiwa tiga tahun sebelumnya. Hari dimana putri sulung kami dinyatakan lulus masuk ke Universitas Indonesia, lewat ujian tulis nasional atau SBMPTN. Hari itu aku menjalani operasi payudara, karena hasil pemeriksaan yang menyatakan “suspek maligna,” yaitu dicurigai adanya sel ganas. Hal ini sudah pernah kami saksikan di buku literatur Gereja Yesus Sejati “Berakar untuk Bertahan” bagian 2 dengan judul “Suspek Maligna”.
Ibu kami akhirnya diperbolehkan keluar dari rumah sakit, tepatnya tanggal 25 April. Walaupun belum pulih, karena Ibu juga memiliki komplikasi termasuk pada ginjalnya, suami aku dan semua saudara kandungnya bertekad merawat ibu di rumah dengan baik, dan kembali menjaganya secara bergantian.
Tentunya, kami hanya bisa memohon hikmat dan kesabaran dari Tuhan dalam merawat ibu yang sampai saat ini belum bisa berjalan ataupun duduk. Membuang air kecil harus melalui selang kateter. Setiap satu sampai dua jam kami tidak boleh lupa menguras kantong kolostominya. Kolostomi adalah pembedahan untuk membuat stoma (Anus buatan di depan perut), karena usus besar yang di potong, sementara tidak dapat digunakan.
Puji Tuhan! Selama berada di rumah sakit sekitar satu bulan, kami semua, yang secara bergantian menjaga di rumah sakit, tidak ada yang jatuh sakit. Bersinggungan dengan sekian banyaknya pasien dan petugas medis selama satu bulan, tentu kami sering merasa khawatir tertular oleh virus corona yang sedang merebak dimana-mana. Tetapi hasil screening test kami semua negatif dari virus corona.
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus,
amin.