Suara Sejati
Pilih Kesal atau Bersyukur
“Sdr. Rusmidi Karyoko, Gereja cabang Jakarta”
Tanggal 12 Oktober 2020 pagi, saya ke gereja untuk mengikuti kebaktian penghiburan. Karena asuransi mobil belum diperpanjang, belakangan ini kalau keluar sendirian, saya lebih banyak pakai motor. Motor Vespa itu saya parkir di gereja, lalu pergi bersama jemaat lainnya dengan mobil, menuju rumah duka di daerah Pluit. Selesai ibadah di krematorium, kami semua balik ke gereja.
Saya pulang dengan motor. Sesudah melintas keluar underpass jalan Angkasa, tepat di putaran MGK mendadak motor menjadi oleng. Saya mencoba untuk mengendalikan tetapi makin hebat olengnya. Lalu saya terlempar dari motor dan tubuh terjerembab di jalanan itu. Naluri saya mengingatkan untuk segera memindahkan diri ke tepi jalan, agar tidak terlindas oleh kendaraan di belakang. Walaupun saya masih sadar,ternyata tidak ada kekuatan dan saya tidak mampu bergerak. Jadi selama beberapa detik itu, saya cuma pasrah saja.
Saat saya sudah bisa bangun kembali dan menengok ke belakang, terlihat ada 7 kendaraan berhenti. Ada suara yang nyeletuk, “Pecah tuh ban motornya.” Karena saya merasa malu jadi tontonan banyak orang, saya abaikan rasa nyeri di pangkal paha dan mencoba untuk mengangkat motor yang terkapar. Ada seorang pengendara motor yang iba, membantu mendorong sampai ke tepi jalan yang aman.
Di sana saya duduk sambil menenangkan diri. Seperti sebagian orang lain, saya pun berpikir, “Kali ini saya salah apa ya?” Setelah merenung cukup lama, saya belum juga menemukan jawabannya. Sempat terlintas di pikiran, “Mengapa hal ini terjadi? Padahal saya habis dari pelayanan gereja. Dan ini masa pandemi.”
Tentunya ini bukan kecelakaan pertama yang saya alami. Saat usia lebih muda, saya sudah pernah mengalami tiga kali kecelakaan yang sangat serius saat mengendarai motor, dan satu kali kecelakaan fatal saat menyetir mobil. Tetapi kali ini usia saya sudah 50 tahun. Di satu sisi, saya heran betapa bodohnya saya di dalam berkendara. Di sisi lain, saya heran karena saya masih tetap hidup setelah mengalami sekian banyak kecelakaan.
Saat merenungkan, saya tersudut di antara dua pilihan: Harus kesal atau bersyukur. Akhirnya saya mencoba untuk bersyukur saja. Bersyukur, toh tadi tidak dilindas kendaraan di belakang. Bersyukur, pecah bannya tidak saat di underpass jalan Angkasa, karena pasti akan terpelanting lebih hebat dengan kemungkinan lebih tinggi untuk tergilas kendaraan yang melaju kencang.
Aneh, sambil merenung dan bersyukur seperti ini, lalu tidak terasa lagi rasa sakit di pangkal paha. Bagaimana pun dicari dan dipijit yang tadi sakit, sungguh sudah tidak terasa sama sekali. Sepasang telapak tangan yang tadi terasa nyeri, juga tidak lagi nyeri. Terseret dan tergesek permukaan jalanan kasar, seharusnya ada luka atau minimal terdapat lecet. Tetapi permukaan kulit ini sama sekali utuh, padahal tadi saya tidak memakai sarung tangan. Heran sekali, kecelakaan kali ini koq tanpa ada luka? Saya bersyukur, karena Tuhan menjaga dan melindungi.
Cukup sudah saya merenung di tepi jalan itu. Dan motor Vespa itu saya dorong ke tukang tambal ban dan kembali beraktivitas.
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus,
amin.