Suara Sejati
Yerikho dan Ai
“Sdr. Rusmidi Karyoko, Gereja cabang Jakarta”
Saya berpikir, bagaimana mungkin seseorang bisa gagal dalam godaan kecil, jika sebelumnya sudah berhasil melawan godaan yang jauh lebih besar. Sebuah prinsip moral umum yang berlaku di masyarakat adalah: Jangan mengambil uang yang bukan milik kita. “Apapun alasannya, tidak boleh dan tidak ada negosiasi,” demikian pula saya berprinsip. Saya paham betul prinsip ini, sehingga jika saya mengalaminya, tentu akan saya kembalikan.
Suatu ketika, saat masa awal menjalani usaha sendiri, supplier ceroboh, men-cap stempel lunas pada invoice senilai lebih dari USD 3,000 (kurang lebih setara dengan 42 juta Rupiah per kurs tahun 2021) yang belum saya lunasi. Saya diamkan beberapa waktu lamanya. Awalnya, saya sama sekali tidak tergoda untuk mengambil uang itu. Saya hanya penasaran, berapa lama sang kasir menyadari kesalahannya. Sesudah tiga bulan berlalu sejak kasus salah cap lunas itu, tetap tidak ada tanda-tanda bahwa sang kasir menyadarinya. Padahal saya diberi tempo pembayaran seharusnya cuma seminggu. Akhirnya karena sudah cukup lama mengusili sang kasir, saya menelepon pimpinannya lalu menjelaskan dan memulangkan uang itu secara utuh. Sejak itu, sang kasir jadi baik sekali. Kalau saya telat bayar beberapa hari, tidak pernah diburu- buru menagih lagi seperti dahulu kalanya. Belakangan, saya baru tahu kalau sang kasir ternyata stress memikirkan uang itu selama tiga bulan dan gajinya dipotong pimpinannya.
Di kemudian hari, seorang pelanggan men-transfer sebanyak dua kali nilai invoice yang sama, ke rekening bank kami senilai USD 2,800 (kurang lebih setara dengan 39 juta dua ratus ribu Rupiah per kurs tahun 2021). Saya diamkan kembali karena penasaran ingin tahu berapa lama staff pembukuan mereka akan sadar terhadap kesalahan ini. Seharusnya hal ini mudah dilacak, apalagi pelanggan ini memiliki pabrik besar. Tapi sesudah tiga bulan, tidak ada seorang pun yang meminta balik uang ini. Saya pun kembali menyudahi keusilan ini dan saya balikkan uang mereka secara utuh.
Peristiwa lainnya, suatu kali saya meminta kurir untuk mengambil sedikit uang asing sejumlah SIN$ 110 (kurang lebih setara dengan satu juta Rupiah per kurs tahun 2021) di Money Changer, daerah Pasar Baru. Namun, saat dihitung, saya terkejut sekali karena jumlahnya SIN$ 1,200 (kurang lebih setara dengan 12 juta tiga ratus ribu Rupiah per kurs tahun 2021). Saat saya tanya, kurir ternyata tidak check ulang dan langsung pergi. Saya pun menelepon pimpinan Money Changer itu. Dia sendiri sedang bingung, mau menelepon tetapi tidak memiliki nomor kami. Akhirnya, uang tadi saya kembalikan. Sejak itu, kalau saya datang belanja, wajahnya selalu manis dan ramah. Padahal, banyak orang berkata kalau pimpinan di sana selalu berwajah ketus dan masam.
Sampai suatu hari di tanggal 20 Maret 2018, saat saya sedang melihat aplikasi GrabCar, saya melihat ada menu yang dinamakan GrabHitch. Setelah saya membaca rincian penjelasannya, saya paham kalau itu semacam memberikan tumpangan pada orang yang searah dengan rute perjalanan kita. Karena baru, GrabCar melakukan promosi dengan memberikan cashback Rp. 25,000 untuk pemilik mobil yang bersedia ditumpangi ke arah bandara. Saya bukan driver Grab, tetapi karena saya cukup sering ke bandara, saya terpikir untuk mencoba mengusili aplikasi ini.
Saat menyetir ke bandara karena urusan pribadi, saya mencoba untuk menyalakan smartphone lain dan bertindak seolah-olah ada penumpang lain yang searah ingin meminta tumpangan dan meminta di jemput di tengah rute. Selesai transaksi, cashback 25,000 benar-benar masuk akun. Saya menjadi seperti orang yang tergila-gila dengan cashback, dan tidak sadar kalau cara ini salah. Saya teruskan keusilan itu selama hampir sebulan dan saldo sudah Rp. 310,900. Saya berpikir, lumayan buat menambah uang untuk membeli bensin.
Namun Tuhan tidak berkenan. Beberapa minggu setelah bookingan fiktif itu, mesin pompa air Sanyo yang belum terlalu lama kami pakai, tiba-tiba rusak. Beberapa hari kemudian, mesin cuci Samsung yang umurnya lebih baru, juga tiba-tiba rusak. Beberapa hari berikutnya, giliran pintu pagar yang rusak. Saya mulai berpikir, apa ada hubungannya dengan bookingan fiktif yang saya lakukan. Kalau benar, mengapa kerugiannya jauh lebih besar? Saya mendapat cashback-nya kecil, sama sekali tidak cukup untuk membayar biaya servis alat-alat yang rusak tadi. Jadi saya abaikan saja tanda-tanda itu dan beberapa hari kemudian saya melakukan lagi kebodohan itu saat ke bandara.
Karena tidak sadar juga, Tuhan memberikan tanda lebih jelas. Tanggal 25 April 2018, saya bepergian dengan istri dan anak kami. Mobil kami dalam posisi berhenti, menunggu giliran untuk belok di pertigaan daerah Pecenongan. Tiba-tiba, mobil kami ditabrak dari sisi kiri. Ternyata penabraknya motor ojek online. Dia dan motornya jatuh. Peristiwa ini bukan modus pura-pura menabrak sebab hidungnya keluar darah banyak dan motornya rusak.
Saya berpikir untuk pergi supaya urusan tidak menjadi runyam. Namun, agar tidak disalahpahami dan dikejar warga, istri saya turun dari mobil, berpesan supaya si penabrak lain kali harus hati-hati, tidak ngebut, dan memberi uang sekedarnya ke supir ojek itu. Tetapi ternyata dia minta uang lebih lagi. Kami menjadi kesal karena mobil sudah rusak disebabkan oleh dia dan niat baik kami sekarang malah dimanfaatkan. Kami pun bersitegang dengannya. Namun, saya melihat bahwa situasi tidak memihak, sebab beberapa warga mulai berdatangan, dan tanpa bertanya jelas langsung memihak ke si supir ojek. Ada pengendara ojek online lain yang menepi dan menelpon temannya. Saya pun meminta istri dan anak berdoa di dalam mobil.
Lalu saya membawa si supir ojek ini berobat ke PMI, yang letaknya tepat di samping kantor Polisi. Setelah penanganan, petugas medis menyarankan untuk rontgen, karena si supir ojek terus mengeluh kepalanya pusing, dikuatirkan gegar otak. Di saat seperti itu, kami cuma bisa berdoa dalam hati, memohon Tuhan Yesus untuk memberikan kata-kata hikmat. Setelah pengobatan, saya mengajak si supir ojek keluar dan menyampaikan kata-kata simpati tanpa menyalahkan dia, lalu saya beri uang sekedarnya. Kali ini, dia terima.
Setelah kejadian ini, barulah saya benar-benar menyadari kebodohan saya. Betapa saya merasa malu. Bersyukur, Tuhan Yesus tidak menegur saya dengan cara yang lebih keras. Puji Tuhan Yesus, masalah yang tadinya rumit sekali akhirnya dapat terselesaikan. Semua ini dapat terjadi tidak lain karena istri dan anak saya yang sedang mendoakan saya dengan sungguh-sungguh.
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus,
amin.