Suara Sejati
Saat Masih Diizinkan Melihat
“Sdri. Fung Lian, Gereja cabang Cibaduyut, Bandung”
Saat di jenjang SMA, penglihatan saya terasa kurang jelas. Tapi saya biarkan saja karena belum terlalu mengganggu aktivitas belajar. Saat kuliah, barulah mulai terasa mengganggu. Beberapa kawan lalu menyarankan saya periksa mata ke optik.
Tahun 1986, saya mencoba untuk menjalani pemeriksaan mata, baik secara manual maupun dengan bantuan mesin. Namun beberapa kali ke optik, mesin tidak bisa membaca ukuran mata saya—minus berapa atau silinder berapa. Petugas optik hanya berkata, “Tidak bisa terbaca dengan mesin, kita periksa manual saja.” Di beberapa optik lain juga begitu. Akhirnya saya memakai kacamata hasil pemeriksaan manual, tetapi tidak banyak membantu. Beberapa kali sudah berganti kacamata, tetap hasilnya sama saja.
Saat sudah menikah, saya pergi ke dokter spesialis mata di Rumah Sakit Immanuel Bandung. Sesudah dilakukan pemeriksaan secara seksama, dokter menyebutkan satu istilah “distrofi kornea.” Kata dokter, penyakit ini adalah penyakit genetik langka yang mempengaruhi kornea, bagian depan mata. Kornea saya mengalami kelainan, bentuknya menjadi seperti permukaan bulan—ada bercak atau lubang yang membuat daya lihat semakin lama akan semakin kabur. Untuk penyakit jenis ini, belum ada obatnya. Dokter hanya menyarankan agar saya memakai kacamata dengan resep yang dia berikan.
Kacamata dari dokter tetap tidak membantu, bahkan membuat saya menjadi pusing. Banyak orang berkata bahwa saat pertama memakai kacamata memang akan terasa pusing. Sebab mata sedang dalam proses penyesuaian, nanti lama- lama sudah menjadi biasa. Namun yang saya alami berbeda, benar-benar tidak nyaman. Mata terasa perih, merah, berair dan sangat menderita. Kalau ditutup, mata terasa sakit. Kalau dibuka lebih sakit, apalagi kalau mata melihat cahaya akan terasa sakit sekali.
Saat tinggal di kota Banjarmasin, saya pergi ke dokter mata senior. Dokter itu sangat terkejut karena belum pernah melihat penyakit seperti ini di Banjarmasin. Dokter sampai buka-buka buku, berusaha menemukan nama penyakit mata saya.
Sekian tahun kemudian, saya mendapat kesempatan membawa mama papa, berobat ke pulau Penang di Malaysia. Saat itu saya menemui dokter mata, diperiksa secara keseluruhan. Hasilnya sama, tidak ada obatnya. Jalan satu- satunya hanya transplantasi mata.
Dokter menawarkan opsi transplantasi (cangkok) mata, tetapi karena saya tidak tertarik, saya tidak bertanya lebih lanjut tentang biaya, dan hal-hal lainnya. Saya hanya berpikir bahwa saya akan mencoba untuk bertahan selama masih bisa melihat dan bisa bekerja–sebab saat itu, hanya tulisan kecil- kecil yang tidak terbaca, dan mulai jarak pandang 3-4 meter agak kabur penglihatannya.
Saat menginjak usia 40-an, penglihatan saya makin buram, sulit membaca judul khotbah atau presentasi. Kadang saya meminta bantuan jemaat yang duduk di sebelah untuk membacakannya. Di kantor, saya menyediakan kaca pembesar untuk membaca tulisan kecil-kecil.
Puji Tuhan, komputer dan handphone berkembang pesat, sehingga Alkitab dan Kidung Rohani bisa digunakan melalui aplikasi yang hurufnya dapat diperbesar. Tuhan membantu saya lewat media ini agar tetap bisa melayani. Banyak teman dan jemaat mengatakan, “Ayo kak, sudah waktunya pakai kacamata.” Saya hanya bisa tersenyum karena kalau diceritakan akan terlalu panjang. Dalam hati saya sering bertanya-tanya “Sampai usia berapa Tuhan izinkan saya melihat?”
Tahun 2014 kami sekeluarga pindah kembali ke Bandung. Sebelum pindah, saya menghubungi sebuah sekolah swasta yang cukup besar, dan mereka katakan siap menerima saya untuk bekerja. Tetapi saya diminta untuk mengikuti psiko-test dan test kesehatan. Dalam tes kesehatan, tidak ada masalah karena mereka tidak memeriksa mata.
Namun ketika ikuti psiko test, harus dikerjakan secara tertulis dengan kecepatan yang sudah ditentukan. Lembaran yang diberikan adalah hasil fotocopy, tulisannya kecil-kecil dan terlihat buram. Saya hampir tidak bisa mengerjakan semua soal dengan tepat waktu. Saya merasa sedih sekali pada waktu itu. Namun herannya, saya tetap diterima sebagai guru Bimbingan Konseling (BK) sesuai bidang ilmu saya. Puji syukur kepada Tuhan Yesus.
Sebagai guru BK, sewaktu-waktu saya harus masuk kelas dan kadang menggantikan guru lain mengajar. Namun yang tidak terbayangkan, ternyata saya perlu mengoreksi tugas murid selama mengajar. Padahal jumlah murid terdapat lebih dari 30 orang dan saya harus cepat mengerjakannya—sedangkan tulisan murid banyak yang kecil-kecil. Sulit sekali rasanya jika saya harus mengoreksi semuanya dengan kaca pembesar.
Peristiwa itu menyadarkan saya bahwa tidak mungkin saya terus berkarya di bidang pendidikan formal dengan kondisi mata seperti ini. Akhirnya, tahun 2015 saya mengakhiri tugas sebagai seorang guru. Puji Tuhan Yesus, tak lama kemudian, Tuhan memberikan sebuah toko untuk saya kelola sampai sekarang.
Sampai saat menulis artikel ini, Tuhan masih memberi saya kesempatan untuk melihat. Dengan bantuan teknologi, saya masih bisa bekerja, masih bisa pelayanan di kelas Sabat, maupun berkhotbah. Kadang terjadi hal kecil yang manis, ketika paduan suara, saya bisa membaca buku Kidung Rohani.
“Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya” (Mazmur 136:1)
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus,
amin.