Suara Sejati
Lindungilah Anak-anak Ini
“Sdri. Melly Tjakra, Gereja cabang Sunter, Jakarta”
Senin 27 Maret 2017 jam 15:00, dua orang teman anak saya datang ke rumah untuk membuat tugas kelompok. Setelah selesai, mereka bermain di lantai paling atas. Di sana ada taman kecil, ayunan dan jungkat-jungkit.
Jam 16:30 saya tutup toko. Seperti biasa, saya masuk ke dalam kamar untuk menghitung omzet penjualan hari itu. Mendengar anak-anak berlarian dan loncat dengan kencang, saya pun naik ke atas memperingati agar mereka tidak berlari- larian di area itu, apalagi menginjak atap seng yang menjadi penutup area kantor di lantai bawah.
Atap seng ini terdiri dari dua bagian, seng gelombang dan seng plastik, dengan sepotong papan di tulang atap. Kalau menginjak di atas papan itu masih aman. Tapi kalau menginjak di luar itu sangat berbahaya. Atap akan jebol dan jatuh dari ketinggian enam meter. Sangat berbahaya.
Setelah itu, saya kembali ke kamar melanjutkan pekerjaan. Tetapi anak-anak masih bermain di atas. Baru saja duduk dan pegang pulpen, saya mendengar suara gubrak yang keras sekali, seperti ada sesuatu yang jatuh dengan sangat keras. Saya kaget sekali dan rasanya jantung ini mau copot. Dalam hati langsung berdoa, “Dalam nama Yesus, semoga jangan anak-anak jatuh.”
Dengan hati cemas saya segera naik ke atas. Entah kenapa sepasang kaki ini jadi terasa lemas. Terlihat teman anak saya, Metha, sudah tergeletak di area jemuran. Atap dari seng plastik sudah jebol. Sekujur tubuh langsung terasa lemas melihat kejadian itu.
Saya bingung sekali. Saya ingin mengangkatnya tapi tidak kuat. Saya panggil namanya berulang-ulang, tapi anak ini tetap tidak sadarkan diri. Lalu saya minta bantuan seseorang untuk mengangkatnya ke ruang tamu. Suami saya naik lalu mencoba memanggil nama anak itu. Dalam hati kami terus berdoa. Akhirnya anak ini sadar dan mulai menangis. Saya lihat kepalanya benjol, mata bengkak di bagian kiri.
Saya mencoba menghubungi mama anak ini, tapi HP nya tidak aktif. Kami pun segera membawa Metha ke RS Carolus karena jatuh dari ketinggian, terhantam di kepala dan perlu segera ditangani. Selama di perjalanan yang macet itu, saya dengan gelisah terus menghubungi mamanya, tapi HP nya tetap tidak aktif. Saya hanya bisa berdoa memohon Tuhan Yesus menolong. Sungguh berharap keadaan anak ini tidak terlalu parah.
Setibanya di ruang UGD RS Carolus, saya diminta mengisi data anak. Tapi karena bukan keluarga, saya tidak bisa mengisinya. Lalu saya bertanya kepada Metha apakah ada nomor lain. Dia pun menyebutkan nomor lain ke saya. Puji Tuhan, anak ini walau menahan sakit masih bisa mengingat nomor mamanya dan berbicara. Lalu saya minta ibunya segera datang ke RS Carolus. Setelah ibunya tiba, Metha pun bisa segera ditangani dan menjalani proses scan kepala. Saya temani sampai proses itu selesai.
Jam 21:00 saya pamit pulang kepada ibunya, karena harus mengantarkan teman anak saya yang satunya, Jenifer. Saya pesan ke mama Metha, kalau ada perkembangan, tolong beri kabar. Setelah mengantar Jenifer pulang, saya dan suami di rumah tetap gelisah. Bahkan tidak bisa tidur sampai tengah malam karena masih terbayang-bayang kejadian tadi sore.
Besok paginya, mama Metha mengabarkan bahwa Metha harus segera dioperasi malam itu juga karena mengalami pendarahan di otak. Darah harus segera dikeluarkan supaya jangan sampai beku. Puji Tuhan, Metha ditangani dengan tepat oleh dokter. Saya percaya itu atas pengaturan Tuhan.
Tiap hari saya menanyakan perkembangan Metha ke mamanya. Puji Tuhan, Metha bisa melalui masa kritis. Kamis sore 30 Maret 2017, Metha sudah boleh pindah ke kamar rawat biasa. Saya dan suami pun membesuk Metha untuk melihat kondisinya. Terlihat sudah banyak perubahan. Mata sudah tidak terlalu bengkak dan benjol sudah hilang. Tapi rasa pusing masih ada. Ada kecemasan, rasa pusing itu disebabkan gegar otak.
Hari itu Metha kembali menjalani scan yang kedua kali, untuk melihat perkembangannya. Saya terus mendoakan untuk kesembuhan Metha. Jumat 31 Maret 2017, saya tanya hasil scannya ke mama Metha. Puji Tuhan, hasilnya bagus dan memuaskan. Tinggal pemulihan saja. Saya senang sekali melihat kemajuan Metha begitu cepat.
Saat besuk yang kesekian kali, Metha menceritakan saat terjatuh dia melihat satu sosok manusia berjubah putih terang menggendong dia, sebelum akhirnya dia tersangkut sepotong pipa dulu, barulah dia terjatuh. Kata Metha, wajahnya tidak terlihat, tapi terang. Tentu Metha dan mamanya tidak mengkorelasikan ini dengan kekristenan, karena mereka belum percaya Yesus. Tapi dalam iman, saya yakin itu perlindungan Tuhan Yesus, sehingga Metha luput dari maut. Saya tidak berani membayangkan akibatnya kalau langsung terjatuh dari ketinggian seperti itu. Saya percaya semua ini terjadi adalah karena kasih dan pengaturan Tuhan Yesus. Tuhan telah melindungi anak-anak yang tidak dapat saya pantau selama 24 jam dari segala bahaya.
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus,
amin.