“Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: ‘Dan siapakah sesamaku manusia?’ “
Lukas 10:29
Perumpamaan yang diceritakan Yesus kemudian adalah jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh seorang ahli Taurat. Yesus menceritakan tentang seseorang yang dirampok di tengah jalan dari Yerusalem ke Yerikho. Ditelanjangi, dipukuli, dan dibiarkan untuk mati, ia dilewati oleh dua orang sebelum orang ketiga berbelas kasihan dan menyelamatkan nyawanya. Orang itu tidak bernama, dan ia juga tidak diberikan sebutan. Tetapi Yesus menyebutkan identitas tiga orang itu: seorang imam, serang Lewi, dan orang Samaria. Dua orang pertama melihat orang yang dirampok itu, dan kemudian menjauh dari jalan itu, menjaga jarak mereka sejauh mungkin dari orang malang itu. Menurut Hukum Taurat, iman tidak boleh menyentuh bangkai agar tidak mencemari diri mereka (Im. 21:1-3). Imam dan orang Lewi itu tidak mau ambil resiko. Untuk menghindari kecemaran, mereka bahkan tidak mencoba menyelidiki apakah orang itu masih hidup atau sudah mati. Dan mereka juga tidak merelakan waktu menunda perjalanan mereka untuk meminta pertolongan orang lain. Sebaliknya, justru orang Samaria, yang dipandang sebelah mata oleh orang Yahudi, yang berhenti, mengambil jalan memutar, merelakan keledainya dan gaji dua hari, demi keselamatan orang malang itu.
Siapakah sesamaku manusia yang harus aku kasihi seperti diriku sendiri? Bagi orang Samaria itu, siapakah sesamanya manusia? Ia adalah “seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho”, menjauhi kota Allah yang kudus. Ia adalah orang yang dirampok habis-habisan di padang gurun, kehilangan segala-galanya, dipukuli, dan dibiarkan untuk mati. Ia adalah sesama manusia yang unik, bukan seseorang yang ditemukan sehari-hari oleh ahli Taurat, atau kita pada hari ini. Kecuali apabila kita melihat dengan lebih baik, dan melihat bagaimana orang itu meninggalkan Yerusalem adalah penggambaran seseorang yang meninggalkan rumah Allah dan keselamatan-Nya. Kita menemukan orang ini saat kita melihat siapa saja yang dipukuli oleh kekuatan-kekuatan dunia, dirampok, tidak lagi dapat membedakan benar atau salah, kebenaran atau kepalsuan, dan secara rohani sudah hampir mati. Ia adalah saudara seiman yang meninggalkan jalan kebenaran, atau seorang teman atau kerabat yang masih hidup dalam dosa.
Kita cenderung bersikap mengambil jarak, dan menghindari masalah. Kita lebih senang meninggalkan mereka dan berjalan dalam jalan kita masing-masing, daripada bergaul dengan orang berdosa. Tetapi Yesus berkata kepada orang yang bertanya itu, “Pergilah, dan perbuatlah demikian”, seperti yang dilakukan orang Samaria itu. Ia berkata kepada kita untuk menuntun sesama manusia untuk dikuduskan, membantunya berdiri, dan bersedia menanggung bebannya; Yesus berkata kepada kita untuk memelihara orang itu, merelakan apa yang ada pada diri kita untuk menyelamatkannya.
Yesus berkata, “Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”(Mat. 16:25). Imam dan orang Lewi, yang ingin memelihara kekudusan mereka, gagal memenuhi perintah Allah tentang kasih. Mengasihi sesama manusia adalah mengasihi domba-domba Allah yang tersesat, dan melakukan apa yang dapat kita lakukan untuk membawa mereka kembali ke dalam kandang Allah. Karena Yesus berkata, “Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.” (Luk. 15:7).