Hari ini, aku meninjau kembali pasal ini – salah satu favoritku:
“Aku bersukacita, ketika dikatakan orang kepadaku:
“Mari kita pergi ke rumah TUHAN.”
Sekarang kaki kami berdiri di pintu gerbangmu, hai Yerusalem.
Hai Yerusalem, yang telah didirikan sebagai kota yang bersambung rapat,
ke mana suku-suku berziarah, yakni suku-suku TUHAN,
untuk bersyukur kepada nama TUHAN sesuai dengan peraturan bagi Israel.
Sebab di sanalah ditaruh kursi-kursi pengadilan,
kursi-kursi milik keluarga raja Daud.
Berdoalah untuk kesejahteraan Yerusalem:
“Biarlah orang-orang yang mencintaimu mendapat sentosa.
Biarlah kesejahteraan ada di lingkungan tembokmu,
dan sentosa di dalam purimu!”
Oleh karena saudara-saudaraku dan teman-temanku
aku hendak mengucapkan:
“Semoga kesejahteraan ada di dalammu!”
Oleh karena rumah TUHAN, Allah kita,
aku hendak mencari kebaikan bagimu.”
Mazmur 122
Daud mungkin bukan orang yang sempurna, tetapi telah terbukti berkali-kali, hatinya adalah milik Allah. Salah satu sifat Daud yang menonjol adalah semangat yang selalu ia bawa; ia senantiasa mencari kemuliaan dan sukacita Tuhan. Ia memelihara bangsanya (dan juga umat-Nya) sebagai milik Allah. Pemerintahannya adalah sebuah pemerintahan yang murni dan tidak mementingkan diri sendiri. Daud melihat gambaran besarnya – ia melihat pada akhir perlombaan, dan ia mencari ekspresi kasih Allah yang indah itu: damai sejahtera.
Damai di dalam tembok-tembok kotanya, damai di antara umat Israel, bukan demi Daud agar kekuasaannya langgeng, atau agar ia dapat menghindari kesulitan, atau agar ia dapat dengan leluasa mengejar tujuan-tujuan hidupnya yang lain, atau agar semata ia dapat menyelesaikannya, tetapi adalah demi saudara-saudara dan sahabat-sahabatnya, dan demi umat dan rumah Tuhan.
Pada akhirnya, apakah ia sungguh-sungguh mendapatkan kedamaian itu? Itu masih dapat diperdebatkan. Terlalu banyak pertumpahan darah, kata Allah. Daud tidak dapat membuat Bait Allah. Yang membangunnya bukan dia. Namun terlepas dari itu semua, ia mengejar hal itu, dan mendoakannya dengan segenap hatinya. Hal itu adalah hasratnya yang paling utama dan kekal.
Ada sesuatu yang berharga, yang dahulu ia miliki saat ia masih kecil, dan tidak pernah ia lupakan, tidak pernah ia tukar atau jual, atau kompromikan, yang senantiasa ia persembahkan kepada Tuhan hingga pada penghujung hidupnya: hati emasnya. Hati adalah bagian yang paling indah pada diri seseorang; bagaimana karakter kita, dan pembaruan apa yang tersingkap setelah api pengujian membakar diri kita.
Maka tidak heran, apabila Tuhan, walau Ia mungkin pernah kecewa beberapa kali dengan anak yang berkemauan keras ini di sepanjang hidupnya, selalu puas dan berkenan dengannya, karena di mata hamba-Nya ini, sukacita Allah adalah sukacitanya – dan ini dengan mudah terukur: Daud mencintai umat Allah dan ia mengejar kemakmuran bangsa-Nya. Dalam tahun-tahun yang singkat aku melayani Tuhan, aku mulai menyadari bahwa tingkat komitmen seperti ini hanya dapat dimungkinkan melalui sikap yang rela berkorban dan melepaskan kepentingan diri sendiri. Inilah sebabnya aku yakin: Daud memberikan segalanya demi Tuannya.
Marilah ini menjadi doa kita.
Renungan:
Apakah perasaanmu kepada Tuhan? Dapatkah kamu berkata kepada-Nya: “jika Engkau senang, aku senang” ?