“Ikutlah menderita sebagai seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus.” (2Tim. 2:3)

Orang yang mendaftarkan diri ke dalam pelayanan militer, mengetahui kesulitan dan penderitaan yang akan ia hadapi. Pergi meninggalkan keluarga, kenyataan kejam di medan tempur, dan tidak menerima ucapan syukur atau terima kasih dari orang lain, hanyalah segelintir contoh dari penderitaan seorang prajurit. Tidak hanya itu, seorang prajurit harus siap untuk menghadapi penderitaan yang terutama: menyerahkan nyawanya, apabila diperlukan.

Semua orang tahu bahwa seorang prajurit yang tidak dapat bertahan menghadapi penderitaan, tidak dapat menjadi prajurit yang baik.

Saat aku dipilih menjadi majelis gereja di masa mudaku, aku bersukacita atas kesempatan yang Tuhan berikan untuk melayani-Nya. Namun seiring berjalannya waktu, aku tertekan dengan pengharapan dan tuntutan yang tinggi dari orang-orang. Dengan bersungut aku terheran-heran mengapa hanya sedikit orang yang melakukan pekerjaan pelayanan, sementara yang lain hanya melihat-lihat dan mengeluh. Dengan diam-diam aku memandang remeh jemaat-jemaat senior yang melalaikan pelayanan kudus dengan berkata, “biarkan orang-orang muda yang mengambil kesempatan untuk melayani.”

Aku menjadi prajurit kecewa yang tercabik dan terluka dengan penderitaan pelayanan. Aku ingin berhenti dan bergabung dalam urutan panjang para penonton.

Aku tidak menyadari bahwa prajurit yang lelah di medan perang adalah hal yang biasa terjadi, dan mungkin juga tak terhindarkan. Bahkan Musa, orang yang dikenal lemah lembut, pernah berseru kepada Allah mengenai bangsa Israel yang baginya terlalu berat dipikul!

Namun seorang prajurit sebenarnya tidak boleh sampai dipergoki lalai karena penderitaan. Penderitaan bukanlah masalah “apakah”, tetapi “kapan”.

Harga seorang prajurit Kristus ada pada kegigihannya. Ia tidak hanya menghadapi penderitaan, tetapi juga dengan setia bertahan melalui itu semua. Ia terus melayani, mengandalkan Tuhan yang memimpinnya melalui penderitaannya. Prajurit yang baik melakukannya dengan sukarela, karena ia ingin menyenangkan Ia yang memanggil dirinya.

Renungan:
Apakah yang Anda lakukan saat Anda merasa capai hati dengan pekerjaan pelayanan?
Bagaimana caranya Anda meneruskan pelayanan Anda dengan setia?