Pada jaman dahulu kala, seperti ceritanya, ada tiga ekor babi kecil. Ketika mereka tumbuh, induk mereka melepas mereka untuk mencari nafkah sendiri dan menyarankan mereka untuk membangun rumah mereka dengan batu bata dan semen. Babi pertama sangat tertarik mengejar keinginannya sendiri, sehingga ia segera membangun rumah dari jerami. Babi kedua ingat saran induknya tapi, karena tidak dapat melepaskan kenikmatan lain sepenuhnya, dia berkompromi dan membangun rumah dari kayu. Babi ketiga memperhatikan saran induknya dan dengan hati-hati membangun rumah bata dengan semen. Seekor serigala jahat besar datang dan menggulingkan rumah jerami itu dengan satu pukulan dan melahap babi pertama. Setelah beberapa pukulan dari arah yang berbeda, rumah kedua dan pemiliknya juga menemui kematian mereka. Tapi rumah terakhir, yang dibangun dengan hati-hati dari batu bata dan adukan semen, berdiri kokoh di tempatnya, dan babi ketiga terselamatkan.

 

Yesus juga menceritakan sebuah cerita tentang pendiri rumah yang bijak dan bodoh. Setelah menyampaikan khotbah-Nya di Bukit Zaitun (Mat 5: 3-7: 23), Tuhan mengatakan kepada orang banyak bahwa “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir.” (Mat 7: 24-27). Dia ingin kita membandingkan pembangunan iman kita seperti membangun sebuah rumah. Kita tahu tujuan sebuah rumah adalah untuk melindungi penghuninya dari angin, hujan, dan faktor lainnya. Rumah yang dibangun di atas batu akan memiliki pondasi yang stabil, tapi rumah yang dibangun di atas pasir akan jatuh  diterpa badai. Demikian juga, dalam iman kita, kita akan menghadapi masalah dan tantangan. Bagaimana kita telah membangun iman kita akan menentukan apakah kita dapat tetap berdiri atau tidak.

 

Dari kedua cerita tersebut, kita melihat bahwa ada beberapa kemungkinan pendekatan dalam pembangunan. Ada beberapa yang mendengar ajaran di gereja dan percaya bahwa itu baik. Namun mereka sedikit memperhatikan dalam melakukan apa yang telah mereka dengar. Ada hal yang lebih menarik bagi mereka, dan mereka memiliki sedikit waktu luang. Mereka pergi tanpa bermaksud mengubah hidup mereka. Setelah satu atau dua hari, mereka telah melupakan khotbah itu sama sekali. Bila seseorang bergosip atau bersikap egois, mereka tersinggung dan, melupakan ajaran Alkitab tentang pengampunan, dan meninggalkan gereja.

 

Jenis kedua dari orang percaya mendengar pesan tersebut dan mengetahui pentingnya iman. Meskipun mereka mencoba menerapkan ajaran-ajaran tersebut ke dalam kehidupan mereka, mereka tetap mencintai dunia. Ketika seseorang menyinggung perasaan mereka, mereka tahu kebutuhan untuk memaafkan, tapi masih menyimpan dendam kecil. Mereka kekurangan waktu untuk membangun diri mereka secara spiritual. Akhirnya, dalam menghadapi cobaan, mereka tidak dapat menanggungnya dan melepaskan iman mereka.

 

Kita harus membangun rumah kita di atas batu karang tidak hanya dengan mendengar, tapi juga mempraktikkan ajaran yang telah kita dengar. Untuk melakukannya memerlukan perenungan terus-menerus pada ajaran tersebut, dibantu dengan mencatat selama khotbah, atau mendengarkan rekaman khotbah. Sewaktu kita menyerap ajaran, kita akan belajar menerapkannya dalam setiap aspek kehidupan kita. Dan begitu kita sering mempraktikkannya, mereka akan menjadi seperti refleks. Saat masalah datang, kita bisa menghadapinya dengan benar dan alami. Untuk setiap masalah, kita memiliki solusi alkitabiah. Dengan fondasi yang kuat ini, kita bisa masuk dengan aman ke dalam kerajaan surgawi.