Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain.
Ayub 19:26-27
Dalam sekejap mata, Ayub kehilangan seluruh anak-anak dan kepunyaannya; tambah lagi, ia menderita borok yang sangat parah dari ujung kaki hingga kepala. Ayub menggunakan sekeping beling untuk menggaruk-garuk sembari duduk di tengah abu. Tubuhnya dipenuhi belatung dan debu. Boroknya kambuh lagi setiap kali ada sebidang kulit yang sembuh. Di malam-malam panjang yang menyiksa, Ayub membolak-balikkan badan hingga pagi hari, di tengah-tengah kesakitan yang terasa hingga ke tulang.
Saat Ayub didera dan direndahkan dengan penderitaannya, sang istri menegur, “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” Tiga temannya yang datang untuk menghiburnya, malah menghakiminya atas dosa-dosanya dan dosa anak-anaknya. Ditinggalkan keluarga dan dipandang hina oleh bawahan-bawahannya, penderitaan dan kesakitan Ayub tidak dapat kita bayangkan.
Penderitaan mungkin merebut hak milik Ayub dan menghancurkan kesehatannya, tetapi itu semua tidak menghancurkan hubungannya dengan Allah. Ujian-ujian ini juga tidak menghancurkan jiwanya. Kehilangan harta benda, anak-anak, kesehatan, dan keluarga, mendesak Ayub hingga ke ujung keputusasaan, tetapi kehilangan-kehilangan ini tidak merebut berkat-berkat surgawinya. Ayub pasti merasakan bahwa ia telah sampai pada akhir hidupnya, dan raganya akan segera binasa. Tetapi Ayub mempunyai sebuah keyakinan, bahwa ia akan melihat Allah setelah ia meninggalkan tubuhnya yang borokan; dan Ayub akan melihat Allah dengan matanya sendiri. Ini menunjukkan besarnya damai sejahtera yang dialami Ayub.
Membandingkan Ayub dengan isterinya, kita melihat bahwa reaksi mereka yang berbeda terhadap pengujian mencerminkan dua jenis orang Kristen. Sebagian, setelah kehilangan segala-galanya, masih memuji dan memuliakan Allah dengan harapan besar akan kehidupan kekal. Sebagian lagi tidak dapat bertahan di tengah pengujian dan berteriak kepada pasangannya, “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!”
Dalam kehidupan, kita pasti akan menghadapi ujian dan cobaan, seperti Ayub. Tetapi setelah menghadapi itu semua, masihkah dapat kita berkata, “sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah; mataku sendiri menyaksikan-Nya”? Ini adalah tujuan iman kita yang paling utama. Segala pengorbanan dalam hidup ini dilakukan untuk tujuan ini – agar kita dapat mengucapkan perkataan ini saat kita dipanggil pulang. Apabila kita gagal, tidak ada lagi ada artinya seberapa baik kehidupan kita, karena kita kehilangan segala hal yang berarti apabila kita kehilangan apa yang kekal. Amin.