Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.
Ayub 42:5

Ayub telah melalui banyak ujian iman, dan melalui iman ia menerima banyak berkat oleh Tuhan. Barahnya sembuh, hartanya dilipatgandakan, dan ia juga mendapatkan kembali tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Sanak saudaranya semua kembali melihatnya setelah ia pulih. Ayub hidup 140 tahun lagi setelah melalui ujiannya; ia melihat anaknya dan cucunya hingga generasi ke-empat. Secara materi, Ayub mendapatkan berkat yang berlimpah. Tetapi secara rohani, apa yang diperoleh Ayub dari ujiannya amat jauh lebih berarti.

Ujian yang dilalui Ayun menghasilkan perubahan dramatis dalam kehidupannya. Di masa lalu, Ayub hanya mendengar tentang Allah, tetapi sekarang ia telah melihat-Nya! Mendengar tentang Allah dapat disamakan seperti iman yang diwariskan – sebuah iman yang seringkali berasal dari iman yang diajarkan. Namun, melihat Allah dapat disamakan dengan iman yang berasal dari pengalaman pribadi. Iman seperti inilah yang tulus dan mendekatkan kita kepada Allah.

Ujian terberat Ayub bukanlah segala musibah yang ia hadapi satu demi satu, tetapi adalah kepedihan hatinya. Ayub tahu betul bahwa Allah memberi dan juga mengambil, dan kita juga menyadari hal ini. Ia juga tahu bahwa dalam segala hal, kehendak Allah-lah yang terjadi. Tetapi ia tidak mengerti apakah kehendak-Nya: mengapa orang-orang benar harus mengalami penderitaan yang demikian hebat? Ayub, menggemakan seruan-seruan kita, meratap: “Demi Allah yang hidup, yang tidak memberi keadilan kepadaku, dan demi Yang Mahakuasa, yang memedihkan hatiku” (Ayb. 27:2).

Raja Salomo juga meratap, “Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari” (Pkh. 3:4). Masa-masa menyakitkan dalam penantian jawaban yang tidak kunjung datang akhirnya berakhir. Ayub berkata kepada Allah, “Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui… Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayb. 42:3, 5). Akhirnya Ayub memahami kehendak Allah. Betapa besar sukacitanya!

Saat kita mengalami penderitaan, seringkali kita berusaha mencari kambing hitam. Namun penderitaan adalah waktu untuk bercermin. Kita harus senantiasa mengikuti teladan iman Ayub yang tetap bertahan hingga akhir. Mari kita dengan sadar merenungkan kehendak Allah yang merancangkan segala sesuatu untuk kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya. Apabila kita dapat melakukannya, iman kita dapat beranjak dari sekadar mendegar tentang Allah, hingga dapat melihat Allah, dari ketidakdewasaan menjadi dewasa.