“Dan engkau akan makan dan akan kenyang…hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan Tuhan, Allahmu.”
Ulangan 8:10-11

Musa mengatakan perkataan ini di akhir hidupnya, ketika bangsa Israel sedang berada di padang gurun dan belum masuk ke tanah Kanaan. Ia mengerti kelemahan manusia yang tak terpisahkan. Ia tahu bahwa saat manusia menjadi makmur dan berhasil, mereka akan menjadi sombong dan merasa tidak membutuhkan Allah. Di padang gurun, bangsa Israel telah mengalami kesusahan. Mereka tidak mempunyai makanan, sehingga mereka bersandar pada manna yang diturunkan Tuhan pada mereka. Mereka tidak mempunyai air, sehingga mereka bersandar pada air yang diberikan Tuhan dari batu. Mereka tidak mengenal arah, sehingga mereka bersandar pada bimbingan hamba Tuhan. Mereka tidak memiliki pakaian untuk dipakai, sehingga mereka bersandarkan pada kuasa Allah yang memelihara pakaian dan kasut mereka selama empat puluh tahun. Seluruh suku dengan lancar dapat menyeberangi sungai Yordan tidak lain karena bimbingan dan perlindungan Tuhan. Namun, ketika hidup mereka mulai terasa nyaman dan aman, ingatan mereka akan karunia-Nya menjadi pudar dan redup.

Kemakmuran menumpulkan indera kita. Kita menjadi yakin hanya pada kemampuan diri kita dan kita kehilangan “kebutuhan” akan Tuhan. Kita lupa atau bahkan menyangkal bahwa Tuhanlah yang menyediakan kita dengan segala sesuatunya. Alkitab menceritakan beberapa peristiwa yang menunjukkan akan bahaya ini. Selama 3 tahun, Rehabeam menaati Tuhan dan Tuhan menguatkan kerajaannya (2Taw. 11:16-17). Namun, di dalam kemakmuran kerajaannya, ia meninggalkan Tuhan (2Taw. 12:1). 2 Tawarikh 26:15 memberitahukan pada kita bahwa “Uzia ditolong dengan ajaib sehingga menjadi kuat.” Dengan pertolongan Tuhan, ia menjadi orang yang sangat dihormati dan namanya masyhur. Tetapi pada ayat 16, kita mengetahui bahwa saat Uzia menjadi kuat, ia menjadi tinggi hati dan inilah permulaan kejatuhannya. Ia menjadi sangat sombong sehingga ia ingin memasuki bait Tuhan dan membakar sendiri ukupan–dan ini adalah pelanggaran di hadapan Tuhan. Para imam, dengan kasih, berusaha untuk menghentikannya dan memperlihatkan kesalahannya. Namun Uzia menjadi marah–telah menjadi besar kepala oleh kebesarannya sendiri sehingga ia tidak dapat menerima kritikan orang lain–dan kusta menimpanya. Ia berpenyakit kusta sampai hari matinya.

Dan terakhir, kita membaca tentang Hizkia, seorang raja yang dikasihi Tuhan. Ketika ia sadar betapa parah penyakit yang dideritanya, ia berdoa kepada Tuhan (Yes. 38). Dan Tuhan memberikannya sebuah tanda bahwa ia akan disembuhkan. Namun, setelah disembuhkan, Hizkia menerima utusan dari Babel dan menunjukkan semua yang dimilikinya, seluruh hartanya dan persenjataannya. Ini juga, adalah kesombongan. Ia ingin memuji dirinya sendiri dengan memperlihatkan segala yang dipunyainya. Yesaya memberitahukan padanya, bahwa segala yang dimilikinya suatu hari akan dibawa ke Babel.

Tepat di saat ketika apa yang kita lakukan sesuai dengan keinginan kita, ketika kita berhasil dalam segala hal, kita berada dalam bahaya kejatuhan. Mata, pikiran, tangan kita dipenuhi oleh kelimpahan di sekeliling kita. Tidak ada lagi ruang kosong untuk Tuhan: untuk melihat karya-Nya, untuk memikirkan kerajaan-Nya, untuk berdoa dan melakukan kehendak-Nya. Kita mungkin berpaling daripada-Nya dan bangga akan keberhasilan kita, melupakan kasih karunia-Nya. Kita lupa bahwa kemakmuran dan kesuksesan bukan milik kita, tetapi seperti halnya yang lain, bersumber dari pengaturan Tuhan. Dengan demikian, ketika kita diberkati oleh Tuhan, marilah kita ingat dan waspada. Selalu mengucap syukur atas kasih penyediaanNya, dan selalu menomor-satukan Sang Penyedia dalam hidup kita.

“Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkalMu dan berkata: Siapa Tuhan itu?” (Ams. 30:8-9).