Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.
Lukas 22:31-32

Di sebuah kebaktian Jumat malam, sekelompok guru-guru Sekolah Minggu memberanikan diri membagikan kesaksian mereka tentang anak-anak didik mereka. Kegugupan mereka terkubur oleh sukacita dan rasa syukur yang terpancar dari kesaksian mereka yang sederhana. Saat saya mendengar kesaksian sukacita mereka, Saya terpana dengan kesadaran yang tiba-tiba. Banyak anak-anak Sekolah Minggu yang kita kira “lebih kuat”, “lebih cerdas”, “beriman kuat”, dan “lebih dewasa”, ternyata diam-diam bergumul dengan beban mereka sendiri.

Betapa seringnya kita dengan segera menolong yang lemah, tetapi dengan demikian mengabaikan yang kuat. Mengapa orang-orang dewasa; orangtua, guru agama, saudara-saudara yng lebih tua, dan teman-teman, memberikan perhatian lebih banyak kepada anak-anak yang lemah, dengan yakin percaya bahwa anak-anak yang lebih kuat tidak terlalu membutuhkan perhatian dan kasih sayang?

Di sebuah gereja, saya memperhatikan sebuah keluarga yang mempunyai dua anak, satu anak perempuan yang mengalami retardasi mental, dan anak laki-laki yang cerdas. Karena keadaan kesehatan anak perempuannya yang rapuh, ibu mereka senantiasa memperhatikan kebutuhannya. Lebih lagi, ibu itu seringkali menyuruh anak sulungnya untuk menolong membantu adik perempuannya.

Anak laki-laki ini sangat mengasihi adiknya, dan dengan patuh melakukan apa yang disuruh ibunya. Namun apabila dilihat dengan lebih cermat, Anda akan melihat kesedihan yang terpancar dari matanya.

“Ini adalah tanggungjawabku. Mama berharap kepadaku. Aku harus menolong Mama dan adikku.”

Mungkin ucapan ini juga seringkali kita ucapkan kepada diri sendiri: “Aku harus menjadi kuat. Aku bisa. Bahkan apabila aku tidak bisa, aku tetap harus kuat.” Maka beban bertumpuk-tumpuk menghujani pundak kita.

Mengapa kamu terus bertahan?
Karena ini adalah tugasku.
Mengapa tidak kamu lepas?
Karena aku tidak boleh melepasnya.
Apakah kamu bersukacita?
Apa maksudmu?

Saya berharap dapat menggapai anak laki-laki itu. Saya ingin memberitahukannya, bahwa ia masih anak-anak, dan ia tidak sendirian. Saya ingin memberitahukan ibunya bahwa walaupun memang anak perempuannya membutuhkan banyak perhatian, tetapi anak laki-lakinya juga membutuhkannya. Walaupun tampak kuat dan tidak membutuhkan pertolongan, ia masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang.

Kita mungkin tampak kuat. Kita mungkin tampak mampu menghadapi setiap masalah yang menghadang jalan iman kita. Kita mungkin menolak tawaran-tawaran pertolongan. Tetapi mungkin kita-lah yang sebenarnya sedang berseru meminta pertolongan, walaupun di luar hati kita, kita senantiasa menawarkan pertolongan.

Kepada mereka yang dengan setia melakukan pekerjaan pelayanan mereka, jalanilah kehidupan dengan sukacita dan kudus. Allah akan mengurus yang lainnya.

Kepada mereka yang tidak dapat melepaskan beban mereka, saudara, beban-beban itu bukan milikmu. Allah yang akan menanggungnya bagimu.

Kepada mereka yang tidak tahu arti kebahagiaan, tutuplah matamu, lipatlah tanganmu, dan lihatlah ke dalam hati Allah.

Kepada mereka yang tampaknya kuat, tetapi diam-diam sedang bergumul dalam iman, tuangkanlah beban hatimu kepada Tuhan, batu karangmu, karena Ia mengasihimu (Mzm. 62:8; 1Ptr. 5:7).