Setelah Yesus memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan, Ia mengutus murid-murid-Nya mendahului Dia ke seberang danau Galilea. Kemudian, terjadi badai di sana, namun Yesus menghampiri murid-murid-Nya dengan berjalan di atas air, dan menenangkan badai itu. Tak kepalang, murid-murid merasa takjub. Catatan yang ditulis Markus memuat sebuah pemikiran yang menarik.
“Lalu Ia naik ke perahu mendapatkan mereka, dan anginpun redalah. Mereka sangat tercengang dan bingung, sebab sesudah peristiwa roti itu mereka belum juga mengerti, dan hati mereka tetap degil” (Mrk. 6:51-52).
Ketika mengingat kembali peristiwa itu saat menulis kitabnya, Markus menyadari bahwa mereka merasa takjub hanya pada saat itu, karena mereka tidak mengerti sesuatu mengenai roti. Apakah yang tidak mereka mengerti? Matius 14:33 memberikan jawaban.
“Dan orang-orang yang ada di perahu menyembah Dia, katanya: “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.””
Bila kita menyejajarkan kedua catatan ini, kita melihat, walaupun murid-murid menyaksikan Yesus memberi makan lebih dari 5000 orang dengan hanya lima roti dan dua ikan, mereka tidak dapat melihat bahwa Yesus adalah Anak Allah. Di mata mereka, mujizat lima roti dan dua ikan ini tidak spektakuler.
Namun setelah itu Markus menyadari bahwa mereka seharusnya sudah merasa takjub ketika Yesus tanpa habis-habisnya memberikan mereka roti untuk dibagikan ke begitu banyak orang. Mereka seharusnya sudah menggeleng-gelengkan kepala terheran-heran ketika sisa makanan yang mereka kumpulkan melampaui jumlah makanan yang awalnya mereka miliki. Mereka tidak berpikir, “sungguh, Engkau adalah Anak Allah”. Namun mereka tidak memikirkan itu, sebab hati mereka degil.
Berapa banyakkah di antara kita yang menerima lebih dari sekedar roti, dan terheran-heran? Ketika kita berdoa sebelum makan, apakah kita mengungkapkan rasa syukur seakan sekedar sopan santun seperti kepada orang yang mentraktir kita, atau karena rasa terima kasih yang dalam dan takjub kepada Allah yang maha kuasa? Apakah kita menerima dengan berlimpah-limpah, tetapi tidak dapat melihat mujizat di balik itu semua?
Dalam Roma 1:20 dan 21, Paulus menulis bahwa kita tidak mempunyai alasan untuk tidak memuliakan dan mengucap syukur kepada Allah. Hal-hal yang tampak biasa di hari-hari kita, seperti apa yang kita makan, keselamatan di jalan dan di rumah, ini semua memperlihatkan kemuliaan Allah sama seperti hal-hal yang menakjubkan. Hanya dengan melihat ciptaan-ciptaan-Nya, kita dapat melihat dengan jelas kekuasaan-Nya yang kekal. Sungguh, setiap hari adalah sebuah mujizat dan kasih karunia yang patut diherankan.
Renungan:
Apakah yang Anda terima kasihkan pada Tuhan hari ini?