TUJUH PULUH KALI TUJUH
Saat sedang emosi, saya hampir tidak bisa untuk mengatur perkataan saya. Emosi saya dapat berkelanjutan untuk waktu yang cukup lama. Meskipun saya tahu bahwa sebagai seorang Kristen saya seharusnya tidak bersikap seperti itu.
Suatu hari setelah pulang kerja, saya dengan suami saya pergi ke pasar untuk membeli makanan. Langit sudah gelap, hampir semua penjual telah pulang, hanya beberapa penjual saja yang masih berjualan di pasar ini. Saya mendekati salah satu penjual dan bertanya, “Apakah Anda menjual ikan?”
Tanpa berkata satu kata pun, penjual tersebut menunjukan ikannya. Saya melihat ikannya dan bertanya, “Ini terlalu besar, apakah Anda punya yang lebih kecil?” Dia menggelengkan kepalanya dan melanjutkan pekerjaanya. Penjual yang lain di dekat situ memanggil saya, “Nona, saya punya ikan yang lebih kecil di sini, lihat masih segar-segar.” Lalu dia meletakan ikannya di timbangan.
Saya melihat ikan yang di dalam timbangan memiliki ukuran yang hampir sama dengan ikan dari penjual sebelumnya. Jadi saya melihat ke arah penjual sebelumnya dan melihat ikannya lagi. Siapa sangka saya hanya melihat sebentar membuat penjual sebelumnya berteriak kepada saya dengan kasar, “Apa lihat-lihat? Kalau tidak membeli ikan saya, apa yang mau Anda lihat?
Saya terkejut untuk sesaat, tidak tahu apa maksud dia. “Bagaimana bisa ada orang seperti dia di dunia!” Setelah itu saya menjadi sangat marah dan berkata, “Betapa anehnya Anda ini! Kan Anda jual ikan disini, apakah saya tidak boleh lihat jika saya tidak beli dari Anda? Saya hanya mau lihat dan tidak beli barang Anda, terus kenapa?”
Kami beradu mulut untuk sesaat. Suami saya mencoba menenangkan saya dan menyuruh saya untuk tidak menghiraukan penjual itu. Tetapi semakin suami saya mencoba untuk menenangkan saya, semakin saya menjadi marah.
Dalam perjalanan pulang, saya mengungkapkan semua kekesalan saya pada suami saya dan berkata, “Istrimu sedang dicemooh tetapi kamu hanya diam. Apakah suami seperti ini masih bisa menjadi kepala rumah tangga?”
“Lupakan tentang itu. Kamu seharusnya tidak berargumentasi dengan dia. Apakah kamu tidak lihat bahwa penjual itu terlihat seperti orang yang tidak baik? Terlebih lagi dia sedang memegang pisau ditanganya, tadi juga tidak banyak orang di pasar jadi saya tidak mau berurusan dengan dia,” suami saya menjelaskan kepada saya dengan lembut.
Tetapi setelah mendengar penjelasannya, saya menjadi lebih marah dan berkata, “Oh, jadi dia punya pisau dan kamu jadi takut. Hebat, bagaimana bisa kamu melidungi istrimu?”
Saya sangat emosi, saya tidak bisa mengatur perkataan saya dan emosi saya tidak reda untuk waktu yang cukup lama. Meskipun saya tahu sebagai seorang Kristen, saya seharusnya tidak bersikap seperti itu. Saya hanya ingin mengungkapkan kekesalan saya.
Setelah sampai dirumah, saya tidak menyiapkan makan malam. Saya marah dan diam di dalam kamar. Suami saya terdiam untuk waktu yang cukup lama. Akhirnya dia berkata, “Sebenarnya bukan karena saya takut pada penjual itu atau saya seorang pengecut yang tidak bisa melindungi istri. Pada saat itu saya hanya diam karena saya terus memikirkan tentang satu hal. “Apa itu?” tanya saya. “Tujuh puluh kali tujuh.”
Setelah dia selesai berbicara, semua kekesalan saya mereda. Tiba-tiba saya teringat tentang pengajaran tujuh puluh kali tujuh.
Bukan karena saya tidak mengerti, tetapi karena saya tidak mau merendahkan diri saya waktu itu. Saya hanya ingin mengungkapkan kekesalan saya dan mengesampingkan kerohanian saya. Saya tidak berani memikirkan Firman Tuhan karena Firman itu dapat membuat saya merasa bersalah. Ketika seseorang mendatangkan masalah bagi Anda, Anda tidak dapat menghindar lagi. Firman Tuhan seperti pisau bermata dua. Di hadapan Tuhan Anda bisa melihat kekerasan hati Anda, merasa bersalah di dalam hati dan menyalahkan diri sendiri.
Iman dan kasih seharusnya tidak hanya terlihat di gereja saja, tetapi juga dipraktekan diluar gereja. Tetapi kita lebih sering mengikuti keinginan daging dan membuat Roh Kudus menjadi sedih. Bukan karena kita tidak tahu, tetapi karena kita kekurangan teman rohani yang mengingatkan kita. Sering pergi ke gereja dan memiliki lebih banyak teman rohani adalah hal yang sangat diperlukan ketika kita mencoba untuk hidup dalam Kristus.
Kehidupan yang sederhana dan membosankan, menguji perilaku kita dan perilaku kita selalu diuji dengan pekerjaan setiap hari. Untuk mengetahui apakah Anda adalah orang Kristen sejati atau tidak, tergantung dari sikap Anda ketika menghadapi kehidupan yang hambar dan membosankan.