TUHANLAH KEMENANGANKU
Cathlin Amelinda – Sunter, Indonesia
Dalam nama Tuhan Yesus saya bersaksi.
Puji syukur kepada Tuhan, Ia masih memberikan kesempatan kepada saya, untuk memberitakan kasih-Nya yang telah dicurahkan kepada kami sekeluarga.
Seorang hamba Tuhan pernah mengatakan, bahwa sebuah kesaksian yang kuat dan indah tidak dilihat dari akhir kesaksiannya, apakah orang itu berhasil atau gagal dalam menyelesaikan permasalahannya. Bukan juga dilihat dari apakah orang itu sembuh atau tidak dari penyakit yang dideritanya. Namun yang terpenting dalam kesaksian adalah, ketika menghadapi kesulitan, penderitaan, sakit penyakit, semua hal ini tidak menghalangi kita untuk tetap dekat kepada Tuhan dan terus memuliakan-Nya. Saya percaya, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Yang perlu kita perhatikan adalah apakah kita tetap mau bersandar kepada-Nya, mencari-Nya dan tetap setiap kepada-Nya di dalam setiap persoalan kehidupan kita.
Kanker adalah suatu penyakit yang sangat ditakuti. Ketika seseorang dinyatakan menderita kanker oleh dokter, yang terlintas di dalam pikirannya adalah kematian yang sudah di ambang pintu. Bulan Maret 2008, saya menemukan sebuah benjolan di payudara saya sebelah kiri. Saya bertanya kepada beberapa teman saya, dan mereka mengatakan bahwa kadang-kadang benjolan dapat muncul ketika kita akan datang bulan. Benjolan itu bisa juga merupakan lemak yang ada di dalam tubuh kita. Mendengar hal ini saya merasa sedikit lebih tenang. Atas saran seorang saudari, saya mencoba memeriksa darah untuk menemukan tanda-tanda apakah saya menderita kanker. Hasil tes darah saya menunjukkan bahwa semuanya normal, tidak ada tanda-tanda saya mengidap sakit kanker.
Setelah berunding dengan suami dan ibu mertua saya, kami memutuskan untuk pergi ke Singapura, untuk memeriksa benjolan tersebut. Saya memutuskan untuk pergi ke sana di awal bulan April, karena saya ingin mengikuti Family Day di Sunter terlebih dahulu bersama dengan keluarga saya. Awal bulan April 2008, bersama suami, berangkat ke Singapura. Setelah bertemu dengan dokter, ia menyuruh saya untuk menjalani USG dan juga Mammografi. Setelah dokter memeriksa dua hasil pemeriksaan ini, ia mengatakan bahwa terdapat tanda-tanda, bahwa benjolan ini adalah sel kanker. Namun dokter belum dapat sepenuhnya memastikannya, sebelum melakukan pemeriksaan biopsi pada benjolan saya. Mendengar ini, saya mulai merasa sedih. Saya bersama suami memutuskan untuk menjalani operasi untuk mengangkat benjolannya saja, sekaligus untuk melakukan biopsi pada benjolan.
Sehari sebelum operasi dilakukan, saya memberitahukan saudara-saudari seiman di Gereja Sunter, untuk mendoakan saya agar operasi berjalan dengan lancar. Saya juga minta bantuan doa kepada saudara-saudari seiman di Singapura. Kebetulan di Singapura ada istri Dk. Sutrisna dan saudari San Ling yang saya kenal. Saya berharap bahwa diagnosa dokter salah. Malam sebelum operasi, saya dan suami berdoa memohon kemurahan dan belas kasihan Tuhan. Saya merasa sedih dan takut. Ketika saya mau tidur, saya menerima sms dari saudari Yeye, yang mengutip ayat Yesaya 41:10 yang berbunyi : “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kananKu yang membawa kemenangan”. Saya menangis ketika membaca ayat ini, sebab saya merasakan Tuhan memberikan penghiburan kepada saya. Dalam doa saya malam itu, saya berkata kepada Tuhan bahwa saya percaya apa yang Ia janjikan kepada saya. Saya percaya bahwa Tuhan akan menolong dan memberi kemenangan kepada saya.
Keesokan harinya saya bersiap-siap untuk menjalani operasi. Sebelum operasi dilakukan, saudari Bie Lie (istri Dk. Sutrisna, saudari San Ling dan Pdt. Simon Chin beserta istrinya, datang membesuk dan berdoa bagi saya. Saya tidak merasakan gentar dan sedih saat menghadapi operasi ini, karena saya sudah menyerahkan segalanya ke dalam tangan Tuhan, dan saya yakin operasi ini akan berjalan dengan lancar.
Operasi dilakukan selama kurang lebih dua jam. Setelah selesai, masih di dalam ruangan operasi, dokter membangunkan saya dari pengaruh obat bius. Dalam keadaan setengah sadar, saya memanggilnya dan bertanya, apakah benjolan saya adalah sel kanker. Dokter menjawab ya. Setelah mendengar jawabannya, saya tertidur lagi karena kepala saya masih terasa pusing. Saat keluar dari ruangan operasi, saya mendengar suami saya menanyakan hasil operasi kepada dokter. Walaupun sudah tahu hasilnya, saya tetap terdiam. Anehnya, saat itu saya tidak merasakan sedih.
Malamnya, setelah suami saya pulang, saya merenungkan apa yang telah terjadi seorang diri dalam kesunyian malam. Saya tahu bahwa suami saya pasti merasa sedih menerima kenyataan ini. Namun ia tidak memperlihatkannya di depan saya. Dalam keheningan itu, saya bertanya kepada diri sendiri, mengapa hal ini harus terjadi pada diri saya? Mengapa saya harus menderita kanker? Kenapa bukan penyakit yang lain saja? Tidak pernah terbersit pada pikiran saya, yang seringkali disebut orang yang tidak pernah sakit, tiba-tiba mendapatkan penyakit yang begitu menakutkan. Dalam kesedihan, saya bertanya kepada Tuhan, apakah sebenarnya rencana-Nya bagi diri saya. Sepuluh tahun yang lalu kami telah kehilangan anak kami yang bungsu. Rasanya saya masih baru pulih dari beban yang begitu berat kami pikul saat itu. Namun sekarang saya harus menanggungnya lagi. Malam itu saya memohon Tuhan mengampuni saya, sekiranya saya telah melakukan kesalahan di hadapan-Nya. Namun saat itu saya tidak tahu kemenangan seperti apa yang Ia janjikan bagi saya.
Kami harus menunggu beberapa hari lagi setelah keluar dari rumah sakit, untuk mengetahui hasil pemeriksaan laboratorium. Dalam penantian itu, saya berharap-harap agar hasil pemeriksaan memberikan berita gembira bagi kami. Setelah beberapa hari, kami menemui dokter untuk mengetahui hasilnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kanker saya tergolong ganas, dan telah mencapai stadium 2B. Kami disarankan untuk mencari dokter onkologi untuk meneruskan pengobatan.
Teman-teman kami menyarankan beberapa nama dokter onkologi. Sebenarnya kami sudah mengenal satu dokter onkologi, namun saat itu kami belum memutuskan untuk melanjutkan pengobatan dengan dokter itu, karena biayanya cukup mahal. Setelah kami berunding, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi dokter Tan di Rumah Sakit Glenagles. Saya berdoa dalam hati, ya Tuhan, saya tidak tahu apakah dokter ini cocok bagi saya. Biarlah Tuhan saja yang memilihkan untuk saya.
Setelah melihat hasil pemeriksaan laboratorium, dokter Tan mengatakan bahwa saya harus menjalani perawatan kemoterapi selama dua belas kali setiap minggu, dan menjalani penyinaran radiologi selama 28 kali setiap hari, dan lalu menerima suntikan obat herceptin selama satu tahun, setiap tiga minggu sekali. Mendengar jumlah dan lamanya pengobatan ini, kami menanyakan jumlah biaya yang perlu kami keluarkan untuk menjalaninya. Jawaban dokter sangat mengejutkan, karena semua pengobatan ini memakan biaya yang sangat mahal. Saya sangat terpukul. Darimanakah kami dapat mengumpulkan uang sebegitu besar? Dengan berharap, saya menanyakan dokter, apakah ada alternatif pengobatan yang lain. Namun ia menjawab bahwa hidup saya tinggal tersisa dua tahun lagi. Jawaban ini membuat saya tak kuasa menahan air mata. Saya terus menangis. Kami kemudian pulang, mengatakan kepada dokter bahwa kami perlu mempertimbangkan dahulu semua pengobatan ini.
Setibanya di rumah, saya terus menangis di kamar. Saya berkata kepada suami saya, bahwa saya tidak tega melihatnya mencari uang dengan susah payah, namun akhirnya habis hanya untuk mengobati saya. Suami saya tidak mengatakan apa-apa, namun saya melihatnya juga turut menitikkan air mata. Saya tahu bagaimana perasaannya saat itu. Kesedihan saya semakin bertambah. Saya berteriak dalam hati saya kepada Tuhan, apakah sesingkat itu saja hidup saya? Bagaimana dengan suami dan anak-anak saya, bila saya pergi meninggalkan mereka. Saya memikirkan biaya yang harus dikeluarkan jika saya menjalani semua pengobatan ini, namun saya juga memikirkan hidup saya yang akan segera berakhir. Apakah yang harus saya lakukan? Saya tahu hidup manusia ada di tangan Tuhan. Namun sebagai manusia biasa, saya gentar menghadapi vonis dokter mengenai hidup saya. Kami kemudian menyampaikan berita ini kepada anak-anak dan keluarga kami berdua, serta sebagian teman-teman dekat kami.
Tidak lama setelah itu saya mendapatkan kabar dari ibu mertua, bahwa anak-anak kami menangis mendengar sisa hidup ibunya yang hanya sebentar lagi. Saat itu dua anak saya sedang menghadapi ujian akhir, dan yang bungsu juga menghadapi ulangan umum. Ibu mertua saya menyarankan agar saya menelpon dan menghibur mereka. Di telepon, sambil berusaha tetap tegar dalam kesedihan, saya berkata kepada anak-anak, “Anak-anak jangan sedih ya. Kalian harus belajar. Kelulusan kalian adalah sebuah kebanggaan bagi Mama. Doakan Mama ya, Tuhan pasti mendengar doa seorang anak bagi ibunya.” Anak-anak pun mengatakan hal yang sama kepada saya, agar saya tidak bersedih. Mereka memberikan sebuah ayat dari kitab Roma 12:12: “Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan dan bertekunlah dalam doa.” Mereka juga memberikan sebuah kata mutiara, “In times of difficulties, don’t ever say: God, I have a big problem. Instead, say: Hi problem, I have a big God. And everything will be allright” (Dalam masa-masa sulit, jangan pernah berkata: Tuhan, aku mempunyai masalah besar. Tetapi katakanlah: Hai masalah, aku mempunyai Tuhan yang besar. Dan semuanya akan baik-baik saja).
Kata-kata yang disampaikan oleh anak-anak membuat saya terharu, dan saya berkata kepada diri sendiri, bahwa saya tidak boleh tenggelam dalam kesedihan, saya harus bangkit, dan berjuang hidup demi suami dan anak-anak saya. Bangga dan syukur memenuhi diri saya, karena mempunyai suami, anak-anak, keluarga, dan saudara-saudari di dalam Tuhan, yang senantiasa memberikan kekuatan dan dukungan kepada saya. Mereka semua sangat mengasihi saya.
Esoknya, saya dan suami memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter lain. Saya ingin mengetahui apakah dokter yang lain dapat memberikan hasil pemeriksaan yang berbeda. Dalam kebingungan dan perasaan tanpa arah, saya berdoa dan memohon agar Tuhan memberikan hikmat dan petunjuk untuk mendapatkan dokter yang tepat untuk menangani penyakit saya. Tuhan kemudian menuntun saya untuk mendatangi dokter Hwang di Rumah Sakit Mt. Elizabeth, dokter yang semula kami hindari.
Setelah bertemu dengan dokter Hwang, ia memberikan jawaban yang sama, dengan biaya yang hampir sama pula, namun dengan cara pengobatan yang sedikit berbeda. Harapan saya pupus. Sambil menangis, saya mengatakan kepada suami, bahwa saya tidak ingin menjalani pengobatan. Saya takut, apabila pengobatan terhenti di tengah jalan karena tidak ada uang, maka sia-sia saja semuanya. Uang habis, namun penyakit tidak sembuh. Tiba-tiba dokter mengatakan, bahwa ia akan memberikan sebuah jenis obat kemoterapi secara gratis selama empat kali, namun ia hanya dapat menjanjikan ini untuk sementara. Awalnya saya tetap tidak tergerak, karena saya berpikir bahwa perjalanan pengobatan masih sangat panjang, dan biaya yang diperlukan masih sangat besar. Namun saudari Bie Lie yang menemani kami mengatakan, bahwa saya tidak boleh bersikap seperti itu. Tuhan sudah membuka jalan bagi saya. Saudari Bie Lie berkata bahwa selama ini ia telah mengantar pasien-pasien lain berobat ke dokter Hwang, tidak pernah sekali pun dokter memberikan obat gratis kepada pasiennya. Setelah mendengar nasihat ini, saya akhirnya memutuskan untuk menjalani pengobatan. Tuhan sungguh telah membuka jalan bagi saya. Masakan saya tetap mengeraskan hati? Saya yakin Tuhan akan menyediakan segala sesuatu bagi saya, dan menyerahkan diri saya ke dalam kemurahan tangan Tuhan. Karena memutuskan untuk menjalani pengobatan, kami menerima tawaran untuk menumpang di rumah atasan suami saya.
Ada perasaan takut ketika pertama kali menjalani kemoterapi. Orang-orang mengatakan bahwa pada umumnya orang yang menjalani pengobatan kemoterapi mengalami keadaan tubuh yang lemah pada esok harinya. Bahkan saya juga mendengar dari pasien lain, mereka tidak dapat bangun dari tempat tidur karena terlalu lemah. Ada yang mual-mual, muntah, dan tidak nafsu makan. Namun saya berusaha meyakinkan diri bahwa itu semua tidak akan terjadi pada diri saya, dan memohon belas kasihan kepada Tuhan, agar badan saya tidak mengalaminya. Saya ingin dapat pergi ke rumah Tuhan di hari Sabat, mengingat saya menjalani kemoterapi selama tiga jam, setiap hari Jumat.
Keesokan harinya di pagi hari, dengan gembira saya mengajak suami saya pergi ke gereja Sembawang untuk mengikuti kebaktian Sabat. Sebenarnya saya tidak boleh keluar rumah setelah menjalani kemoterapi, karena mudah sakit setelah daya tahan tubuh saya melemah karena pengaruh pengobatan kemoterapi. Namun dengan iman saya tetap pergi ke gereja untuk berkebaktian Sabat. Perjalanan yang jauh tidak merintangi kami. Puji Tuhan, kami dapat mengikuti kebaktian Sabat dari pagi hingga sore hari, tanpa merasa lelah. Ini berlangsung setiap minggu, dan puji Tuhan, saya tidak pernah merasa lelah, mual, atau muntah. Obat mual yang diresepkan dokter tidak pernah saya minum.
Lalu tibalah waktunya suami saya untuk pulang ke Jakarta, setelah kemoterapi saya yang pertama. Saya tidak ikut pulang untuk melanjutkan kemoterapi kedua. Saat itu saya merasa sedih sekali, karena harus berpisah dengannya. Selama hidup bersama 20 tahun, baru kali ini saya merasakan sebuah perpisahan yang berat. Saya memeluknya dan menangis, tidak ingin berpisah. Namun suami saya tidak mungkin terus menemani saya, karena ia harus bekerja di Jakarta. Setelah mengantarnya ke bandara dan kembali ke rumah tempat kami menumpang, saya masuk ke kamar, dan berdoa sambil menangis di hadapan Tuhan. Tuhan, jangan berikan beban yang begitu berat. Saya tidak sanggup. Apabila Engkau menghendaki saya minum cawan yang pahit ini, biarlah Engkau memberikan kekuatan agar saya dapat melewati semua ini bersama dengan Engkau. Ajarkan saya untuk selalu bersyukur kepada-Mu di setiap keadaan. Tambahkan iman saya. Tambahkan juga kasih dan kesetiaan saya kepada-Mu. Biarlah dengan sisa hidup yang Engkau berikan, Engkau memakai saya menjadi alat-Mu yang berguna. Biarlah setiap orang yang melihat kesembuhan saya, melihat bahwa Tuhan mengasihi dan hadir di dalam hidup saya, menjadi pelita bagi mereka di tengah keputusasaan. Biarlah hidup saya menjadi berarti bagi orang lain.
Sejak hari itu, saya melewati pengobatan saya di Singapura hanya bersama dengan Tuhan. Keluarga dan ibu mertua pernah menawarkan diri untuk menemani, namun saya menolak tawaran-tawaran ini. Mereka mempunyai kesibukan masing-masing, tidak dapat terus menemani saya menjalani pengobatan yang cukup lama. Jika kelak saya memerlukan bantuan, saya pasti akan memberitahukannya kepada mereka. Namun selama saya masih dapat melakukan ini sendiri, saya tidak tega merepotkan suami, anak-anak, atau keluarga. Saya percaya ini semua dapat saya lewati bersama Tuhan, yang memberikan kekuatan. Setelah kemoterapi kedua dan pulang ke Jakarta, saya kembali ke Singapura untuk kemoterapi ketiga, seorang diri. Setiap kali menginjakkan kaki di Bandara Udara Changi, saya menangis. Namun dalam kesedihan itu saya terus meyakini iman, bahwa saya tidak berjalan sendirian, namun Tuhan menemani di sisi saya.
Selesai menjalani kemoterapi kedua, saya kembali ke Jakarta karena sangat rindu dengan anak-anak yang telah saya tinggalkan selama tiga minggu. Saya tidak dapat membendung air mata ketika melihat wajah-wajah mereka. Malamnya kami berdoa bersama-sama sekeluarga, dan berkata kepada Tuhan, kasihanilah anak-anak kami. Mereka memerlukan saya. Saya percaya berkat Tuhan untuk kami adalah seperti minyak yang tidak pernah habis dipakai, sehingga kami dapat menjalani semua ini.
Bersyukur kepada Tuhan atas segala kasih dan kemurahan-Nya, saya dapat melewati kemoterapi hingga selesai. Rambut saya rontok karena pengaruh pengobatan kemoterapi. Suami saya mencukur habis rambut saya ketika rambut yang tersisa tinggal sedikit. Setelah kepala saya gundul, saya berkelakar dengan suami bahwa saya seperti putri Giok dalam film, yang rambutnya dicukur habis. Puji Tuhan, suami dan anak-anak saya dapat menerima keadaan saya. Saya sangat terharu ketika suami mengatakan agar saya tidak perlu malu dengan keadaan saya. Ia menerima saya apa adanya, apa pun yang terjadi pada diri saya, seperti saya menerima dia apa adanya.
Setelah kemoterapi selesai, saya harus mengikuti perawatan radioterapi. Kecemasan meliputi saya, karena saya harus menjalani perawatan ini sebanyak 28 kali, setiap hari, kecuali Sabtu dan Minggu. Ini berarti saya harus tinggal di Singapura selama satu setengah bulan! Saya tidak tahu apakah saya sanggup melewati hari-hari perawatan radioterapi ini seorang diri. Satu minggu sendiri saja sudah terasa sangat berat, apalagi satu setengah bulan. Hati saya terasa berat, namun saya tahu saya harus melewatinya. Namun sungguh Allah kita luar biasa. Ia menuntun saya menjalani perawatan selama satu setengah bulan ini dengan hati yang penuh sukacita, sehingga tanpa terasa saya menjalani perawatan ini hingga selesai. Saya nyaris tak percaya bahwa saya dapat tinggal di Singapura sendirian selama itu. Setelah menjalani radioterapi, pengobatan terakhir yang harus saya jalani adalah penyuntikan herceptin sebanyak 14 kali, setiap tiga minggu sekali.
Waktu berjalan dengan sangat cepat. Tanpa terasa, satu tahun berlalu sejak saya menjalani pengobatan kanker. Genap satu tahun, saya menjalani pemeriksaan untuk melihat hasil pengobatan selama ini. Ada perasaan takut dalam hati saya, seperti seorang anak yang akan menerima laporan hasil belajarnya di akhir periode, tidak tahu apakah nilainya bagus atau tidak. Namun saya percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik. Apa pun hasilnya, saya harus menerima semuanya dengan hati yang lapang. Puji syukur kepada-Nya, hasil pemeriksaan yang dilakukan bulan April 2009 lalu menunjukkan bahwa saya sudah bersih dari kanker, dan tidak terdapat penyebaran sel kanker ke bagian tubuh yang lain. Berita ini membuat saya dipenuhi dengan sukacita dan rasa syukur kepada Tuhan yang tak terungkapkan. Ini semua adalah berkat pertolongan dan kemurahan Tuhan, dan juga doa suami, anak-anak, keluarga, dan saudara-saudari seiman. Rambut saya sekarang sudah tumbuh. Menurut banyak orang, warna rambut saya yang sekarang jauh lebih bagus dan lebih hitam dari yang sebelumnya. Bahkan Tuhan juga memberikan bentuk rambut yang baik untuk saya. Sungguh, Tuhan kita adalah Allah yang ajaib.
Setelah melewati semua ini, saya kemudian menyadari bahwa kemenangan yang dijanjikan Tuhan tidak sama dengan kemenangan yang dimengerti manusia. Ia memberikan kemenangan, ketika saya dapat melewati semua badai kehidupan ini bersama-sama dengan-Nya, yang memberikan kekuatan. Selama menjalani pengobatan ini, Tuhan memberikan hati yang penuh sukacita, sehingga ketika orang lain melihat saya, mereka tidak menyangka bahwa saya menderita kanker. Hati yang gembira adalah obat yang mujarab. Puji Tuhan, selama sakit, saya masih dapat melayani-Nya. Selama Tuhan masih memberikan kesempatan dan waktu kepada kita, maka kita harus dapat menggunakan kesempatan itu dengan baik untuk melayani-Nya. Melalui penyakit ini, saya juga menyadari bahwa ada banyak orang yang mengasihi saya. Bukan hanya suami, anak-anak dan keluarga, tetapi juga keluarga suami, teman-teman kantor, dan juga saudara-saudari seiman, baik di Indonesia maupun di Singapura dan Australia. Mereka semua tidak berhenti mendoakan saya, dan memberikan dukungan serta semangat. Biarlah Tuhan saya yang membalas setiap kebaikan yang mereka berikan kepada saya dan keluarga.
Segala kemuliaan hanya bagi nama Tuhan, dan biarlah kesaksian ini menjadi dorongan dan semangat bagi mereka yang sedang sakit atau yang mencari penghiburan. Amin.