Tuhan Membuka Jalan Bagiku
Takehana Reiji – Tokyo, Jepang
MASA KECILKU
Kedua orang tua saya berasal dari Kurahashi, sebuah pulau kecil di daratan Seto, perairan Laut Hiroshima.
Selama Perang Dunia ke-2, ayah saya ditugaskan ke Singapura, dan kembali ke Jepang dengan beberapa luka. Ibu saya berkata ia mendengar dan menyaksikan sendiri ledakan bom atom di Hiroshima. Paman saya meninggal dunia karena pemboman tersebut. Semua ini terjadi sebelum saya dilahirkan.
Karena hidup di Hiroshima begitu sulit, ayah mengikuti program pengelolaan pertanian, dan kami pun pindah ke Jumonji, sebuah tempat di Kyushu. Di sinilah saya dan saudara laki-laki saya dilahirkan, yaitu pada tahun 1951 dan 1953.
Kehidupan penduduk di sana sangat sederhana, bahkan tanpa fasilitas seperti listrik. Ketika saya berumur 3 tahun, Jumonji menjadi pangkalan latihan tentara Amerika, maka kami pindah kembali ke Hiroshima, tempat saya tumbuh dan menetap hingga tamat Sekolah Menengah Atas. Setelah saya lulus dari Institut di Osaka, saya bekerja selama 5 tahun, dan pada tahun 1980 saya bergabung dengan Tim sukarelawan Jepang.
Selama pelatihan, saya mengikuti aktivitas di salah satu kuil kepercayaan. Namun saya tidak mengerti konsep penyangkalan diri yang diajarkan pada saat itu.
MENGENAL AGAMA-AGAMA LAIN
Dalam suatu penugasan, saya dikirim ke Filipina yang mempunyai sebuah agama yang dominan. Karena ingin tahu, saya beberapa kali mengikuti ibadah namun tidak pernah terpanggil untuk percaya. Saya merasa ajaran yang diajarkan lebih mengikuti tradisi dibandingkan dengan apa yang diajarkan Alkitab. Setelah saya meninggalkan Filipina, saya pergi ke salah satu negara lain di Asia Tenggara. Saya juga mengikuti salah satu agama di negara tersebut namun saya juga tidak merasakan adanya ikatan.
Saya pernah mengirim email hendak membahas Alkitab ke seorang teman yang telah saya kenal lebih dari 20 tahun. Dia berkata,”Tidak perlu berbicara tentang Alkitab. Saya adalah seorang Kristen, dan juga seorang penganut agama lain.” Saya berpendapat sama seperti dia: Saya pikir dunia di hadapan saya adalah segalanya. Namun bersyukur pada Tuhan, Ia memelihara saya untuk dapat melepaskan diri dari ketidakpedulian saya.
Ketika saya tinggal di Taiwan, beberapa kali saya mengunjungi Gereja Yesus Sejati. Saya merasa, gereja ini berbeda dengan gereja-gereja ataupun agama lainnya yang pernah saya kunjungi. Perasaan yang ada sulit dilukiskan dengan kata-kata, bahkan sampai sekarang perasaan itu masih sama.
Saya berkata pada diri saya, “Bila saya ingin masuk ke suatu gereja, maka saya akan masuk ke Gereja Yesus Sejati.” Sulit untuk menerangkannya, tapi ada suatu perasaan dekat dengan Tuhan di gereja ini. Namun, tidak lama kemudian saya kembali ke kehidupan duniawi saya, dan lupa akan kehadiran Tuhan.
Saya punya kebiasaan minum-minum dan seringkali sulit menghentikan kebiasaan itu. Walaupun saya akan menyesalinya besok, namun saya tidak dapat menghentikannya. Rasanya seperti jatuh ke dalam kubangan dan tidak bisa keluar lagi.
Hidup seperti tenggelam dalam lingkaran setan, sampai saya menghadapi bencana di kemudian hari.
TUHAN ADALAH TEMPAT PERLINDUNGANKU
Pada hari yang sama saat perusahaan saya bangkrut, putra saya mengalami kecelakaan. Segalanya terjadi begitu mendadak sehingga saya menjadi takut. Saya tidak tahu harus bagaimana. Saat itulah saya bertekad untuk kembali ke Gereja Yesus Sejati.
Sejujurnya saat itu saya tidak mempunyai pilihan lain selain pergi ke gereja. Saya mulai mendekatkan diri kepada Tuhan. Saya sungguh-sungguh merasakan bahwa Tuhan adalah tempat perlindungan kita. Ketika saya di Taiwan, saya merasakan kasih dan kehangatan Tuhan melalui rangkulan kasih saudara-saudari seiman. Air mata kerap membasahi wajah saya setiap kali saya menyanyikan lagu pujian atau saat berdoa kepada Tuhan. Saya tidak tahu seseorang dapat mengeluarkan begitu banyak air mata. Sepertinya air mata ini mencuci semua kekejian saya di masa lalu sehingga saya dapat merasakan kedamaian yang dalam di hati saya.
Karena saya tidak memiliki uang untuk memberikan anak-anak saya buku pelajaran, seragam sekolah, atau kebutuhan hidup lainnya, maka kami tinggal dengan adik ipar saya. Meskipun keadaannya demikian, hati saya damai karena saya hidup dengan bersandar pada Firman Tuhan (Mat. 6:25). Beberapa orang memiliki segalanya di dunia ini, seperti status dan kekayaan, tapi ingin mengakhiri hidupnya sendiri karena mereka tidak memiliki harapan ataupun kekuatan untuk terus hidup. Bagi mereka, segala sesuatunya adalah sia-sia, karena mereka tidak mengenal Firman-Nya.
Seperti Raja Salomo berkata di kitab Pengkhotbah, dunia adala kesia-siaan tanpa pengenalan akan Firman Allah. Yang patut disyukuri adalah bahwa Firman-Nya adalah roti hidup bagi kita. Berjalan dengan-Nya, kita tidak pernah perlu mengetahui bagaimana rasanya tidak dapat menjalani hidup. Saya bersyukur kepada Tuhan dengan segenap hati untuk segala anugrah-Nya.
MENGALAMI DIA
Mungkin sulit sekali untuk seseorang yang tidak beragama dapat mengerti bahwa iman dikuatkan oleh penderitaan hidup. Namun saya sungguh percaya adanya dunia rohani karena pengalaman saya dengan Roh Kudus.
Saya ingat pertama kali saya datang ke Gereja Yesus Sejati, saya berpikir cara mereka berdoa sungguh lucu dan aneh. Karena saat itu saya belum menerima Roh Kudus, saya berdoa dengan bahasa akal, “Halleluya, puji Tuhan.”
Suatu kali ketika saya sedang tidur, saya bermimpi melihat suatu cahaya yang sangat terang muncul dan mengelilingi seluruh tubuh saya. Saya merasa seperti melayang di udara, dan penuh sukacita dalam hati. Tidak ada kata-kata yang dapat melukiskan perasaan saat itu.
Setelah saya menerima Roh Kudus, saya menyadari bahwa saya tidak lagi sama dengan diri saya yang dulu, dan saya mengambil keputusan untuk dibaptis di gereja di Osaka. Saya ingin darah Tuhan membasuh dosa saya dan saya dapat meninggalkan diri saya yang lama dan lahir baru secepatnya.
Dalam penerbangan ke Osaka, saya mendapati diri saya menatap keluar jendela ke arah laut di mana saya akan dibaptis. Saya sangat mengerti, di bawah matahari tidak ada tempat di mana saya dapat bersandar selain pada Yesus sendiri.
PERLINDUNGAN TUHAN
Pada awalnya ketika saya dan keluarga pindah dari Taiwan ke Okinawa, saya tidak mempunyai pekerjaan. Tapi bersyukur pada Tuhan, kemudian saya mendapatkan pekerjaan. Saya sepenuhnya mempercayakan hidup saya pada Tuhan dan menaikkan ucapan syukur bersama keluarga setiap hari.
Di Okinawa, saya bertemu seorang jemaat gereja yang baru datang dari China untuk belajar di sekolah bahasa Jepang. Kami mengadakan kebaktian Sabat bersama dan saling membantu satu sama lain.
Segalanya adalah perencanaan Tuhan yang cermat, karena Dia telah menyiapkan jalan bagi kita (Mzm. 139:3). Pada suatu masa ketika anak-anak kami masih kecil, kami tidak mampu memberi makan mereka, namun sungguh ajaib, Allah mengatur orang lain untuk menolong kami.
Waktu-Nya sungguh tepat. Selain Tuhan, siapa yang dapat membantu kami seperti itu? Pada waktu lain, ketika saya sedang dalam perjalanan ke tempat kerja, saya mengendarai motor dan sampai pada suatu tikungan yang tajam. Penglihatan sangat buruk karena saat itu hujan deras, dan saya saat menundukkan kepala untuk menghindari hujan, sebuah mobil tiba-tiba muncul.
Saya tidak cukup cepat bereaksi dan kami bertabrakan langsung. Saya merasa sungguh tak berdaya dan berteriak, “Halleluya!” Saya mendapati diri saya terbaring di tengah jalan dengan motor saya terlempar di tepi jalan. Mengherankan, saya luput dari kecelakaan itu tanpa cedera yang berarti.
Pengemudi mobil juga sangat terkejut dan bertanya, “Apakah kamu baik-baik saja?”, kemudian dia pun pergi. Walaupun sayalah yang melanggar garis pembatas jalan dan menabrak mobilnya, dia tidak pernah mempermasalahkannya ataupun meminta ganti rugi atas kerusakan kendaraannya.
Ketika saya memeriksa diri saya lebih teliti, ternyata kaos kaki saya sobek dan ada beberapa goresan ringan. Bahkan sampai hari ini, saya masih sungguh bersyukur kepada Tuhan. Memang perlindungan Tuhan jauh di luar pengertian manusia.
PIMPINAN-NYA
Saya mempunyai satu pengalaman lain yang mengherankan ketika Tuhan memimpin seorang pemuda dari Tiongkok kepada saya. Saya bertemu dengannya pada hari minggu di sebuah kantor pos. Dia ingin membeli kartu telepon, tapi di kantor pos tersebut tidak menjual kartu telepon itu. Dia berbicara kepada saya dalam bahasa Inggris dan saya menjawabnya dengan bahasa mandarin.
Saya melihat dia membawa Alkitab dan saya merasa dia akan mau ikut bersama dengan kami percaya dalam Tuhan. Segera saja saya mengajaknya ke Ghokusen-do, tempat istri saya bekerja. Sulit dipercaya waktu itu saya sungguh berani. Saya tidak begitu ingat apa yang hendak saya lakukan waktu itu, namun saya hanya memikirkan satu hal: “Saya harus membawanya menemui istri saya!”
Istri saya dengan tangan terbuka memperkenalkan kebenaran Firman Tuhan kepada pemuda ini. Dalam waktu kemudian dia dibaptis dan menjadi saudara seiman dalam Tuhan.
Karena hanya ada sedikit jemaat di Okinawa, kunjungan saudara-saudari seiman dari gereja lain sungguh menguatkan kami. Juga, kunjungan penginjilan mengingatkan kami untuk berinisiatif dalam mengejar kebenaran dalam Alkitab.
Bagi saya, kunjungan-kunjungan ini seperti mengisi kembali baterai iman. Saya sungguh bersyukur kepada Tuhan atas pimpinan-Nya dan mengizinkan saya mengalami penyertaan dan perlindunganNya. Amin.