Namaku Jeanny Wongsowidjojo, jemaat Gereja Yesus Sejati Samanhudi, Jakarta.
Terpisah Papa sibuk terus, ia bekerja sampai lupa waktu. Ia lupa batas waktu mendaftarkan aku masuk sekolah TK. Akhirnya tidak sesuai rencana awal. Kakak dan sepupu bisa bersekolah bersama di sekolah itu. Sedangkan aku terpisah, masuk sekolah lain yang namanya Sekolah Kristen Kanaan.
Memang sih, sekolah kami tidak berjauhan. Tapi kan aneh kalau aku jadi satu-satunya anak, dari semua saudara, yang harus masuk sekolah lain.
Dua Pilihan Tapi kemudian, aku mulai banyak teman di Kanaan. Dari hari ke hari, aku semakin akrab dengan mereka. Aku mulai ikut Sekolah Minggu terkadang di gereja yang ada di sekolahku, yang namanya Gereja Yesus Sejati. Terkadang aku diajak sepupu ke Sekolah Minggu yang dia ikuti.
Lebih Percaya Suatu kali saat kelas 5 SD, seorang teman mengatakan, beberapa minggu lagi akan ada baptisan. Entah mengapa, aku jadi merasa ingin ikut. Aku ingin terima baptisan. Rasanya itu cara supaya lebih percaya kepada Yesus. Saat aku minta izin, Papa mengatakan, “Kalau kamu percaya, dan mau dibaptis, boleh saja.” Akhirnya aku menerima baptisan di Gereja Yesus Sejati.
Roh Kudus Sejak dibaptis, aku semakin giat mengikuti kebaktian Hari Sabat (Sabtu) dan Sekolah Minggu. Suatu kali saat berdoa, aku merasakan suatu aliran hangat, lalu lidahku mulai bergetar, mengucapkan kata-kata yang tidak aku pahami. Tapi hatiku merasakan suatu sukacita yang besar. Aku menerima Roh Kudus.
Sungguh, aku merasa sangat bersyukur, karena banyak jemaat yang bersaksi bahwa Roh Kudus sangat menolong dalam kesesakan.
Beban Hati Namun ada yang mengganjal di hatiku. Setiap kali mengingat orang tuaku yang belum percaya Yesus, aku selalu merasa sedih dan ingin menangis. Aku terus memohon agar mereka diberi kesempatan untuk mengenal Yesus sebagai Juruselamat.
Mimpi Suatu hari aku bermimpi. Terlihat Papa sedang sekarat, hendak menarik napas yang terakhir kalinya. Aku bertanya: “Apa Papa percaya Tuhan Yesus?” Tapi sebelum Papa menjawab, aku terbangun! Mimpi itu terus membayangiku. Setiap kali memikirkannya, hatiku menjadi tidak tenang. Setiap ada kesempatan seperti acara KKR, aku selalu berusaha mengajak Papa. Tapi Papa selalu menolak dengan berbagai alasan.
Protes Waktu terus berlalu. Akhirnya aku menikah dengan seorang pemuda yang baik di gereja. Tuhan pun mengaruniakan seorang anak kepada kami. Suatu malam, setelah menidurkan bayiku yang baru berusia satu bulan, aku berdoa.
Kembali aku memohon, tetapi kali ini dengan protes: “Tuhan, sudah berapa banyak air mata yang kutumpahkan, tapi sampai sekarang Engkau belum mengabulkan. Aku cuma ingin Papa mengenal-Mu. Mengapa Engkau tidak mau mengabulkan? Sekarang Papa malah semakin sering ke tempat ibadah agama lain.”
Rumah Cipanas Orang tuaku menyewa sebuah rumah di daerah Cipanas, Puncak. Mereka nyaman dengan suasana yang tenang dan udara yang sejuk. Rumah itu dekat dengan tempat ibadah agama lain. Setiap malam tertentu Papa pergi sembahyang ke sana.
Suatu kali ada seseorang yang tinggal di wilayah itu berkenalan dengan Papa, lalu mengajaknya ke sebuah gereja. Papa lalu mulai kebaktian di sana. Kemudian Papa dikenalkan dengan seorang pendeta dari denominasi lain yang berjanji akan memberi bimbingan, supaya Papa semakin memahami Alkitab.
Hujan = Halangan? Hari itu hujan deras sekali. Tetapi pendeta tetap datang ke rumah Papa, ingin memberi bimbingan. Papa bertanya, “Pendeta, mengapa hujan deras begini tetap datang?”
Pendeta menjawab, “Demi satu jiwa, meskipun hujan deras, saya harus menepati janji, agar tidak hilang kesempatan.” Papa merasa sangat terharu. Jawaban itu begitu mengena di hatinya.
Rindu Yohanes adalah nama yang kuberikan untuk anakku. Memang dia masih bayi, baru berusia dua bulan, repot kalau dibawa keluar rumah. Tetapi karena rindu orangtua, kami tetap pergi ke Cipanas, ingin melihat keadaan mereka.
Senang sekali, karena sudah lama tidak bertemu. Sore itu ketika sedang berkumpul, Papa bertanya, “Kapan Yohanes akan dibaptis?” Aku menjawab, “Dia masih bayi, Pa. Belum tahu kapan ada baptisan lagi.” Lalu Papa mengatakan, “Papa mau dibaptis, bareng dengan Yohanes.” Aku kaget sekali mendengarnya! Ini di luar dugaan!
Rahasia Kakek Kemudian Papa baru menjelaskan sebabnya, bagaimana dia mengenal seorang kenalan, lalu diajak ibadah ke gereja setempat, dan diberi bimbingan oleh seorang pendeta. Semua proses ini di luar sepengetahuan kami.
Lalu Papa juga menceritakan satu hal lain. Katanya, sebelum Kakek meninggal, kakekku mendapat suatu penglihatan, lalu Kakek menyatakan keinginannya untuk percaya Yesus. Lalu Papa seakan bertanya pada dirinya sendiri, “Mengapa Kakek mau percaya Yesus, sedangkan Papa tidak?”
Penantian 17 Tahun Papa lalu menyatakan mau ikut katekitasi di Gereja Yesus Sejati. Bulan Oktober 1995, akhirnya Papa dan anakku dibaptis bersama. Beberapa waktu kemudian, Papa juga menerima Roh Kudus. Sungguh, ini kebahagiaan yang luar biasa. Sesuatu yang sudah kutunggu selama 17 tahun.
Memang tidak setiap hari aku doakan, tapi sungguh ini topik yang sangat sering kumohon dengan sepenuh hati, hampir selalu dengan berlinangan air mata. Jadi saat ini terwujud, sungguh besar rasa syukurku kepada Sang Pemilik Surga.
Musibah Beberapa waktu kemudian, Papa pindah untuk menetap di kota Bogor. Suatu hari, kami mendapat kabar kalau Papa jatuh. Kepalanya bocor. Tulang belakang bagian tengah menghantam dipan. Papa tidak berdaya, tergeletak di rumah sakit. Jangankan bangun, membalik badan saja sudah kesakitan. Katanya dokter, papa harus menjalani operasi.
Dilema Sesudah melihat tingkat kesulitan dan beberapa faktor lain, dokter menyatakan tidak berani menjamin hasil operasi. Apalagi mengingat faktor usia papa yang sudah 78 tahun.
Kata dokter, kemungkinan Papa dapat kembali normal sangat kecil. Papa juga mendengar penjelasan dokter. Ini sungguh dilematis. Jika tidak menjalani operasi, Papa tidak berdaya di atas ranjang. Tapi jika operasi, ada risiko lumpuh. Aku bingung sekali. Aku harus bagaimana?
Doa Hari itu aku pulang dari rumah sakit dengan perasaan kacau. Dalam kesedihan, aku curahkan semua beban dalam doa: “Tuhan, Papa baru dua tahun dibaptis, mengapa ini terjadi?”
Kuasa Sebuah Nama Besoknya, aku mendapat telpon. Katanya, Papa ingin pulang. Aku segera ke rumah sakit dengan perasaan bingung. Sampai di sana, terlihat Papa sedang duduk di atas ranjang. Tentu aku terkejut sekali!
Lalu Papa menjelaskan, katanya, malam itu setelah aku pulang ke Jakarta, sekitar jam 12 malam Papa berdoa dalam Roh Kudus. Papa memohon, dalam nama Yesus untuk disembuhkan dan mengimani Yesus sebagai Yang Maha Kuasa.
Mujizat Selesai doa, papa mendengar satu suara yang berkata, “Bangkitlah dan berjalanlah!” Lalu dengan iman, Papa percaya begitu saja. Papa lalu bangkit, berdiri, dan berjalan menuju kamar mandi.
Suster yang tugas jaga malam itu segera berteriak, “Bapak tidak boleh berjalan!” Papa hanya menjawab: “Saya sudah disembuhkan oleh Tuhan Yesus, Suster jangan kuatir.”
Bersaksi Papa sungguh sembuh, terjadi dengan sangat ajaib. Sejak saat itu, tiap kali bertemu dengan siapa pun, Papa akan berkata “Percayalah kepada Tuhan Yesus,” lalu mulai menceritakan mujizat yang dialaminya.
Papa tetap menjadi seorang ayah yang penyayang. Papa tetap sering tersenyum. Tetap tidak pernah mau terlambat pergi ke gereja. Akhirnya delapan tahun sesudah mujizat itu, Papa pulang kepada Sang Pencipta, dalam usia 86 tahun. Sungguh, Tuhan Yesus baik, amat baik!
Semua kemuliaan dan puji syukur hanya untuk Tuhan Yesus. Haleluya, Amin.