Dalam nama Tuhan Yesus bersaksi,
Namaku Lina, jemaat Gereja Yesus Sejati cabang Samanhudi, Jakarta Pusat.
Keluarga
Aku lahir di keluarga Kristen. Kedua orangtuaku jemaat Gereja Yesus Sejati sehingga sejak kecil aku sudah dibawa ke gereja ini. Saat masih sekolah di Jakarta, kehidupan imanku terasa biasa saja. Namun ketika keluar dari bayang-bayang iman orangtuaku, aku merasakan sebuah tantangan yang besar.
Sekolah ke Luar Negeri
Saat aku akan disekolahkan ke luar negeri, dalam diriku ada rasa galau, antara pergi atau tidak pergi. Bagaimana tidak bimbang? Bahasa inggris aku tidak lancar. Belum lagi aku merasa tidak nyaman dengan lingkungan baru. Semuanya adalah orang asing bagiku. Aku benar-benar galau. Tapi karena keluarga berkata “harus” pergi, aku terpaksa pergi. Rasanya seperti orang yang tidak bisa renang, dicebur paksa ke kolam renang.
Ikut kakak
Aku akhirnya berangkat, tinggal dengan kakakku yang sudah lebih dahulu berada di Amerika Serikat. Setiap hari minggu, keluarga kakakku beribadah di gereja lain, yang mayoritas jemaatnya imigran dari Indonesia. Aku pun ikut mereka ke gereja tersebut selama lebih dari 1 tahun.
Konflik batin
Setiap kali ikut beribadah di gereja tersebut, aku merasa “asing” meskipun semua jemaatnya dari indonesia, yang seharusnya bisa membuatku merasa berada di lingkungan sendiri. Aku berusaha bertahan dan mengikuti setiap ibadah. Suatu hari, pendeta gereja itu memintaku untuk dibaptis, menjadi anggota gereja mereka. Padahal sebelumnya sudah kukatakan kalau aku sudah dibaptis di Gereja Yesus Sejati (GYS). Hatiku merasa tidak nyaman. Lalu aku bertekad mencari tahu bagaimana caranya pergi ke GYS di negara ini. Lokasi terdekat yang kami tahu ada di kota San Fransisco (SF).
Transportasi
Setelah mencari informasi, akhirnya aku mengetahui transportasi yang harus kutempuh. Naik bis dari rumah ke stasiun MRT kira-kira 30 menit. Naik MRT ke stasiun SF kira-kira 1 jam. Naik bis lagi untuk bisa sampai di gereja. Karena takut nyasar, di kali pertama aku mengajak kakak mengantarku dengan mobil ke GYS di kota SF. Sesudah itu tidak pernah lagi memintanya karena memang jaraknya cukup jauh dari rumah kakak.
Pulang ke Rumah
Waktu pertama kali tiba di GYS di kota San Fransisco dan bisa mengikuti kebaktian Sabat, aku benar-benar merasa seperti pulang ke rumah. Padahal jemaatnya tidak ada yang aku kenal. Mayoritas jemaatnya adalah imigran dari negara lain. Tapi sungguh aku merasa, inilah rumahku. Selanjutnya, walau jauh dan memakan waktu yang lama, karena sudah tekad aku pergi sendiri ke GYS kota San Fransico. Tuhan juga membantu membuka jalan. Ada jemaat gereja yang berbaik hati sehingga saat sudah tiba di stasiun San Fransisco, aku tinggal telepon ke gereja dan ada yang menjemputku. Sungguh, ini rumahku.
Tanpa Jembatan
Menjalani hal ini, sampailah aku ke satu titik balik, di mana iman orangtua akhirnya bisa berkembang menjadi iman pribadiku. Di saat ini terjadi, hatiku menerima Yesus bukan lagi sebagai sesuatu yang diwariskan oleh orangtua, tapi benar-benar sebagai Juruselamat pribadi.
Segala puji syukur dan kemuliaan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus.
Haleluya. Amin.