TEROMBANG-AMBING DI TENGAH LAUT
Jeganathan – Kampong Koh, Sitiawan, Perak, Malaysia
Saya adalah seorang perwira angkatan laut yang bertugas di Angkatan Laut Malaysia. Saya ingin menyampaikan kesaksian tentang kasih karunia Tuhan Yesus, yang telah menyelamatkan saya dari maut di samudera, jauh di barat laut pantai Sabah, Malaysia.
Pada tanggal 3 November 1999, saya sedang bertugas di kapal angkatan laut KD Lembing, yang berlayar dari Kota Kinabalu – Sabah, ke Sandakan. Kira-kira 5 mil dari pantai, entah apa penyebabnya, tiba-tiba saya mendapati diri saya telah terlempar dari kapal ke tengah laut yang bergelora. Saat itu sekitar jam 11 malam, dan yang lebih buruk lagi, saya tidak memakai pelampung!
Air laut begitu dingin dan hujan turun-berhenti silih berganti. Angin bertiup amat kencang dan ombaknya setinggi tiga-empat meter. Saya dapat melihat cahaya lampu buritan kapal saya di kejauhan, dan saya tahu bahwa para awak di kapal tidak akan dapat mendengar bila saya berteriak minta tolong. Memandang berkeliling, saya bisa melihat seberkas cahaya dari mercu suar yang berdiri bermil-mil jauhnya di daratan Sabah.
Selama kira-kira dua jam berikutnya, saya berusaha untuk berenang ke arah mercusuar, tapi kemajuan saya amatlah sedikit karena cuaca buruk dan arus balik yang kuat. Saya tidak dapat berenang dengan cepat karena kram di kedua tungkai kaki saya. Juga, saya dapat merasakan sengatan ubur-ubur yang sangat menyakitkan. Malahan, segala jenis ikan menghamtam tubuh saya. Rasanya luar biasa menakutkan, tetapi saya berusaha sekuat tenaga untuk mengusir mereka dan terus berenang. Wilayah tempat saya jatuh terkenal banyak ikan hiunya, dan ini tentu saja membuat saya semakin kuatir.
Setelah kira-kira dua jam, saya menyadari bahwa saya tidak akan pernah bisa mencapai daratan. Ombak sudah jauh lebih besar sekarang, dan karena sudah amat lelah, saya merasa seperti akan tenggelam ke dalam lautan. Saya mulai berdoa, berseru kepada Tuhan meminta pertolongan. Setiap kali melipat tangan untuk berdoa, saya pasti tenggelam ke dalam air. Waktu itu saya merasa amat mengantuk dan tidak menyadari apa yang saya perbuat. Saya terlalu letih untuk berpikir tentang apa pun juga. Perasaan itu bertambah buruk ketika suhu air mulai menurun.
Pada satu saat, saya ingin menyerah saja. Saya memasukkan kepala ke dalam air, berharap agar pingsan dan tenggelam. Tapi saya tahu bahwa dengan berbuat demikian, berarti saya melakukan bunuh diri, suatu dosa yang mendatangkan maut. Saya juga memikirkan ayah saya dan beberapa jemaat gereja di Kampung Koh, dan betapa akan sedihnya mereka jika saya meninggal. Saya sungguh tidak dapat menerima kenyataan bahwa mereka akan menangis karena saya. Jadi saya terus berteriak “Haleluya!” dan terus berenang. Saya juga teringat Tuhan Yesus pernah berkata kepada murid-murid-Nya, “Mengapa kamu takut akan badai dan laut, kamu yang kurang percaya?”
Kemudian, saya tidak tahu apa yang terjadi, tapi sepertinya saya terjatuh dalam tidur yang lelap atau semacam itulah.
HARI BERIKUTNYA
Hal berikutnya yang saya ketahui, dini hari telah tiba dan sinar matahari menyakiti mata saya. Mulanya saya bahkan tidak bisa membuka mata, dan air asin membuat mata saya makin sakit. Pada akhirnya, ketika sudah dapat membuka mata, saya menyadari bahwa saya berada di lautan terbuka. Tidak ada daratan dalam jarak pandang saya. Di tengah keadaan ini, saya merasa amat bersyukur kepada Tuhan yang telah melepaskan saya dari bahaya dan menjaga saya sepanjang malam sehingga tidak tenggelam. Sungguh perlindungan Tuhan begitu besar.
Saya mengumpulkan kekuatan dan terus berenang. Ikan-ikan berloncatan di depan mata saya. Itu adalah ikan tenggiri bergigi tajam, dan saya sungguh merasa ngeri! Saya berusaha menghindari mereka dan terus berenang. Tiba-tiba, saya melihat sebuah perahu nelayan lewat di depan saya. Saya berusaha sekuat tenaga untuk berenang mendekatinya, tetapi tak ada satu pun awaknya yang dapat melihat saya atau mendengar teriakan minta tolong saya. Setelah mengejar perahu tersebut, saya amat sangat letih. Saya kehabisan nafas dan sangat kecewa karena segala usaha saya sia-sia.
Dua atau tiga jam kemudian saya melihat sebuah pulau nun jauh di sana, tetapi saya tidak yakin bahwa saya dapat mencapainya karena jaraknya terlalu jauh, kira-kira 15 mil (25 km). Apalagi hujan sedang turun dan suhu di pagi hari amatlah dingin. Tetap saja, saya tidak punya pilihan selain terus berenang agar badan saya tetap hangat. Saya menyadari bahwa seluruh wajah dan tubuh saya melepuh. Sakitnya luar biasa. Karena terlalu banyak menelan dan terpapar air laut, tenggorokan dan hidung saya bengkak dan terluka parah. Lidah saya juga terasa sangat kasar, dan saya tidak dapat merasakan apa pun.
Akhirnya, saya menetapkan hati bahwa kalau ingin selamat saya harus berenang ke arah pulau. Perjalanannya memakan waktu dari pagi sampai sore. Saya berenang melawan ombak, masuk ke dalam ombak, dan di atas ombak, berusaha untuk tetap hidup.
Haleluya, segala puji syukur bagi Tuhan dan Juruselamat kita yang Mahatinggi! Saya mencapai pulau itu sekitar pukul 6 sore. Saya merasa amat gembira dan bersyukur.
Saat berjalan di pantai, saya terjatuh dan melangkah terseok-seok sepanjang jalan karena sangat lapar dan haus, juga letih dan menggigil kedinginan. Saya melihat sebuah rumah kayu dengan tiga orang laki-laki berada di luarnya. Mereka menatap saya, terlalu kaget untuk berkata-kata. Saya membuka mulut untuk minta makanan dan tempat untuk tidur, tetapi tidak ada suara yang keluar. Baru pada saat itulah saya menyadari bahwa saya tidak dapat berbicara, jadi saya menggunakan bahasa isyarat supaya dapat dimengerti.
Mereka membawa saya ke bagian lain pulau tersebut dengan perahu motor, yaitu ke rumah Kepala Kampung, yang menyediakan makanan dan tempat untuk tidur bagi saya. Bersyukur kepada Tuhan, saya berada di tangan orang yang murah hati.
MENGUCAP SYUKUR
Setelah tidur sepanjang malam seperti sebatang kayu, pagi-pagi sekali saya dibawa ke sebuah klinik kecil di pulau itu. Di sana saya menemukan bahwa saya berada di Pulau Banggi, dekat perbatasan Filipina.
Kemudian saya pergi ke kantor polisi. Setelah membuat laporan, saya menelepon ke angkatan laut, dan kira-kira tiga puluh menit kemudian sebuah helikopter Nuri tiba untuk membawa saya ke daratan Sabah, ke sebuah kota bernama Kudat. Saya langsung dimasukkan ke Rumah Sakit Kudat.
Setelah kira-kira tiga jam di rumah sakit, saya menyelinap keluar dan pergi ke gereja Kudat untuk mengucap syukur kepada Tuhan. Kebetulan gereja Kudat sedang mengadakan pertemuan rohani, dan saya menggunakan kesempatan itu untuk bersaksi kepada jemaat di sana tentang bagaimana Tuhan telah menyelamatkan saya.
Mengenang kembali peristiwa ini, saya tahu bahwa tidak ada orang yang dapat menahan seluruh siksaan di lautan ini tanpa pertolongan ilahi. Secara keseluruhan, saya berada di lautan yang bergelora selama sekitar 20 jam! Mustahil saya dapat mengarungi jarak 30 mil (50 km) menuju Pulau Banggi tanpa pertolongan Tuhan. Meskipun Angkatan Laut Malaysia telah mengirimkan 5 kapal perang, 4 helikopter Nuri, 1 pesawat amphibi, dan 2 kapal Polisi Pantai, mereka tidak dapat menemukan saya.
Tak dapat dipungkiri bahwa tangan kemurahan dan kasih Tuhanlah yang melepaskan saya dari lautan yang bergelora dan membimbing saya menuju Pulau Banggi, sama seperti Dia telah mengirimkan seekor ikan untuk menelan Yunus dan memuntahkannya di Pantai Niniwe. Haleluya! Segala pujian dan kemuliaan hanya bagi Tuhan. Amin.