Berikut adalah kumpulan kesaksian para remaja di kelas Sabat D jenjang SMP dan SMA, Gereja Yesus Sejati Samanhudi, Jakarta
Dalam nama Tuhan Yesus bersaksi,
Namaku Aurora Di rumah, Papa dan Mama sering sekali bertengkar. Hampir setiap hari aku menangis karena hal itu. Terkadang aku menangis karena aku merasa pusing mendengarkan pertengkaran mereka berdua. Terkadang aku menangis karena aku bingung bagaimana caranya membantu mereka—aku masih memiliki adik di bangku SD dan adik yang masih bayi.
Pernah suatu kali aku menceritakan keluh kesahku pada tante. Namun, dia hanya berkata, “Kamu tidak dapat membantu apa-apa. Pertengkaran Papa dan Mama adalah urusan orang dewasa.” Aku menjadi semakin sedih mendengar jawaban tersebut.
Namun, ada satu hal yang kuingat, yaitu: DOA. Setiap hari, aku hanya dapat pasrah berdoa pada Tuhan Yesus sambil menangis, menangisi Papa dan Mama dan menangisi hidupku. Tetapi suatu kali dalam doa, sangat terasa jawaban Tuhan—Tuhan sudah memberiku begitu banyak berkat, baik makanan maupun kesehatan. Meskipun Papa tidak ada di rumah, Mama pun juga tidak begitu mengurusi kami dan hanya memberi kami makan; aku masih dapat membantu mereka, yaitu membantu menjaga adik-adikku yang masih kecil. Aku juga berdoa dan berharap suatu saat Tuhan sendirilah yang menjamah hati Papa dan Mama.
Namaku Juan Sejak pandemi, ekonomi keluargaku begitu terpengaruh. Bahkan gaji Mama dipotong oleh kebijakan di tempatnya bekerja. Kami pun terpaksa harus mengatur ulang pengeluaran dan berhemat sebisa mungkin.
Tetapi puji syukur pada Tuhan; di dalam kekurangan kami, kebutuhan demi kebutuhan dasar dapat terpenuhi melalui hal-hal yang kadangkala tidak terduga.
Bahkan Mama pun hampir-hampir tidak percaya dan berkata, “Koq bisa yah, berkat Tuhan ada saja…” Sebab Mama tahu bahwa kalau dihitung-hitung secara keuangan, kami tidak mampu dan kebutuhan tersebut seharusnya tidak dapat terpenuhi. Tetapi kenyataannya, melalui pengaturan kuasa Tuhan, kebutuhan tersebut dapat dipenuhi. Puji syukur pada Tuhan.
Namaku Jesslyn Suatu kali aku pergi ke suatu tempat dengan menggunakan jasa antar jemput melalui aplikasi. Dalam perjalanan kami menggunakan kendaraan bermotor, tiba-tiba ban motor yang aku tumpangi pecah! Motor pun kehilangan keseimbangan dan aku terpental dari motor.
Jalan yang kami lalui sebenarnya adalah jalan raya yang cukup ramai. Aku sering melewati jalan itu dan aku pun tahu persis kondisi jalan—cukup ramai oleh kendaraan yang lalu lalang, terutama truk-truk yang membawa kontainer.
Namun, anehnya, pada saat aku terpental—aku merasa bahwa kondisi jalan terasa sepi. Truk-truk kontainer pun tidak kelihatan. Akhirnya, aku hanya terjatuh di jalanan. Ketika aku beranjak bangun, aku baru sadar: Jika saja tadi ada truk kontainer lewat disebelah kami, tentulah aku sudah habis tertabrak! Sungguh, puji Tuhan! Aku tidak sanggup membayangkan jika kondisi lalu lintas pada detik kecelakaan itu ramai seperti biasanya. Benar-benar suatu peristiwa yang sangat aneh dan seharusnya ini adalah suatu hal yang tidak lazim terjadi di jalan itu.
Namaku Nico Sejak kecil, sampai dengan SMP dan SMA, orang-orang yang mengetahuiku pasti mengenalku sebagai seorang anak yang sangat nakal. Aku pun mengakui kenakalanku. Di masa-masa sekolah, aku sering bolos. Aku pun belajar secara asal-asalan, yang penting naik kelas.
Sering pada jam pelajaran, aku beralasan untuk izin latihan lomba pada salah satu bidang ekstra kurikuler yang kuikuti. Kenyataannya, aku pergi ke kantin untuk makan, atau pergi ke ruangan ekstra kurikuler hanya untuk bermain-main. Setelah lulus SMA, tibalah waktunya untuk kuliah dan memilih jurusan yang lebih spesifik. Namun, aku malah bingung, tidak tahu harus kuliah apa. Selain itu, uang masuk kuliah pun begitu mahal dan keluargaku bukanlah keluarga yang berada.
Jika aku tetap ingin kuliah, maka jalan satu-satunya bagi keluargaku adalah dengan mendaftarkanku pada program beasiswa di salah satu universitas. Disinilah aku mulai sadar, “Aku harus bagaimana? Mustahil sekali untuk ikut beasiswa! Untuk lulus SMA saja bagiku itu suatu keberuntungan!” Tetapi melalui pergumulan inilah Tuhan membimbingku.
Aku bertekad untuk mengikuti ujian beasiswa. Oleh karena itu, aku mengulang kembali untuk mempelajari seluruh materi kelas 10 sampai dengan kelas 12. Disinilah rasa penyesalanku muncul kembali. Andai kata dulu aku sungguhsungguh belajar pada saat aku kelas 10, 11 dan 12; tentunya aku sekarang hanya tinggal mengulang materi yang cukup banyak itu, dibandingkan sekarang—aku harus belajar dari awal lagi!
Sambil belajar, aku sambil berdoa; memohon kiranya Tuhan memberikan kemurahannya bagiku dan bagi keluargaku. Waktunya tiba, aku pun mengikuti ujian beasiswa. Puji Tuhan! Hasil ujian menyatakan bahwa aku lulus. Dengan demikian, aku diperbolehkan mengikuti program beasiswa dengan sistem kuliah online—dikarenakan biayanya jauh lebih murah dibandingkan kuliah tatap muka. Sungguh belas kasihan kemurahan Tuhan begitu terasa. Meskipun aku memiliki masa lalu yang dipenuhi dengan banyak kekurangan, Tuhan masih memberikanku kesempatan untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang kuliah.
Namaku Hezlyn Selama dua tahun ini, kami para siswa-siswi belajar secara online. Namun, pada saat ujian akhir, tiba-tiba sekolah mengumumkan bahwa ujian harus dilakukan secara tatap muka. Bagi yang tidak setuju, diharuskan untuk membuat surat pernyataan bermeterai dan kemudian mengikuti ujian susulan. Sebetulnya bisa saja aku mengikuti ujian susulan, tetapi aku tidak mau karena harus menunggu lagi.
Namun, sejujurnya aku sendiri juga belum terlalu siap mengikuti ujian akhir ini. Hari pertama ujian, sudah kulalui. Hari kedua ujian, saat jam istirahat pertama, tiba-tiba aku dipanggil ke ruang guru. Aku diberitahu bahwa ternyata Papaku terkena Covid! Seketika itu juga, selesai jam istirahat, aku harus mengikuti ujian di ruangan terpisah dan sendirian. Saat pulang sekolah, aku pun harus menunggu teman-teman yang lain pulang dahulu agar mereka tidak berinteraksi denganku.
Kemudian, pihak sekolah pun menjadwalkanku untuk mengikuti tes PCR. Namun, Mama sudah mendaftarkanku untuk mengikuti tes PCR di puskesmas dekat rumah. Aku merasa yakin bahwa hasil tesnya pasti negatif, sebab pasti akan sangat merepotkan jika aku terkena Covid di masa-masa ujian seperti ini.
Namun, kenyataan berkata lain. Hasil tes PCR-ku positif. Aku begitu kesal, mengapa aku terkena Covid di masa ujian? Namun, setelah melewati semua itu, ketika aku renungkan kembali, pimpinan dan penyertaan Tuhan begitu terasa di masa tersebut. Oleh karena aku tertular Covid, maka aku memiliki waktu lebih banyak untuk belajar dan mempersiapkan diri mengikuti ujian susulan. Puji syukur pada Tuhan!