MENGENAL YESUS ADALAH
BERKAT TERBESAR DALAM HIDUP SAYA
Sdr. Bucksen Chen – Gereja Christchurch, Selandia Baru
Haleluya! Di dalam nama Tuhan Yesus saya bersaksi.
Puji Tuhan saya telah dibaptis ke dalam gereja sejati tanggal 3 September 1995. Waktu berlalu begitu cepat; dalam sekejap mata saja, saya telah percaya kepada Tuhan selama lebih dari dua puluh tahun. Mengenang tahun-tahun hidup saya, saya merasa bersyukur karena masa hidup saya penuh dengan berkat Tuhan Yesus. Saya ingin membagikan kesaksian tentang bagaimana saya mengenal Tuhan, percaya kepada-Nya, dan akhirnya bagaimana saya memelihara iman.
“Langkah orang ditentukan oleh TUHAN, tetapi bagaimanakah manusia dapat mengerti jalan hidupnya?” (Ams. 20:24)
Pada pertengahan bulan Juli 1991, saya membawa istri dan tiga anak beserta dengan enam kardus berisi barang-barang kami ke Christchurch, Selandia Baru – tanah asing nan jauh. Imigrasi yang kami lakukan juga menandai permulaan babak kehidupan yang baru.
Sepanjang 43 tahun di Taiwan di mana saya sekolah, mengabdi di militer, dan bekerja, saya menjalani hidup yang duniawi tanpa mengenal Allah. Saya belajar Pengelolaan Hotel di sekolah dan kemudian bekerja di sebuah hotel selama 18 tahun. Karena sangat sibuk, saya mulai bekerja pagi-pagi sekali dan pulang larut malam – rumah hanya tempat untuk tidur. Akibatnya, saya menelantarkan keluarga dan tidak mempedulikan keadaan depresi istri saya yang semakin parah seiring berjalannya waktu. Dahulu ia lemah lembut dan orang yang perhatian, tetapi kemudian, ia mengalami kemunduran mental yang parah dan tidak mampu mengekspresikan dirinya. Akhirnya di tahun 1991, ia mulai menderita skizofrenia dan ia selalu mengira orang-orang di sekitarnya berusaha melukainya.
Pada waktu itu saya sudah menyelesaikan segala keperluan untuk imigrasi. Jadi peristiwa mendadak ini membuat saya tidak siap, dan saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk menjalankan rencana kepergian; dan seluruh keluarga kami meninggalkan Taiwan menuju Selandia Baru. Sebelum kami pergi, seorang teman mengajak istri saya ke sebuah gereja di Tianmu dan ia dibaptis di dalam kolam setelah mengikuti ibadah di gereja itu beberapa kali. Saya mengira, mungkin agama dapat menyembuhkan luka-luka mental dan emosi istri saya, jadi saya dua kali mengikuti ibadah di gereja itu bersama istri saya.
Ketika kami tiba di Selandia Baru, kami tidak punya apa-apa – baik harta maupun dalam hati kami. Dua kardus barang-barang kami baru akan tiba sampai bulan depan. Saat itu musim dingin sudah tiba. Jadi kami membeli lima kantong tidur untuk bertahan selama musim dingin, dan perlahan-lahan kami menetap. Walaupun keadaan sekeliling kami berubah, keadaan istri saya tidak membaik. Maksud awal saya untuk pindah adalah untuk menggantikan jerih lelah istri saya selama lebih dari 20 tahun. Saya juga ingin menebus waktu bersama anak-anak yang tumbuh besar tanpa mengenal ayah mereka, dan saya kehilangan bagian waktu masa kecil mereka. Saya ingin agar mereka menikmati kehidupan keluarga yang indah setelah tiba di Selandia Baru. Namun, kenyataan yang saya hadapi bertolak belakang dengan pengharapan saya, dan tampak seperti sebuah jalan buntu bagi hidup kami. Saat itulah saya mulai mencari Allah.
Awalnya, kami mengikuti ibadah di sebuah gereja Tionghoa, tetapi merasa gereja ini serupa dengan gereja yang pernah kami kunjungi di Taiwan. Kami juga mengunjungi sebuah gereja setempat, tetapi kami tidak dapat merasakan kehadiran Allah. Selama waktu itu, Ny. Liu dan Ny. Chu dari Gereja Yesus Sejati terus memberitakan injil kepada kami. Di permukaan saya menyambut mereka, tetapi sesungguhnya hati saya bergumul karena istri saya merasa gelisah setiap kali setelah mereka berkunjung.
Di tahun kedua, ketika saya membawa istri kembali ke Taiwan untuk mengunjungi sanak keluarga kami, saudara perempuan saya melihat rambut saya sudah beruban. Setelah mengetahui apa yang terjadi, ia membawa saya untuk mencari seorang imam sebuah kuil Tionghoa yang mengaku dapat menghubungi roh-roh. Orang ini berkata bahwa dulu ia memeluk suatu agama tertentu. Ia berkata kepada saya, “Mengenai penyakit istri Anda, Anda harus membaca mantra “Belas Kasih Besar” setiap hari untuk membuang rintangan-rintangan karma (ini juga disebut “penebusan”). Setelah rintangan-rintangan karma ini dibuang, penyakitnya pelan-pelan akan sembuh.” Saya kira karena tidak ada jalan lain, mengapa tidak mencobanya. Jadi kami membawa kitab-kitab agama itu yang ia berikan kepada kami dan juga mantra “Belas Kasih Besar” kembali ke Selandia Baru. Pada waktu itu, Ny. Liu kembali mengunjungi kami. Namun setelah melihat tasbih di pergelangan tangan saya, ia berhenti mengunjungi kami.
Saya mulai bangun pagi-pagi, duduk di ruang tamu dengan weker selama satu jam. Namun, setelah mengucapkan mantra selama tiga sampai empat hari, saya merasa gelisah; semakin saya mengucapkannya, semakin gelisah hati saya. Saya merasakan ada sesuatu yang salah, dan semuanya ini hanyalah takhyul. Jadi saya membuang semua kitab-kitab itu. Saya duduk di ruang tamu merenung dan berseru kepada Allah, “Oh Tuhan! Tuhan yang mampu menolong kami dari segala penderitaan ini! Di manakah Engkau?” Tiba-tiba saya teringat bahwa istri saya membawa lima buah Alkitab ketika kami meninggalkan Taiwan ke Selandia Baru, dan saya segera mencari-cari Alkitab itu. Saya membuka-buka Alkitab dan tiba pada ayat ini di Matius 11:28 yang menyebutkan, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”
Karena ajakan ayat ini, saya memiliki hati yang separuh percaya, tetapi juga separuh skeptis. Saya teringat Ny. Liu pernah berkata kepada saya, “Datang dan cobalah mendengar.” Lalu saya memutuskan untuk pergi ke GYS di pertengahan 1992 untuk mencari kebenaran. Sejak istri saya mulai menderita penyakit, saya juga mulai mengalami insomnia – susah tidur – setiap malam. Tetapi ajaibnya, saya dapat tidur setelah pergi ke gereja sejati. Saya juga merasa beban berat dalam hati saya terangkat. Ini adalah pertama kalinya saya merasakan kehadiran Allah.
Ilmu pengetahuan dibuktikan melalui eksperimen, tetapi agama dibuktikan melalui pengalaman. Ketika saya mengalami Allah, seakan-akan pengharapan hidup kembali menyala bagi keluarga kami. Maka kami memutuskan untuk benar-benar mengejar iman ini dan dengan tekun mempelajari Alkitab. Alkitab menasihati kami:
“Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.” (1Ptr. 5:8)
Lalu saya menyadari bahwa ada seorang musuh, Iblis, jadi saya bertanya-tanya apabila istri saya telah ditelannya.
Semua kaset-kaset khotbah dari gereja, khotbah-khotbah dari pendeta, dan kesaksian dari beragam jemaat yang menyatakan kemahakuasaan Allah membangun iman saya. Ketika saya mendengar tentang Yesus melakukan tanda mujizat menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan di kitab-kitab Injil, satu-satunya pengharapan saya adalah untuk sepenuh hati bersandar pada Allah, dan memohon kepada-Nya untuk menyembuhkan istri saya. Saya yakin bahwa firman Allah benar dan penuh kuasa.
Selama tiga setengah tahun mencari kebenaran, saya menghadapi tiga masalah, dan Allah menyelamatkan saya dari semuanya ini. Masalah pertama adalah ketika saya pergi ke Kaikoura. Karena hujan, jalanan menjadi licin. Mobil saya tergelincir dan menabrak pembatas jalan. Untungnya, saya tidak jatuh ke laut. Masalah kedua adalah ketika saya sedang membawa sekelompok wisatawan ke Milford Sound. Saat itu sedang turun salju dan ketika kami berkendara keluar dari terowongan, mobil kami tergelincir turun bukit dan untungnya kami tidak terjatuh ke lembah karena menabrak sebuah kendaraan dari Departemen Konservasi. Peristiwa ketiga terjadi pada hari Minggu sebelum KKR musim semi bulan September 1995. Saya sedang memancing di Sumner ketika saya terjatuh ke dalam sebuah lubang sedalam tiga meter. Namun saya tetap berdiri setelah terjatuh. Belakangan, saya menemukan jawabannya di Mazmur 91:11-12:
“Sebab malaikat-malaikat-Nya akan diperintahkan-Nya kepadamu untuk menjaga engkau di segala jalanmu. Mereka akan menatang engkau di atas tangannya, supaya kakimu jangan terantuk kepada batu.”
Puji Tuhan, seperti yang dinyatakan dalam Kitab Suci, “TUHAN akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya.” (Mzm. 121:8)
Saya meyakini bahwa tiga masalah ini adalah peringatan dari Tuhan Yesus yang menyuruh saya untuk dibaptis ke dalam Dia dan tidak terus berdiri di luar pintu. Walaupun Allah menjaga saya, keadaan istri saya bertambah parah sehingga saya merasa ragu. Awalnya, istri saya hanya mengamuk-amuk di keluarga, tetapi sekarang Iblis membuatnya lebih parah sehingga ia mulai merusak perabotan dan barang-barang di rumah, dan merobek-robek semua pakaian-pakaian baru yang kami beli. Ketika kami menanyakan mengapa ia melakukannya, ia mengaku bahwa ada Iblis di dalam barang-barang itu. Awalnya saya terjerat dalam perangkap Iblis dan merasa sangat marah. Namun setelah membaca Kitab Ayub, saya menyadari dari penderitaan Ayub, bahwa, “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil.” (Ayb. 1:21) Setelah terhibur oleh firman Allah, perlahan-lahan saya menjadi tenang dan membiarkan istri saya melakukan apa yang ia lakukan, dan tidak lagi mempedulikan barang-barang duniawi itu. Pnt. Tsai pernah menyebutkan dalam sebuah khotbah, bahwa kita tidak berkuasa untuk mencegah Iblis mengelilingi kita, tetapi kita berkuasa untuk mengabaikannya. Sejak saat itu, bagaimana pun istri saya menghancur-leburkan, saya tidak marah dan membiarkannya. Saya mengikuti ajaran ini dari Alkitab, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” (Flp. 4:6-7) Saya memberitahukan kepada Tuhan tentang keadaan istri saya dan berharap agar Ia memberikan damai sejahtera yang melampaui segala pengertian bagi istri saya. Saya bersimpati dengan penderitaan yang harus dilalui istri saya saat ia diganggu oleh Iblis. Ada banyak kesempatan ketika ia dipaksa meringkuk di jalan buntu oleh Iblis dan terus menangis karena ia tidak dapat membebaskan dirinya.
Saya berdoa kepada Tuhan setiap hari, tetapi tampaknya seolah Tuhan memalingkan wajah-Nya dari kami. Walaupun Tuhan memelihara tiga anak kami dari luka-luka batin, tapi saya merasa Ia tidak mengabulkan apa yang saya minta. Iman saya mulai melemah dan saya merasa ingin menyerah dari iman karena beban yang berat ini. Walaupun demikian, saya teringat ayat Alkitab yang menyatakan, “Apabila roh jahat keluar dari manusia, iapun mengembara ke tempat-tempat yang tandus mencari perhentian. Tetapi ia tidak mendapatnya. Lalu ia berkata: Aku akan kembali ke rumah yang telah kutinggalkan itu. Maka pergilah ia dan mendapati rumah itu kosong, bersih tersapu dan rapih teratur. Lalu ia keluar dan mengajak tujuh roh lain yang lebih jahat dari padanya dan mereka masuk dan berdiam di situ. Maka akhirnya keadaan orang itu lebih buruk dari pada keadaannya semula. Demikian juga akan berlaku atas angkatan yang jahat ini.” (Mat. 12:43-45) Keadaan kami saat itu sudah sangat buruk dan akan menjadi lebih buruk lagi kalau tujuh roh lain yang lebih jahat datang mengganggu kami. Karena itu, saya tidak berani meninggalkan iman; saya hanya dapat terus bergantung pada Allah.
Saat itu, saudari-saudari di gereja terus memberikan semangat, “Kamu harus beriman, dan kalau kamu beriman, Tuhan akan mengabulkan permohonanmu.” Mereka mendorong saya untuk dibaptis. Karena itu, di KKR musim semi bulan September 1995, saya dan istri dibaptis, mengabaikan rintangan-rintangan Iblis. Ketika dibaptis, dua saudari melihat sebuah penglihatan, laut menjadi merah. Saya sangat terhibur karena dosa-dosa kami telah dibersihkan oleh Tuhan Yesus, dan saya yakin bahwa keadaan istri saya akan segera membaik.
Setelah menunggu selama sebulan, tiga bulan, dan bahkan setengah tahun, keadaan istri saya bukannya membaik, tetapi malah semakin parah. Ia mulai melukai dirinya sendiri, dan dalam beberapa kali bahkan sampai mengancam nyawanya. Saya berpikir pada diri sendiri, “Bagaimana mungkin ini terjadi? Saya merasa seperti sedang berdiri di persimpangan jalan, semua harapan lenyap. Arah manakah yang harus saya ambil?”
Setiap kali saya merasa sedih, saya menyanyikan kidung untuk menghibur diri sendiri. Lagu kesukaan saya adalah kidung nomor 263 (Yesus Sahabat Berbudi) karena lagu itu menjelaskan keadaan saya. Ketika saya menyanyikan kidung nomor 138 (Bila Menolak Almasih), saya teringat pada “Where the Call of His Spirit is Lost” (Di mana panggilan Roh-Nya hilang). Ini menyadarkan saya bahwa Iblis sedang menyerang iman saya agar saya meninggalkan Allah. Saya memberitahukan diri sendiri: “Tidak! Saya tidak akan terjatuh ke dalam perangkap Iblis lagi! Saya harus berdiri teguh sampai akhir dan bertahan dari segala pengujian; saya tidak akan kecewa!”
Pendeta berkata bahwa ini adalah sebuah pertempuran rohani dan saya sudah bertahan begitu lama. Jadi betapa pun sulitnya keadaan yang saya hadapi, ia menasihati saya untuk terus berpegang pada Allah. Pada waktu itu, anak-anak saya berkata kepada saya, “Ayah, kamu percaya kepada Yesus sampai seperti tahyul. Sekarang ibu sudah menjadi seperti ini. Apakah Ayah masih mau berpegang pada iman?” Anak-anak saya tidak lagi mampu bertahan melihat keadaan keluarga kami, dan mereka satu per satu pergi. Saya sangat terpukul dan mengira bahwa saya bahkan mungkin akan ditempatkan di rumah sakit jiwa kalau keadaan ini terus berlangsung.
“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1Kor. 10:13)
Ketika saya nyaris hancur, Allah membuka jalan! Bulan April 2000 menjadi kali terakhir istri saya mengamuk. Pada saat itu, ia menendang sebuah dinding kaca di pintu rumah, memecahkannya, dan kakinya terluka sampai mengeluarkan banyak darah (kekuatan Iblis sangat kuat; apabila istri saya mengamuk, saya pun tidak dapat mengekangnya). Pada waktu itu, saudara teman anak perempuan saya praktek di sebuah rumah sakit jiwa dan ibu mereka adalah seorang pekerja sosial. Ia membantu kami membawa istri saya ke rumah sakit untuk menyembuhkannya melalui obat-obatan. Setelah tiga minggu, keadaan istri saya menjadi stabil, dan dokter mengizinkannya pulang. Istri saya hanya perlu memeriksakan diri secara rutin dan terus meminum obat-obatan. Ia tidak boleh menghentikannya karena akan menyebabkan kambuh. Ini berarti, istri saya harus menjalani pengobatan jangka panjang. Yang menguatirkan adalah efek samping pegobatan yang parah, karena istri saya menjadi sangat lemah dan ekspresi wajahnya tidak menunjukkan kehidupan. Saya tidak mampu melihatnya menjadi orang yang tersingkirkan karena obat-obatan (kami melihat banyak kasus serupa di Taiwan) dan saya tidak mau berpikir apabila Tuhan tidak mau menyembuhkannya karena Ia pernah berkata, “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.” (Mrk. 10:27) Memang, dokter dapat menyembuhkan sakit, tetapi tidak dapat mengusir setan. Karena Tuhan Yesus mampu membangkitkan orang dari kematian, bukankah Ia mampu menyembuhkan istri saya, kalau Ia menghendakinya?
“Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.” (Mrk. 11:24)
Saya memohon kepada Tuhan dengan sangat agar melalui kuasa-Nya yang besar kita tidak perlu mengandalkan pengobatan. Awalnya, ia memakan satu pil (1 mg) per hari, dan ketika keadaannya mulai stabil, berkurang menjadi setengah pil (0,5 mg). Perlahan-lahan, frekuensi pengobatan ini berkurang. Melalui doa dan iman kepada Tuhan, ia berhenti menggunakan obat-obatan di tahun 2010. Istri saya akhirnya menerima kemurahan dari Tuhan Yesus dan dibebaskan. Puji Tuhan! Air mata saya tidak terkucur sia-sia dan saya melihat kasih karunia Tuhan Yesus dalam diri istri saya.
Walaupun Iblis kadang-kadang melancarkan tipu daya, saya diingatkan pada duri Paulus dan pentingnya tetap waspada di segala waktu. Apabila istri saya sepenuhnya pulih, mungkin saya akan melupakan kemurahan Tuhan.
“Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” (Rm. 8:18)
Saya sering merenungkan cerita tentang jejak kaki di pasir pantai. Tuhan Yesus-lah yang membawa saya sepanjang masa-masa yang pedih dan penuh penderitaan saya selama beberapa dekade terakhir. Puji syukur pada Tuhan sehingga istri saya sekarang dapat menjalani hidup yang normal – sungguh ini adalah kasih karunia terbesar yang diberikan Tuhan Yesus bagi keluarga kami. Ini juga memungkinkan saya untuk menyadari bahwa setiap firman Allah adalah kebenaran.
Selama lebih dari 20 tahun percaya, Tuhan Yesus juga memberikan banyak pengujian dan teguran, dan menuntun saya menjalani pencobaan.
Saya mulai menjadi pemandu wisata di tahun 1993, membawa rombongan wisatawan Taiwan baik ke Selandia Baru pulau-pulau utara maupun selatan untuk perjalanan tujuh hari. Karena masa perjalanan itu, saya seringkali harus “cuti” dari Tuhan Yesus dan tidak mementingkan hari Sabat. Di awal November 2001, Sdr. Liang yang berimigrasi dari Amerika Serikat, bertanya kepada saya, “Sdr. Chen, mungkinkah kamu menghindari memandu wisata di hari Sabat?” Jawaban saya, “Ini adalah perjalanan tujuh hari! Tidak mungkin!” Dua hari setelah percakapan itu, tubuh saya mulai terasa sakit, dan saya tidak dapat makan maupun tidur. Saya pergi ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan-pemeriksaan seperti x-ray, gastroskopi, USG, dan sebagainya, dan kemudian beristirahat selama dua pekan. Alkitab menyatakan di Pengkhotbah 7:14a, “Pada hari mujur bergembiralah, tetapi pada hari malang ingatlah.” Saya merenungkannya dan menyadari bahwa jawaban saya kepada Sdr. Liang tidak berkenan kepada Allah. Saya lalu berlutut untuk bertobat. Setelah saya memberitahukan Allah bahwa saya memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai pemandu wisata dan memegang hari Sabat, rasa sakit itu perlahan-lahan menghilang setelah beberapa hari. Hasil pemeriksaan dari rumah sakit juga menunjukkan semuanya normal; ini lebih jauh menyatakan bahwa sungguh ini adalah teguran dari Allah.
“Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya.” (Ibr. 12:6a)
Saya sangat lega Allah tidak meninggalkan saya.
Setelah berhenti dari pekerjaan pemandu wisata, saya tidak mempunyai penghasilan selama dua tahun. Jadi, saya berdoa kepada Tuhan mengenai apakah saya dapat melanjutkan bekerja. Saya tidak mau bekerja di hari Sabat, dan kalau Tuhan menghendakinya, agen wisata yang akan mencari saya. Setelah berdoa selama tiga bulan, atasan Blue Star Tours menelpon saya, dan meminta saya untuk membantunya memandu kelompok wisatawan Tiongkok selama perjalanan empat hari di Kepulauan Selatan. Yang lebih indah lagi, kelompok wisata ini akan tiba kembali pada hari Sabtu jam 11 siang, jadi tidak ada masalah untuk memegang hari Sabat.
Lebih dari dua tahun kemudian di tahun 2006, seminggu setelah KKR, saya membawa kelompok wisatawan yang pergi ke Queenstown di hari Sabat. Saya mengira rohani saya telah dibangun selama seminggu KKR; jadi melewatkan satu hari Sabat tidak masalah, bukan? Namun dalam perjalanan menuju Cromwell, nyaris semua koper jatuh keluar dari bis ketika membelok karena kunci pintu yang bermasalah, dan koper-koper itu tertabrak dan hancur oleh kendaraan di belakang kami. Oleh-oleh yang dibeli para wisatawan dari Australia semuanya rusak. Seketika itu juga saya terbangun dan menyadari bahwa saya telah melanggar janji saya kepada Allah. Saya telah berdosa kepada-Nya dan seperti yang dinyatakan Alkitab di Galatia 6:7a: “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan.” Setelah membereskan kekacauan itu dan check-in hotel di Queenstown, saya segera berlutut untuk berdoa dan bertobat. Karena peristiwa itu, para wisatawan tidak lagi mau melanjutkan perjalanan dan mereka membatalkan wisata empat hari itu. Mereka terbang kembali ke Australia keesokan harinya untuk meminta ganti rugi ke agen wisata.
Belakangan, saya berhenti bekerja karena perubahan kebijakan agen wisata. Pemandu wisata yang membawa kelompok wisatawan Tiongkok tidak lagi dibayar dengan tarif pokok, tetapi dari komisi produk-produk yang dibeli wisatawan. Saya berdoa kepada Tuhan lagi, untuk bertanya apakah Ia mengizinkan saya untuk mendapatkan pekerjaan yang tidak mempengaruhi iman saya dan berarti. Allah mengabulkan permintaan saya dan mengizinkan saya untuk mendapatkan pekerjaan paruh-waktu menyupiri anak-anak berkebutuhan khusus ke sekolah. Saya bersyukur kepada Tuhan atas perlindungannya, sehingga selama enam tahun menyupiri pelajar-pelajar ini tidak terjadi apa pun sampai tahun 2012 ketika saya berumur 65 tahun. Saat itu perusahaan transportasi tempat saya bekerja itu tidak lagi dikontrak oleh Kementrian Pendidikan, jadi saya pensiun. “Untuk segala sesuatu ada masanya.” (Pkh. 3:1a) Karena saya percaya kepada Tuhan, tampaknya seluruh langkah saya dipandu dan diatur oleh Allah.
Di bulan Juli 2008, saya mengalami kecelakaan lalu lintas ketika saya ditabrak oleh sebuah mobil saat menyeberangi jalan raya. Kecelakaan itu mengenai lengan kiri dan dada saya sehingga satu sampai lima tulang rusuk saya tergeser. Puji Tuhan atas perlindungan-Nya; tidak ada tulang yang retak atau patah. Kalau tidak, saya mungkin telah mati.
Kejadian terkini terjadi di bulan Juli 2014. Saya jatuh dari kursi tinggi dan mendarat di lengan kiri saya sampai sendinya terlepas. Saya dibawa ke UGD dan sendi saya dibenarkan, tetapi ada sekeping tulang yang patah berada di dalam sendi. Dokter berkata bahwa perlu operasi untuk membuangnya agar tidak terjadi akibat yang negatif. Operasi kemudian dijadwalkan besok paginya sesuai dengan keputusan dokter bedah. Saya harus berpuasa sebelum operasi dijalankan. Karena merasa takut menghadapi operasi, malam itu saya tidak dapat tidur dan terus berdoa kepada Tuhan, memohon kemurahan-Nya agar saya dapat menghindari pembedahan. Di jam sembilan pagi esok harinya, dokter bedah meneliti hasil x-ray dan menyimpulkan bahwa tidak ada masalah besar untuk sementara waktu, dan bedah tidak diperlukan. Namun apabila terjadi masalah di kemudian hari, saya harus segera menjalani operasi. Puji Tuhan Ia mendengar doa saya!
Setelah tiga minggu, gips dilepaskan, tetapi saya tidak dapat merenggangkan maupun menggerakkan lengan saya. Gerakan yang sedikit pun membuat rasa sakit yang bukan main. Dokter merasa kuatir apabila pecahan tulang yang patah itu tidak dibuang, akan terjadi pembengkakan yang menghasilkan nanah. Apakah saya harus menjalani operasi atau bersandar kepada Allah. Dalam dilema itu, saya teringat pada ayat yang menyatakan bahwa segala sesuatu mungkin bagi Allah. Jadi saya memutuskan untuk bersandar kepada Allah. Saya mulai mendoakan masalah ini dan setelah satu tahun berdoa, saya tiba-tiba menyadari bahwa lengan saya tidak lagi terasa sakit dan saya dapat meluruskannya. Puji Tuhan! Allah sungguh adalah keyakinan saya dan sangat hadir di saat-saat kesulitan saya.
Merenungkan dua puluh tahun iman saya, yang paling menantang dan juga paling dibanggakan adalah kebenaran bahwa saya dapat mengenal Tuhan Yesus. Dari tidak mempunyai apa-apa saat pindah ke Selandia Baru sampai sekarang saya memiliki segala sesuatu; dari tidak mengenal Allah sampai sekarang bersandar kepada-Nya; dari segala prahara sampai memperoleh damai sejahtera; dari keadaan pembenaran diri sampai ketaatan; dari kegelapan ke dalam terang… Ketika saya menghitung berkat-berkat Allah, saya selalu melihat tuntunan-Nya di setiap langkah. Iman saya juga perlahan-lahan disempurnakan dengan cara ini. Sekarang, setiap hari, iman adalah prioritas utama saya, sementara kesehatan adalah yang kedua. Saya sekarang sedang berjalan menuju senjakala hidup saya; saya tidak lagi punya permohonan. Saya hanya bersyukur Allah mengizinkan saya hidup satu hari lagi.
Ketika saya kembali ke Taiwan tahun 2013, saya bertemu dengan seorang teman sekelas yang berkata kepada saya, “Saya adalah Momotarou Taiwan (permainan kata yang menunjukkan kenakalan). Kamu adalah orang bijak Selandia Baru (permainan kata yang menunjukkan orang yang mencari-cari makanan sisa). Kita berdua pensiunan tanpa ada yang bisa dikerjakan.”
Saya menjawabnya, “Tidak, kita harus membangun rohani setiap hari mempersiapkan hari terakhir yang akan tiba.” Kesaksian saya berakhir di sini. Kiranya semua kemuliaan dan puji-pujian dipersembahkan bagi Tuhan kita Yesus! Amin.