Namaku Arry Widarti, jemaat Gereja Yesus Sejati Fatmawati, Jakarta Selatan.
Teladan Orang Tua Aku dilahirkan dalam keluarga beragama lain. Aku adalah anak kedua dari empat bersaudara. Sangat bersyukur, orang tua mendidik kami dengan penuh kasih dan kesabaran. Bahkan sampai mereka meninggal, belum pernah sekalipun kami melihat mereka bertengkar atau marah-marah. Ayah dan ibu kami sangat bijaksana dalam banyak hal. Kami sungguh bangga memiliki orang tua seperti mereka.
Pilihan Iman Walaupun seluruh anggota keluarga di rumah menganut satu agama yang sama, belakangan aku memiliki keyakinan berbeda karena percikan iman dari keluarga pihak ibu yang beragama Kristen.
Saat harus minta restu orangtua, aku sempat ragu. Tetapi di luar dugaan, ayah tidak keberatan. Hanya pesannya: “Jika kamu benar-benar ingin pindah keyakinan, kamu harus lebih baik dari sekarang.”
Langkah Baru Akhirnya aku dibaptis menurut keyakinan kekristenan dan aktif mengikuti banyak kegiatan sebagai jemaatnya selama 42 tahun. Persaudaraan kami dalam keluarga tetap hangat, walau hanya aku sendiri yang berbeda keyakinan. Kami tetap saling menyayangi dengan tulus, tanpa sekat.
Lemari Nenek Orang tua kami asli kelahiran Yogyakarta. Suatu malam saat menginap di rumah nenek, aku mendengar lemari berbunyi, seperti ada sesuatu di dalamnya.
Besoknya aku tanyakan ke nenek “Eyang putri, apa di dalam lemari itu, apa ada tikus?” Nenek hanya menjawab, “Aku lali nyaosi dahar.” (Aku lupa memberi makan) Saya tidak paham. Siapa yang harus diberi makan? Tidak mungkin kalau untuk tikus. Lalu siapa?
Warisan Keris Namun belum sempat aku tanyakan lebih lanjut, nenek sudah mengeluarkan beberapa keris. Keris-keris ini adalah warisan keluarga kami. Kemudian nenek menaruh kemenyan dan bunga-bunga tabur, lalu mulai komat-kamit, merapalkan kata demi kata yang tidak kumengerti.
Keyakinan Berbeda Selesai nenek lakukan itu, aku berkata kepada nenek untuk tidak mewariskan keris keris itu kepadaku. Alasannya, selain tidak nyaman dengan hal yang berbau magis, aku tidak bisa mencampurkan dua keyakinan yang berbeda.
Setelah nenek wafat, aku tidak tahu keris itu diwariskan ke siapa. Toh, aku tidak merasa perlu menanyakannya.
Titik Terendah Waktu terus berlalu, dan aku memulai keluarga sendiri. Kami dikaruniai beberapa anak. Tahun 1998, aku didiagnosa penyakit kanker ganas. Rasanya seperti berada di titik yang paling bawah, rasanya sangat menakutkan.
Tanpa Janji Dokter menyarankan operasi pengangkatan rahim dan indung telur. Namun dokter tidak dapat menjamin aku akan sembuh total. Aku diberi waktu sebulan untuk berpikir dan memutuskan. Aku terguncang hebat. Berulang kali aku membaca hasil tes itu di dalam kamar, sebelum memberitahu anak-anak dan suami yang sedang tugas di luar kota.
Pasrah Aku berbaring di lantai sambil menangis, berkata bahwa hanya Tuhan yang dapat menolong di saat dokter ahli tidak mampu menjanjikan apa pun. Aku memohon kepada Tuhan agar diberi kesempatan hidup. Entah berapa lama aku menangis dan memohon, sampai terasa lega dan berpasrah diri. Akhirnya aku dan keluarga memutuskan untuk menjalani operasi pengangkatan rahim dan indung telur.
INSITU Menjelang operasi, aku diperiksa lagi untuk melihat sampai di mana penyebaran kanker ganas. Di luar dugaan, hasilnya INSITU (tidak menyebar). Puji Tuhan, proses operasi berjalan dengan baik. Lalu aku menjalani pemeriksaan rutin selama lima tahun untuk memastikan tubuhku sudah bersih dari kanker. Bersyukur karena Tuhan masih memberi kesempatan untuk sembuh.
Negeri Kiwi Suamiku adalah laki-laki kulit putih yang berasal dari New Zealand (NZ). Saat itu sempat terpikir untuk tinggal di sana. Melalui media sosial, aku mulai mencari peluang bisnis dan orang-orang yang berbisnis di sana.
Peluang Bisnis Di antara sekian banyak peluang, muncul nama seseorang yang mempunyai hobby membaca Alkitab. Dalam pemikiranku, orang tersebut pasti jujur. Akhirnya aku coba menyapanya, mulai komunikasi. Dia memiliki bisnis sendiri di kota Christchurch, salah satu tempat yang aku sukai.
Jenuh Di tengah obrolan, kenalan di New Zealand itu menanyakan agamaku. Lalu berlanjut dengan mengajak berdoa. Belakangan dia mengajakku untuk mendengarkan dia mengupas Alkitab selama satu jam, setiap hari. Lama-kelamaan pun aku menjadi bosan.
Saya sudah berusaha menghindarinya dengan berbagai alasan, namun dia tidak putus semangat. Dia malah mengatakan, “Saya akan tunggu dan hubungi kembali.” Karena merasa tidak enak, akhirnya terpaksalah aku mendengarkan lagi kupasan Alkitabnya, disertai dengan rasa kantuk tentunya.
Beda Tujuan Tujuanku tadinya adalah untuk mencari peluang bisnis, apa yang bisa dilakukan nanti di New Zealand. Namun sudah delapan bulan aku seperti “terperangkap,” menerima pelajaran Alkitab setiap hari.
Di puncak kejenuhan, akhirnya aku berkata, “Cukup sudah, terima kasih, aku beragama lain.” Namun dia masih tidak putus asa. Malah dia memberikan alamat Gereja Yesus Sejati di Fatmawati di Jakarta Selatan. Kami sepakat untuk tidak berkomunikasi lagi sebelum aku berkunjung ke alamat itu.
Tidak Mencolok Setiap melalui ruas jalan Fatmawati yang panjang itu, entah mengapa aku tidak pernah menemukan Gereja Yesus Sejati. Aku pikir seharusnya berbentuk bangunan besar seperti gerejaku, tetapi tidak pernah terlihat. Setelah beberapa waktu, kenalan di New Zealand itu menanyakan kabar. Setelah mengetahui masalahnya, dia memberikan alamat lain, Gereja Yesus Sejati Sunter, ditambah dengan nama seorang jemaat di sana.
Kesan Pertama Karena Sunter dekat dengan rumah anakku, di suatu Sabtu pagi aku mencoba berkunjung ke alamat itu dan akhirnya aku menemukannya. Aku mencoba mengikuti ibadah mereka dari pagi sampai siang.
Aku hanya terdiam saat mendengar mereka berdoa dalam bahasa yang tidak kumengerti. Sebelum pamit pulang, aku diberikan nama seorang jemaat di Gereja Fatmawati.
Pencurahan di Rumah Suatu malam di rumah, aku berdoa dengan cara yang telah diajarkan di Gereja Yesus Sejati, yaitu mengucapkan Haleluya. Mendadak lidahku mulai bergetar, mengeluarkan bahasa yang tidak aku mengerti. Tentunya aku merasa sangat terkejut. Aku segera berhenti berdoa. Bagiku ini adalah hal yang tidak biasa.
Konfirmasi Aku segera menghubungi kenalan di New Zealand itu. Dia bertanya, “Apa tadi kamu berdoa dalam nama Tuhan Yesus?” Saat aku mengiyakan, dia berkata, “Jangan takut. Teruskan berdoa. Pastikan soal ini kepada pendeta di alamat yang telah aku berikan.”
Setelah itu aku kembali berdoa, dan aku kembali mengalami sensasi yang sama. Lidahku bergetar mengucapkan bahasa yang tidak kumengerti, tetapi dalam hati ada rasa lega yang luar biasa.
Gereja Fatmawati Hari Sabtu pun tiba. Aku mendapat telepon dari jemaat Gereja Fatmawati. Katanya mereka akan datang menjemput ke rumah. Sejak saat itu, tiap Sabat aku mulai rutin datang beribadah. Aku mulai bisa fokus belajar firman Tuhan. Akhirnya aku menjalani katekisasi dan bertekad untuk dibaptis ulang, sesuai dengan cara di Alkitab.
Kendala vs. Tekad Dua bulan sebelum tanggal baptisan, sendi lututku bengkak sehingga aku tidak bisa berlutut. Tanggal 31 Januari 2015 adalah hari baptisan, dan lututku masih terasa sakit. Tetapi aku bertekad berlutut, apapun resikonya. Bahkan waktu itu aku berpikir, kalau Tuhan mau ambil nyawaku, saat itu aku sudah siap secara mental.
Baptisan Air Kami pergi ke sebuah pantai di wilayah Ancol. Saat tiba giliranku, sama seperti peserta lainnya, pendeta mengucapkan, “Dalam nama Tuhan Yesus membaptis,” lalu seluruh tubuhku diselamkan ke dalam air laut. Aku tidak memperhatikan kondisi lutut lagi, mungkin karena terlalu bahagia bisa menjalani baptisan air. Bahagia sudah terbebas dari semua hutang dosa.
Sembuh Lalu kami kembali ke gereja. Saat menerima Sakramen Basuh Kaki dan Perjamuan Kudus, aku doa berlutut. Saat itulah aku baru sadar, ternyata lututku sudah tidak sakit lagi! Aku sudah sembuh! Aneh sekali. Padahal tadi lututku masih bengkak. Jelas-jelas masih sakit. Bahagia sekali hari itu!
Bukan cuma bebas dari hutang dosa, melainkan juga bebas dari keluhan sakit yang sudah mengganggu sekian bulan itu. Sesudah enam tahun berlalu, sampai saat aku menulis kesaksian ini tanggal 8 Februari 2021, penyakit itu tidak pernah kambuh lagi.
Menginjili Keluarga Sejak dibaptis, aku merasa ada kewajiban untuk mengabarkan kasih Yesus. Aku mencoba memberitakan injil ke keluarga inti. Aku pun meminta tolong kenalan di New Zealand itu untuk menghubungi suamiku yang saat itu sudah lebih dulu berada di sana.
Puji Tuhan, suami bersedia dijemput untuk ikut ibadah ke Gereja Yesus Sejati di kota Christchurch. Kenalan itu seorang jemaat di sana.
Butuh Proses Setiap orang butuh proses. Suamiku mau diajak ibadah ke Gereja Fatmawati, namun belum mau dibaptis. Suamiku punya pola pikir sendiri. Setiap orang butuh proses. Sejak tahun 2019, suami berada di New Zealand karena suatu urusan.
Sebagai istri, aku tetap mendoakan dan berusaha, karena aku percaya Tuhan Yesus mengasihi setiap manusia. Aku yakin bahwa proses sejak lahir sampai dewasa bukan suatu kebetulan. Semua terjadi karena campur tangan dan pertolongan Tuhan (Yes 44:2a).
Tujuan Akhir Dia menuntun hidupku, setahap demi setahap, mengenal keselamatan di dalam nama-Nya. Aku sadar bahwa aku harus setia sampai akhir hidup, supaya dapat mencapai tujuan akhir hidup tiap manusia, yaitu hidup kekal dalam kerajaan surga. Sungguh, Tuhan itu Maha Esa, hanya satu. Nama-Nya adalah Yesus.
Segala kemuliaan dan puji syukur hanya bagi Tuhan Yesus. Haleluya, Amin.