DI LAUT DAN DI GUNUNG
“Matahari tidak menyakiti engkau pada waktu siang,
atau bulan pada waktu malam.”(Mzm. 121:6)
Aku sangat menyukai pemandangan alam. Pemandangan matahari terbenam yang melatarbelakangi sawah di belakang rumahku, kadang kala membuatku menahan napas mengagumi keindahan ciptaan Tuhan. Sebentuk pohon yang tumbuh di tepi jalan yang kulihat dalam perjalanan bepergian dengan bus, juga dapat menggetarkan hatiku. Aku juga suka memandangi hewan-hewan: betapa lucunya anak-anak anjing, kucing, ayam, kambing; bahkan seekor ulat hijau berkepala besar di pohon sirsak pun kuanggap lucu.
Karena itulah aku berkeinginan mengunjungi tempat-tempat wisata alam untuk menikmati keindahannya. Kesempatan datang ketika aku mulai kuliah. Sebagai mahasiswa baru kami diwajibkan memilih salah satu kegiatan di kampus. Aku melihat dalam daftar kegiatan tercantum kelompok pencinta alam. Dengan gembira aku memilih kelompok itu dan tidak menghiraukan kelompok kegiatan lainnya. Aku tahu bahwa untuk mengikuti kegiatan kepencinta-alaman membutuhkan biaya yang cukup besar. Karena itu aku berusaha menyisihkan sebagian uang yang kuterima untuk dapat mengikuti berbagai kegiatan yang dilakukan. Puji syukur, selama masa pembinaan calon anggota, kegiatan praktek lapangan dilakukan di daerah-daerah yang tidak terlalu jauh, jadi ongkos transportasi dapat ditekan.
Pembinaan yang dilakukan cukup berat, tapi aku sangat senang mengikutinya. Aku dapat menikmati dinginnya udara malam di pegunungan dan dinginnya hembusan angin laut pada malam hari; sebab bila kita tidak pernah merasakan dingin, kita tidak akan tahu bagaimana hangatnya sinar matahari. Juga merasakan tetesan-tetesan keringat mengalir di wajah ketika mendaki gunung, merasakan kegelapan dan dinginnya udara di dalam gua dengan bau khasnya berupa kotoran kelelawar seraya mengamati ornamen gua berupa berbagai bentuk stalaktit dan stalakmitnya, merasakan hembusan angin yang menyertai jatuhnya air pada sebuah air terjun sampai terbentuk pelangi, mendengar kicauan burung dan teriakan satwa hutan, dan pengalaman-pengalaman tak terlupakan lainnya. Sungguh! Semua itu adalah ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa. Betapa kecil manusia bila kita merasakan kebesaran alam ciptaan Tuhan.
Suatu hari di tahun 1996, aku beserta lima orang teman pergi ke sebuah pantai di selatan pulau Jawa. Dengan riang kami menyusuri pantai seharian, merasakan hangatnya sinar matahari di kulit kami. Malamnya kami tidur di alam terbuka di tepi pantai, diselimuti oleh cahaya keemasan bulan purnama. Walaupun banyak nyamuk yang mengganggu, sungguh tak terlupakan kenangan ketika berbaring menatap langit yang bertaburan bintang. Satu lagi ciptaan Tuhan yang membuat aku kembali merasa kecil. Pagi harinya kami melanjutkan perjalanan menyusuri pantai. Hari itu adalah hari libur dan esoknya kami harus kembali kuliah. Karena itu kami akhirnya memutuskan untuk kembali agar tidak terlalu malam sampai di rumah.
Kami berhasil memperoleh sebuah perahu-motor-bercadik kecil untuk kembali ke pantai di mana kami tiba pertama kali. Dengan hati gembira kami mulai melaju di air laut yang biru jernih. Merasakan hembusan angin dan hangatnya sinar matahari, kami tidak menyadari ombak-ombak kecil yang mulai memasuki perahu. Yang terjadi selanjutnya, secara perlahan perahu mulai masuk ke dalam air, turun dan turun. Kami akan tenggelam! Aku panik dan segera berteriak ‘Haleluya’ di dalam hati. Aku takut sekali. Aku tidak bisa berenang! Untunglah nelayan tukang perahu itu menenangkan kami. Ia berkata bahwa kayu tidak dapat tenggelam. Mendengar itu aku lega kembali. Kami terapung-apung dengan berpegangan pada perahu. Teman-temanku yang bisa berenang turun ke laut dan berusaha mengeluarkan air dari dalam perahu, tapi sia-sia. Beban kami terlalu berat, perahu kecil itu tidak dapat menahannya.
Kami dapat melihat tepi pantai, karena itu kami berusaha berenang dan mendorong perahu ke arah pantai. Sia-sia. Kami tidak tahu sudah berapa lama terapung-apung di laut ketika sebuah perahu-bercadik lain yang lebih besar lewat. Puji Tuhan! Kami berteriak dan perahu itu mendekat. Kami tertolong. Kami mendarat di pantai dengan perut lapar dan pakaian basah. Kami segera berganti pakaian dan mendapat jamuan makan di salah satu rumah penduduk. Tidak pernah aku merasakan nikmatnya makan seperti waktu itu, walau dengan lauk yang sederhana. Puji syukur kepada Tuhan, Ia telah menolong kami. Kami pulang dengan kenangan tak terlupakan.
Setahun kemudian, pada bulan Desember 1997, aku dan teman-teman kelompok pecinta alam dari berbagai universitas mendaki sebuah gunung di Jawa Tengah. Pendakian kami jalani dengan santai. Waktu itu musim hujan, sehingga perjalanan kami adakalanya disertai turunnya hujan. Walaupun demikian pendakian tetap dilakukan. Untunglah hujan yang turun tidak terlalu deras dan air yang jatuh terhalang oleh lebatnya kanopi hutan. Ada satu saat di mana kami harus berhenti dan mendirikan tenda sementara untuk berteduh karena hujan yang turun cukup deras. Pendakian ke puncak gunung memerlukan waktu tiga hari, jadi kami tidur di tenda-tenda selama dua malam.
Untuk mencapai puncak gunung kami harus mendaki lereng berpasir dan berbatu-batu yang mudah lepas. Karena itu kami harus hati-hati agar tidak tergelincir dan terguling ke bawah. Cuaca cukup cerah ketika itu, matahari bersinar dengan terang. Puncak gunung berupa kawah yang sangat luas, kami harus hati-hati menyusuri bibir kawah. Setelah mengambil foto dan mengisi perut ala kadarnya untuk menahan lapar, kami bermaksud turun kembali ke base camp.
Perjalanan turun ini juga memerlukan kehati-hatian agar tidak tergelincir jatuh. Belum sampai sepuluh menit kami berjalan turun, tiba-tiba cuaca berubah. Langit menjadi gelap dan awan hitam menggumpal-gumpal. Di ketinggian lebih dari 3400 m dpl, tiba-tiba turun hujan es! Kami pernah mendengar bahwa pada bulan Februari sering terjadi badai putih di puncak gunung ini, di mana kabut putih menyelimuti dan udara menjadi sangat dingin, seluruh pemandangan berwarna putih. Telah banyak korban yang terjebak badai itu. Kami takut kalau yang kami hadapi itu adalah badai putih. Kilat menyambar-nyambar, jadi kami turun dengan berjongkok, berusaha serapat mungkin dengan permukaan tanah. Udara sangat dingin, dan aku hampir-hampir tidak dapat menggerakkan kaki! Aku berseru dalam hati “Tuhan, tolong! Selamatkan kami.” Dan Ia mendengar doaku. Hujan es dan badai kilat yang terasa sangat lama itu tiba-tiba berhenti, dan aku dapat berjalan normal kembali. Aku baru menyadari kalau semua orang berusaha turun paling cepat untuk menyelamatkan dirinya masing-masing, tanpa peduli kepada teman-teman lainnya yang tertinggal. Aku termasuk yang paling akhir tiba di base camp. Tubuhku bergetar menggigil kedinginan, tapi aku yakin Tuhan Yesus tidak akan meninggalkanku.
Aku dilahirkan di sebuah keluarga yang telah percaya Yesus di Gereja Yesus Sejati. Dengan sendirinya aku mengikuti kepercayaan orangtuaku. Tetapi semakin besar aku semakin memahami kebenaran ajaran Gereja Yesus Sejati, yang benar-benar sesuai dengan firman Tuhan. Untuk itu aku sangat bersyukur menjadi salah seorang anak ayah dan ibuku, walaupun hidup kami cukup sederhana. Aku menjalani kehidupanku dengan lancar tanpa ada masalah yang berarti. Mungkin karena itulah aku terbiasa akan kemudahan-kemudahan yang kuperoleh dalam kehidupanku. Semua berkat yang kuterima kuanggap biasa dan sudah sewajarnya. Dan aku percaya bahwa Tuhan Yesus akan selalu melindungiku di mana pun aku berada.
Oleh karenanya, kejadian di laut dan di gunung itu aku anggap biasa saja, dan aku tidak pernah berpikir untuk menuliskannya sebagai kesaksian agar diketahui oleh saudara-saudari lainnya. Aku berpikir bahwa kejadian itu tidak terlalu ‘menggemparkan’ seperti kesaksian tentang kesembuhan dari penyakit berat, terhindar dari kecelakaan hebat, penglihatan ajaib, dan lain-lain, yang sering disaksikan oleh saudara-saudari seiman lainnya. Namun kini aku sadar dan sangat bersyukur karena Tuhan telah memberikan kehidupan yang sangat baik kepadaku sehingga aku tidak sampai mengalami penderitaan yang cukup berat. Sungguh, dengan adanya kedua peristiwa itu aku semakin yakin bahwa Ia selalu melindungi umat-Nya.
Biarlah kesaksian ini dapat memuliakan Allah Bapa kita, Tuhan Yesus Kristus. Amin.
“Tuhan akan menjaga engkau terhadap segala kecelakaan; Ia akan menjaga nyawamu.” (Mzm. 121:7)
Lidia Chang – Tangerang