Rabu malam, 23 Desember 2009. Berdelapan kami naik bis dari Kampung Rambutan menuju Merak, hendak menyeberang ke Bakauheni, terus ke Liwa-Lampung Barat. Cukup larut kami memulai perjalanan, sekitar pukul 22:30. Masih ada beberapa bangku kosong sewaktu bis meninggalkan terminal. Maka tak heran jalannya lamban, mencari penumpang di sepanjang jalur menuju pintu tol.
Setelah rasanya lama betul, dalam kondisi mengantuk berat, sebentar tertidur-ayam sebentar terbangun, kulihat akhirnya bis penuh juga. Entah di mana, belum masuk tol, naiklah beberapa bapak dengan seorang anak kecil kira-kira 5-7 tahun. Bapak yang seorang jelas ayah si anak kecil, sedang yang lain tak jelas hubungannya; entah serombongan atau hanya kebetulan naik bersamaan.
Tak kebagian tempat duduk, ayah si anak berdiri di gang persis di depan bangkuku di bagian belakang bis. Si bocah berdiri merapat dan berpegangan di belakang kaki ayahnya, terguncang-guncang. Tak lama kemudian kenek mengatur-ngatur posisi penumpang supaya tidak terlalu banyak yang berdiri: tangga bagian belakang dilapisi koran supaya orang bisa duduk di atasnya.
Tetap tak cukup tempat bagi si bapak, tapi ada koran buat si bocah, dihamparkan persis di samping bangkuku. Awalnya si bocah ingin tetap berdiri merapat pada ayahnya, namun setelah dibujuk dia mau juga duduk di atas hamparan koran.
Bapak yang-tak-jelas-hubungannya itu menawari si bocah bersandar padanya, yang dijawab dengan gelengan. Rupanya dia anak yang cukup mandiri, lebih suka mengandalkan kekuatan sendiri; ia duduk agak berpeluk lututnya sendiri.
Meski mengantuk berat, tak urung kuperhatikan sikap si ayah: cuek saja, seolah tak begitu peduli apakah anaknya akan kelelahan atau tidak. Dan kelihatannya cukup bangga pada ketangguhan anaknya – suatu hal yang wajar. Tetap saja, aku bertanya-tanya: bagaimana bisa seorang ayah yang membawa anak sekecil itu memaksa naik bis yang sudah penuh, menempuh perjalanan panjang di malam selarut itu.
Pikiranku jadi tak tenang; usahaku untuk tidur sebentar-sebentar terkalahkan keinginan untuk melirik keadaan bocah itu. Akhirnya tak tahan juga aku melihat bocah kecil duduk memeluk lutut terguncang-guncang di lantai bis. Kucolek bahunya, “Dik, Dik… mau dipangku? Capek kan, duduk begitu?” Dia menggeleng.
Selang beberapa lama, melihat bocah itu masih dalam posisi yang sama padahal aku yang duduk di bangku saja sudah bolak-balik beberapa kali, kucoba lagi, “Dik, Dik… duduk bertiga sini, mau? Gak dipangku kok.” Dia menggeleng.
Ternyata bukan aku seorang yang merasa iba; orang di bangku belakangku pun ikut menawari, yang dijawab dengan gelengan yang sama. Begitulah aku hanya bisa sekali-sekali melongok menengok keadaannya, tanpa daya untuk tidur ataupun menolong. Ketika itulah bayangan skenario lain, yang kurang lebih serupa, berkelebat di benakku…
Seorang Bapa mencolek ringan bahu anak-Nya, “Nak, sini Nak, istirahat sejenak… ini hari Sabat, jangan terus bekerja berat… nanti kau lelah, lalu sakit payah…” Si anak mengedikkan bahu.
“Nak, sini Nak, datang ke rumah-Ku… bicara pada-Ku, ceritakan susahmu, taruh bebanmu di kaki-Ku… Aku akan memberikan kelegaan kepadamu…” Si anak menggeleng.
Diriku, seorang asing, tak mengenal apalagi punya hubungan dengan anak kecil di bis itu, begitu tersita pikirannya oleh kondisi yang dipilih sendiri olah si bocah… Bagaimana dengan Bapa Surgawi yang menciptakan kita. memanggil kita, mengorbankan nyawa demi keselamatan kita? Terlebih lagi pasti tak pernah tenang, tak pernah kenal istirahat mengawasi kita setiap saat, terus berharap kita akan berpaling kepada-Nya…
Yunus 4:10-11
Lalu Allah berfirman: “Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikit pun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?”