“Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya.” (Kejadian 22:10)
Kejadian 22 menceritakan tentang Abraham, seorang sahabat Allah, yang harus menghadapi ujian terberatnya. Allah memerintahkan Abraham untuk membawa Ishak, anak satu-satunya yang ia kasihi, sebagai korban bakaran di tanah Moria. Abraham dengan rela menaatinya, tetapi saat ia mengangkat pisau untuk mengorbankan Ishak, seorang malaikat Tuhan menghentikannya. Abraham telah melewati ujian tersebut. Ia bersedia mengorbankan segalanya, bahkan anak satu-satunya, kepada Allah. Ujian itu membuktikan imannya, sekaligus mendapat sebutan, “bapa orang beriman.”
Sekalipun kita mungkin tidak pernah akan menghadapi ujian sesulit yang dihadapi Abraham, tetap saja kita menghadapi banyak pengujian di dalam kehidupan sehari-hari. Allah menguji kita untuk membantu pertumbuhan rohani, sehingga kita dapat menjadi lebih murni, seperti emas yang telah dimurnikan. Abraham telah membuktikan imannya kepada Allah. Tetapi Allah masih memberikan ujian ini karena Ia ingin agar Abraham mempunyai iman yang sempurna.
Ujian ini tidaklah mudah, bahkan untuk orang seperti Abraham. Anda dapat membayangkan bagaimana ia bergumul di dalam hatinya sepanjang jalan ke Gunung Moria. Haruskah ia mematuhi perintah Allah? Bila tidak mematuhinya, ia akan gagal dalam ujian yang telah Allah berikan kepadanya, dan akan kehilangan berkat-Nya. Tetapi bila mematuhinya, ia akan membunuh anaknya sendiri. Pada akhirnya, Abraham berpegang pada imannya dan percaya kepada Allah. Ketimbang memikirkan kehilangan yang akan dideritanya, ia mengangkat pandangannya kepada Allah. Ia percaya bahwa Allah sanggup membangkitkan Ishak dari kematian (Ibr. 11:19). Dengan melihat melampaui batas pandangan manusia dan berserah diri kepada kehendak Allah, Abraham berhasil dan menjadi teladan iman bagi semua orang Kristen. Abraham mempunyai iman sejati di dalam Allah.
Iman yang sejati merupakan kepercayaan dan keyakinan total di dalam Allah. Itu berarti tidak peduli betapa sulit jalan yang harus kita lalui, kita tetap memahami dan percaya seluruhnya bahwa Allah memimpin dan membimbing langkah kita. Itu berarti melihat melampaui batas pandangan yang dapat kita lihat dengan mata jasmani kita dan mengarahkan pandangan kita kepada Allah. Kita harus berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan biarkan Ia memimpin jalan kita. Kemudian, ketika menghadapi ujian, kita akan berserah kepada kehendak Allah yang lebih baik. Kita akan menjunjung tinggi kehendak-Nya di atas kehendak kita, seperti yang Abraham lakukan ketika ia mengangkat pisau, dan menetapkan pandangan kita pada janji berkat Allah.
Renungan:
Hal-hal tidak alkitabiah apa saja yang sedang menggodamu saat ini?
Langkah-langkah aktif apa saja yang akan kamu lakukan untuk berlari melawan arus-arus itu?