Ia menunggu tujuh hari lamanya sampai waktu yang ditentukan Samuel. Tetapi ketika Samuel tidak datang ke Gilgal, mulailah rakyat itu berserak-serak meninggalkan dia. Sebab itu Saul berkata: “Bawalah kepadaku korban bakaran dan korban keselamatan itu.” Lalu ia mempersembahkan korban bakaran.
Dalam dunia yang serba cepat dan sangat menjunjung tinggi nilai waktu, kesabaran dan menuggu seringkali bukanlah reaksi alami kita menghadapi masalah sehari-hari. Dalam doa-doa rutin, dengan terburu-buru kita memohon agar Allah menuntun kita, dan memecahkan segala masalah kita, mengharapkan damai sejahtera dan kemakmuran dari Dia. Sayangnya, kita jarang sekali menunggu untuk mendengarkan jawaban Allah sebelum kita menutup doa dengan ucapan syukur yang singkat, beberapa ucapan “tolong tuntun saya” dan akhirnya “Amin.”
Seperti Saul, kita percaya pada pemeliharaan Allah, tetapi tidak mempunyai kesabaran. Apabila Saul mau menunggu sebentar lagi, ia tidak akan kehilangan kekuasaannya (1Sam. 13:14), dan yang lebih penting lagi, ia tidak akan kehilangan penyertaan dan kasih Allah. Saat segenap tentara Filistin berkumpul untuk menyerang, dan bangsa Israel mulai terserak-serak, Saul merasa bertambah putus asa mencari pertolongan. Tetapi Allah itu maha kuasa dan dapat mengendalikan alam semesta hanya dengan mengucapkan kata-kata saja. Meskipun misalnya Samuel tidak datang-datang, bangsa Filistin tidak akan mampu melawan Saul yang sabar dan taat. Seperti Musa mendorong bangsa Israel, bahwa Allah menjanjikan, “berkat, apabila kamu mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu” (Ul. 11:27).
Kita tahu pentingnya tuntunan dan perlindungan Allah dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun kita tergesa-gesa dalam bekerja, pergi ke bank, ke pasar, dan segala putaran dan belokan di antaranya. Kita mengharapkan Allah untuk menuntun jalan-jalan kita, tetapi seringkali tidak sabar menghadapi putaran dan belokan kehidupan. Allah telah memetakannya (Ayb. 13:27) – Ia mempunyai waktu-Nya. Kita harus belajar untuk berhenti, mengambil nafas, dan menunggu.
Waktu bersikap egois dan tidak mau berhenti bagi siapa pun juga. Tetapi Allah menghibur kita dengan janji, bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Rm. 8:28). Mengasihi Allah berarti mempercayai kehendak-Nya dan mempersembahkan waktu untuk berdoa dengan tekun menantikan pengungkapan kehendak-Nya yang ilahi. Sebagian besar dari kita putus asa setelah berdoa selama seminggu dalam kesunyian, meyakinkan diri kita bahwa Allah tidak hadir dalam kehidupan kita, dan kembali masuk ke dalam gelombang dunia yang sibuk.
Rasul Paulus mendorong kita, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Flp. 4:6). Dengan berdoa, kita perlu menantikan dengan sabar menunggu suara Allah dan melihat jawaban-Nya. Kadang-kadang Allah mengingatkan kita untuk menambahkan kesabaran dan rasa percaya dalam hiruk pikuk kehidupan kita, karena “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya” (Pkh. 3:1).