Kata mereka kepadaku: “Orang-orang yang masih tinggal di daerah sana, yang terhindar dari penawanan, ada dalam kesukaran besar dan dalam keadaan tercela. Tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar.”
Nehemia 1:3

Setiap kali saya membaca ayat ini, saya tersentuh dengan jawaban Nehemia: “Ketika kudengar berita ini, duduklah aku menangis dan berkabung selama beberapa hari. Aku berpuasa dan berdoa ke hadirat Allah semesta langit” (Neh. 1:4). Tembok yang hancur itu bukan sembarang tembok, tetapi tembok Kota Suci, Yerusalem. Setelah 70 tahun pembuangan sebagai hukuman karena dosa-dosa mereka yang besar, dan akhirnya mereka bertobat, dengan setia Allah mengangkat kembali umat-Nya dan mengembalikan mereka ke Tanah Perjanjian (Yer. 29:10). Setelah itu akhirnya Bait Allah dibangun kembali (Ezra 6:15). Tetapi tembok Kota Suci masih dalam reruntuhan. Sebagai anggota umat Allah, walaupun berada di tanah asing, Nehemia merasakan rasa malu dan pahit yang sama sebagai umat Allah. Tembok itu hancur; begitu juga hatinya.

Nehemia dan saudara-saudara setanah-airnya menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan membawanya ke hadapan Allah, memohon belas kasihan-Nya di dalam doa (Neh. 1:5-11). Mereka tidak berani berpura-pura seakan tidak terjadi apa-apa atau dengan tipu daya mengucapkan puing-puing tembok dengan kata-kata yang indah, padahal kenyataannya kenyataan yang mereka hadapi sungguh genting dan hati umat harus berbalik kepada Allah. Mereka tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti nenek moyang mereka, yang mendirikan tembok tetapi mengapurnya (Yeh. 13:10). Mereka tahu ada yang salah dan menghadapinya bersama-sama dengan air mata dan hati yang hancur (Mzm. 34:18, 51:17). Nehemia menghadapi masalah dengan mencari Allah, bukan satu hari, tetapi sejak bulan Kislew hingga bulan Nisan, selama empat bulan, hingga akhirnya Allah membuka jalan (Neh. 1:1, 2:1 dst).

Nehemia juga menyertakan dirinya sebagai bagian yang menyebabkan keadaan mereka yang pahit. Ia menunjukkan telunjuk kepada dirinya sendiri, “Juga aku dan kaum keluargaku telah berbuat dosa.” (Neh. 1:6). Ia tidak menempatkan dirinya di luar pertanggungjawaban dan hukuman. Ia menganggap dirinya sebagai bagian dalam kelompok orang-orang yang bersalah. Dengan rendah hati, ia mematahkan kecenderungan manusia yang saling menyalahkan orang lain ketika masalah muncul. Ini bukan hanya aib si dia, dia, atau mereka. Tetapi aibnya juga. Sedikit atau banyak, Nehemia tahu dan yakin bahwa ia mempunyai andil dalam keadaan mereka saat itu.

Bagaimanakah kita menghadapi masalah-masalah kehidupan? Benarkah kita tidak punya andil di dalamnya? Apabila kita tidak memulai masalah itu sehingga muncul, apakah tidak mungkin kita telah memperparah masalah itu dengan cara kita bertindak? Bagaimanakah kita menghadapi kelemahan dalam tubuh Kristus? Sebagai bagian dari satu tubuh, atau, sebagai jemari yang terlepas karena rasa benar diri yang menunjuk-nunjuk kepada “mereka” seakan masalah-masalah itu tidak ada hubungannya dengan “saya”?

Kiranya kita belajar dari sikap Nehemia dalam menghadapi tembok-tembok yang hancur dalam hidup kita. Semoga setiap tingkatan dalam gereja dan keluarga, dari yang tertinggi hingga terendah, dapat menghadapi keadaan gereja sejati saat ini, dan turut memikul rasa pahit itu seperti Nehemia, mengakui andil kita akan keadaan itu. Mungkin setelah itu Allah akan berbelas kasihan kepada kita, dan memberikan kemajuan yang berarti dalam membangun tembok-tembok yang hancur di gereja kita.