“Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” (Gal. 3:28)

Adanya denominasi gereja yang menggunakan nama “Gereja Segala Bangsa” (Gesba), membuat beberapa pihak berpikir [lebih serius] tentang apakah ada gereja yang hanya dikhususkan untuk sebagian bangsa; hanya untuk etnis tertentu saja.

Bagaimana memaknai amanat Yesus Kristus, ”Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Mat. 28:19)? Banyak bangsa dengan banyak gereja – amanat Yesus dijalankan dan gereja yang banyak itu pergi hanya kepada orang dari bangsa atau etnis yang sama karena beberapa pertimbangan.

Berbagai Bangsa dalam Satu Gereja

Suatu kali, Yesus pergi ke daerah Tirus. Kedatangan-Nya tidak dapat dirahasiakan. Seorang ibu, yang anak perempuannya kerasukan roh jahat, datang kepada-Nya. Yesus berkata, ”Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” Setelah melewati proses tertentu, akhirnya Yesus mengatasi masalah yang dihadapi ibu tersebut; Ia menyembuhkan anaknya. Matius mencatat bahwa perempuan itu adalah orang Kanaan, sedangkan Markus menyatakan si ibu adalah orang Yunani bangsa Siro-Fenisia (Mrk. 7:26; Mat. 15:22). Patut disyukuri bahwa ucapan Yesus yang dikutip oleh Matius (Mat. 15:24) telah dipahami dengan benar.

Yesus datang untuk memanggil dan memilih orang dari berbagai latar belakang, seperti dicatat oleh Yohanes, ”Engkau layak menerima gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya; karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa” (Why. 5:9).

Pertimbangan beberapa pihak telah mendorong pengelompokan suku dan bahasa ke dalam lebih dari satu denominasi gereja. Gereja di Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, dan beberapa tempat lain, karena satu dan lain hal, cenderung untuk bersekutu dengan kaum yang sama. Mereka tidak menghalangi suku lain untuk datang bergabung, namun umat yang berhimpun condong berbahasa sama, berlatar belakang budaya sama. Setelah waktu yang berjalan cukup lama, hal demikian tampaknya memberikan kenyamanan dalam bersekutu di dalam kasih Yesus. Namun mereka bukanlah gereja suku, sekalipun ada pihak-pihak yang menganggapnya demikian.

Bersaksi kepada orang dengan budaya sama dan bahasa yang juga sama, relatif lebih mudah dilakukan. Karena itulah mengajak insan untuk bergabung dalam suatu perhimpunan dengan adat kebiasaan yang serupa menjadi pilihan utama, menjadi prioritas pertama. Memberitakan Kabar Baik kepada pihak-pihak yang berbeda dalam banyak hal (bahasa, budaya, kuliner, dll), menempati prioritas terakhir di benak sebagian umat Kristen. Sisi praktis acapkali menjadi pertimbangan utama, dan dengan demikian mengesampingkan sisi teologis, di dalam bersaksi. Seorang teman pernah berkata, ”Kalau bisa melakukan yang mudah, untuk apa mengerjakan yang susah.”

Kaya-Miskin dalam Satu Gereja

”Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah imanmu itu kamu amalkan dengan memandang muka. Sebab, jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk, dan kamu menghormati orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya, ”Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini!”, sedang kepada orang yang miskin itu kamu berkata, ”Berdirilah di sana!” atau ”Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!” (Yak. 2:1-3)

Firman Tuhan menyatakan bahwa di setiap zaman senantiasa ada orang-orang miskin, yang sebagian besar di antaranya tentu tidak menolak untuk menjadi orang kaya (Ul. 15:11). Umat yang belum kaya, atau belum juga kaya sekalipun sudah berjuang sekian puluh tahun, pada saat-saat tertentu memang memerlukan uluran tangan dari jemaat yang kaya (baik orang yang memang kaya maupun orang kaya baru). Misalnya pada waktu mereka terkena penyakit tertentu seperti gagal ginjal yang membutuhkan cuci darah seminggu dua kali, atau kanker yang membutuhkan kemoterapi sekian lama. Semua itu membutuhkan dana yang relatif besar untuk jangka waktu yang relatif lama. Situasi demikian dapat dipandang dari dua sisi.

Pandangan pertama menyatakan bahwa orang-orang yang lebih mampu beroleh kesempatan untuk ambil bagian meringankan beban sesama umat Tuhan. Mereka mengingat dorongan Paulus kepada umat di Galatia, ”Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (Gal. 6:2). Barangkali Paulus pernah membaca pengalaman Daud yang pernah dibantu oleh Barzilai dan teman-temannya saat melarikan diri ke timur sungai Yordan akibat kudeta Absalom (2Sam. 17:27-29, 19:32). Kesulitan jemaat lain menjadi kesempatan bagi jemaat yang kaya untuk mengulurkan tangan dan membuka dompet untuk membantu mereka.

Di sisi lain, kesulitan pihak lain bisa dianggap menimbulkan kesulitan dan merupakan beban bagi jemaat kaya. Bila ingin membantu tentu mesti keluar dana, kalau tidak menolong dianggap tidak punya kasih. Pandangan seperti ini secara Alkitabiah tentu saja salah; namun dalam kenyataannya memang ada, bahkan sejak zaman para rasul. Dalam suratnya, Yakobus menulis, ”Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata, ‘Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!’, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?” (Yak. 2:14-16).

Golongan yang disinggung oleh Yakobus itu rupanya lebih suka mendukung orang-orang miskin dengan doa, bukan dengan dana. Mereka lebih suka bicara dan tidak melakukan aksi nyata. Sayangnya, jenis yang seperti ini cukup banyak di sekitar kita.

Kesetiakawanan sosial bisa dimulai dari gereja di mana kita beribadah, kelak melebar kepada pihak-pihak lain. Syukurlah, banyak umat yang memahami bahwa berkebaktian tidak sama dengan nonton bioskop, yang penontonnya langsung bubar begitu film usai.

Majikan-Karyawan dalam Satu Gereja

Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. Apa pun juga yang kamu perbuat [untuk tuanmu], perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Hai tuan-tuan, berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di surga.” (Kol. 3:22, 23, 4:1)

Gereja sebagai suatu komunitas, membuka kemungkinan adanya majikan dan karyawan/wati beribadah di gereja yang sama.

Seperti yang Paulus nyatakan kepada umat di Galatia, semua umat manusia yang telah lahir baru menempati posisi yang setara di hadirat Allah. Oleh karena iman di dalam Yesus Kristus, kita semua adalah anak-anak Allah (Gal. 3:26). Tentu saja saat di kantor, di pabrik, di tempat kerja, ada perbedaan antara majikan dan pekerja. Namun dalam konteks bergereja, kita adalah saudara seiman karena Allah adalah Bapa bagi semua umat. Relasi yang dikembangkan di gereja pun tentu dalam bingkai Keluarga Besar Allah, bukan dalam kaitan atasan dan bawahan.

Pada saat seorang umat yang di kantor adalah seorang karyawan ditetapkan menjadi penatua di gereja, semua pihak, termasuk majikan dari karyawan itu, patut mengingat petunjuk Paulus, ”Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar” (1Tim. 5:17).

Status di kantor mungkin saja berlainan dengan jabatan di dalam gereja (ref. 1Tim. 3:1). Kedudukan di perusahaan banyak dipengaruhi oleh faktor materi dan pendidikan, sedangkan jabatan di gereja lebih banyak karena moralitas dari umat yang bersangkutan. Ini bisa dilihat dari syarat-syarat bagi penatua dan diaken dalam 1 Timotius 3:2-13.

Hubungan tuan dan hamba, majikan dan karyawan, senantiasa mempertimbangkan masalah ruang dan waktu. Pada tempat dan saat tertentu, setiap pekerja mesti tunduk kepada tuannya, hal mana telah diatur dalam perjanjian kerja. Relasi ini tentu tidak akan dibawa ke dalam kehidupan bergereja, di mana aturan yang berlaku adalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yaitu Firman Tuhan. Untuk itu jangan salah tempat dan salah waktu!

Filemon dan Onesimus dalam Satu Gereja

Gereja, tempat berkumpulnya banyak orang dengan berbagai latar belakang, memungkinkan bertemunya jemaat model Filemon dan Onesimus.

Paulus mengirim surat kepada Filemon, ”Mengajukan permintaan kepadamu mengenai anakku yang kudapat selagi aku dalam penjara, yakni Onesimus – dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna baik bagimu maupun bagiku. Dia kusuruh kembali kepadamu – dia, yaitu buah hatiku … Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya, bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih daripada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan” (Flm. 1:10-12, 15-16).

Firman Tuhan, ”Mari, pergilah ke jalan yang bernama Jalan Lurus, dan carilah di rumah Yudas seorang dari Tarsus yang bernama Saulus. Ia sekarang berdoa, dan dalam suatu penglihatan ia melihat, bahwa seorang yang bernama Ananias masuk ke dalam dan menumpangkan tangannya ke atasnya, supaya ia dapat melihat lagi.” Jawab Ananias, ”Tuhan, dari banyak orang telah kudengar tentang orang itu, betapa banyaknya kejahatan yang dilakukannya terhadap orang-orang kudus-Mu di Yerusalem. Dan ia datang ke mari dengan kuasa penuh dari imam-imam kepala untuk menangkap semua orang yang memanggil nama-Mu” (Kis. 9:10-14). Sikap Ananias mewakili sebagian umat kala mengetahui ada seorang penjahat yang bertobat.

Sesungguhnya gereja adalah tempat berkumpulnya [mantan] orang-orang jahat; orang-orang yang memerlukan kasih Yesus Kristus. Markus mencatat perkataan Tuhan Yesus, ”Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Mrk. 2:17). Banyak orang yang cepat dan sering lupa, bahwa dirinya dulu adalah orang jahat, umat berdosa. Kini, saat melihat dan mengetahui ada orang jahat berbalik kepada Allah, muncul keraguan dan ketidakyakinan bahwa pertobatan orang itu tidak sungguh-sungguh, kurang mantap. Pura-pura saja, hanya bersandiwara untuk tujuan tertentu. Dan zaman sekarang ini ada cukup banyak Ananias di berbagai denominasi gereja.

Alkitab tidak menceritakan bagaimana akhir hidup Onesimus, apakah setia ikut Yesus atau tidak; catatan yang pasti adalah perihal Saulus yang belakangan disebut Paulus. Dalam suratnya yang terakhir, Paulus berkata, ”Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2Tim. 4:6-7). Petrus mengenang Paulus, demikian, ”Anggaplah kesabaran Tuhan kita sebagai kesempatan bagimu untuk beroleh selamat, seperti juga Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya” (2Ptr. 3:15). Padahal Petrus dulu pernah ditegur oleh Paulus di hadapan banyak orang (Gal. 2:11-14).

Kabar Baik dibutuhkan oleh orang-orang yang belum baik; oleh mereka yang masih berperilaku buruk. Injil diberitakan bukan hanya mempertimbangkan sisi praktis dan ekonomis, tapi lebih mementingkan sisi teologis. Mari perhatikan apa yang dilihat oleh Yohanes: ”Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka” (Why. 7:9).

Pdt. Dede Godjali

Manna 65