Aku Dapat Tersenyum Kembali
Suatu pagi di awal Oktober 1998, seperti biasa saya berangkat ke kantor bersama kakak saya. Di perjalanan kami mampir dulu ke salah satu kedai bakmi di daerah Mangga Besar untuk sarapan. Entah kenapa bakmi yang biasanya enak, hari itu sama sekali tidak ada rasanya, hambar. Anehnya beberapa saat kemudian bakmi itu jadi ada rasanya, enak seperti biasanya. Saya merasa heran, tidak tahu apa penyebabnya. Sampai di kantor, mata kanan saya terasa perih dan setelah dilihat ternyata berwarna merah. Saya beri obat, tapi tetap perih. Karena itu saya menyuruh orang untuk membeli kelapa karena saya pikir mungkin saya keracunan makanan atau alergi terhadap sesuatu (sate kambing yang semalam, misalnya). Waktu itu muka saya sudah terasa baal (mati rasa). Setelah minum air kelapa pun tidak juga membaik. Akhirnya mata yang perih dan rasa tidak enak itu terlupakan karena kesibukan di kantor.
Malamnya saya menceritakan keadaan saya kepada istri saya, dan kami berdoa bersama-sama, memohon Tuhan menyembuhkan penyakit saya. Keesokan harinya mata saya masih merah dan perih. Lalu istri saya melihat keganjilan pada wajah saya. Saat tersenyum, bibir saya miring aneh sekali. Begitu juga saat tertawa, bibir saya miring karena mulut sebelah kanan tidak bergerak. Kalau mengerutkan kening, yang berkerut hanya kening kiri, kening kanan tidak. Ternyata mata kanan saya juga tidak ikut terpejam saat saya memejamkan mata. Tahulah saya bahwa separuh kepala saya terserang stroke. Otot-otot bagian kanan wajah saya tidak dapat digerakkan.
Saya sangat terkejut dan merasa amat terpukul. Kehidupan macam apa yang harus saya jalani dengan kondisi seperti ini? Tersenyum terlihat miring, tertawa terlihat miring, hanya sebelah lidah yang dapat merasakan makanan (kalau makan jadi sebentar ada rasa, sebentar tidak; sungguh tidak enak), tidak dapat berpikir agak lama karena jika dipaksakan kepala akan terasa berat dan pusing (mungkin karena otak sebelah kanan juga tidak berfungsi), mata lelah karena 24 jam tidak dapat dipejamkan sehingga tubuh ikut menjadi lelah. Kepala saya benar-benar terbagi menjadi dua bagian; yang sebelah kiri berfungsi normal, yang sebelah kanan lumpuh.
Cobaan ini begitu berat. Rasanya hidup saya sudah berakhir. Walaupun saya berusaha meyakinkan istri saya bahwa saya tidak apa-apa dan memintanya agar tenang saja karena Tuhan pasti menyembuhkan saya, sebenarnya hati saya amat kuatir dan sama sekali tidak siap menghadapi kenyataan ini. Bagaimana nasib pekerjaan saya sebagai agen asuransi kendaraan bermotor yang mengharuskan saya untuk sering bertemu langsung dengan klien? Bagaimana kalau para klien itu mengetahui penyakit saya? Bagaimana nanti reaksi teman-teman saya, apakah mereka akan tetap berteman dengan saya atau akan menjauhi saya? Saya benar-benar takut dan tidak siap menghadapi reaksi orang lain. Jadi saya berusaha menutupi keadaan saya dengan menarik diri dari pergaulan, dan dalam kondisi yang tak terhindarkan misalnya diajak makan siang oleh teman yang sudah datang ke kantor atau menemani anak saya menghadiri acara ulang tahun sepupunya, saya bicara seperlunya saja, tidak berani tersenyum apalagi tertawa. Menghindari mereka yang mengajak bicara dan menahan diri untuk tidak tertawa jika ada yang lucu bukanlah perkara yang mudah. Saya merasa begitu lelah dan hidup saya terasa amat panjang dan sulit.
Saat itu saya baru merasakan betapa bahagianya memiliki kepala yang berfungsi normal. Betapa enaknya dapat tersenyum dan tertawa dengan bebas. Betapa nikmatnya dapat memejamkan dan mengistirahatkan mata, dapat merasakan secara utuh makanan yang enak, dapat memiliki otak yang sempurna. Tuhan sungguh baik, memberi kita panca indera dan anggota tubuh yang lengkap untuk menikmati kehidupan ini. Berkat Tuhan sungguh besar dan indah. Tapi… Akankah saya sembuh dan normal kembali? Dapatkah kepala saya berfungsi kembali seperti sedia kala? “Tuhan, aku ingin sembuh!” hati saya menjerit, “bagaimana aku sanggup menghadapi pencobaan ini? Ya Tuhan, berilah aku kekuatan!”
Setiap malam kami berdoa kepada Tuhan, dan pukul 3.00 paginya saya berdoa seorang diri supaya Tuhan menyembuhkan penyakit saya. Setiap kali selesai berdoa, hati saya menjadi tenang kembali. Dan setiap kali kepala saya terasa pusing atau hati saya takut, saya berdoa agar Tuhan memberikan kekuatan dan menyembuhkan saya. Saya percaya bahwa Tuhan dapat menyembuhkan saya kalau Ia berkenan, walaupun saya tidak tahu bagaimana caranya. Saya pasrah dan berserah kepada Tuhan.
Keluarga dan saudara saya menyarankan agar saya berobat ke dokter, tapi saya tidak mau. Saya hanya mengkonsumsi ramuan tradisional Cina yang saya beli di Kota. Saya percaya bahwa Tuhan dapat menyembuhkan saya seperti Ia telah menyembuhkan orang buta, tuli, atau lumpuh di Alkitab. Obat hanyalah sarana.
Demikianlah hari-hari di bulan Oktober 1998 itu saya lewati, waktu serasa berjalan begitu lama dan panjang. Saya berdoa dan berpuasa setiap hari. Dan setiap pagi, begitu bangun tidur saya langsung menuju cermin—memejamkan mata, mengerutkan kening, tersenyum—untuk melihat apakah ada perubahan pada wajah saya. Walaupun hari demi hari berlalu tanpa ada kemajuan, saya tetap berdoa agar Tuhan Yesus menjamah saya. Saya percaya bahwa Tuhan mengasihi anak-anak-Nya dan pasti mengabulkan doa saya.
Sekitar tanggal 20-an, waktu bercermin seperti biasa, saya melihat ada sedikit gerakan di bibir kanan saya waktu tersenyum, dan ada sedikit kerutan di kening kanan waktu mengerutkan kening. Saya merasa sangat bersukacita dan bersyukur kepada Tuhan atas kesembuhan yang telah Ia berikan. Sejak hari itu kepala saya makin mendekati fungsi normalnya dan mulai jarang pusing. Akhirnya pada awal November 1998, tepatnya sebelum kebaktian syukur atas rumah kami di Citra Raya, saya sudah sembuh total.
Dulu saya tidak pernah bersyukur atas panca indera sehat yang diberikan Tuhan karena menganggap itu adalah hal yang wajar dan biasa-biasa saja. Sekarang saya menyadari bahwa panca indera yang dapat berfungsi normal adalah suatu berkat yang diberikan oleh Tuhan kepada kita setiap hari, berkat yang jauh lebih berharga daripada harta kekayaan.
Terima kasih, Tuhan, atas kesembuhan dan panca indera yang baik yang telah Kauberikan. Terpujilah nama Tuhan Yesus sampai selama-lamanya. Amin.
Johny Setiawan – Jakarta, Indonesia