Sepanjang hidupnya, Yakub tiga kali mendirikan tugu. Tugu ini dibangun di tempat-tempat yang berbeda—Betel, Mizpa, dan di dekat Betlehem. Tugu-tugu ini bukan hanya untuk memperingati kasih karunia Allah, tetapi yang penting melambangkan awal baru bagi Yakub. Yakub mendirikan tugu pertama sebagai pelarian dari rumah, yang kedua sebagai orang buangan yang ingin pulang, dan yang ketiga sebagai orang yang baru saja menjadi duda. Ketiga peristiwa ini memperlihatkan perkembangan kehidupan Yakub, yang memberikan pengajaran berharga bagi perjalanan iman kita.

 

1) TUGU DI BETEL: MENINGGALKAN RUMAH (KEJ. 28: 10-22)

Yakub meninggalkan rumah karena pilih kasih yang dilakukan oleh orangtuanya, Ishak dan Ribka. Ishak lebih menyayangi Esau, kakak Yakub, sedangkan Ribka menyayangi Yakub. Hal ini menyebabkan perebutan warisan antara Yakub dan Esau. Pertama, Yakub menukar kacang merah dengan hak kesulungan kakaknya. Kemudian, ketika Ishak ingin memberkati Esau, Ribka menipu Ishak sehingga malah memberkati Yakub. Jadi kasih sayang buta Ishak dan Ribka terhadap anak kesayangan masing-masinglah yang mengakibatkan pergumulan di antara kedua bersaudara itu.

Pada akhirnya, baik Yakub dan Esau sama-sama menderita. Esau, yang marah karena kehilangan berkat ayahnya, memutuskan untuk membunuh Yakub. Untuk menyelamatkan Yakub, Ribka menyuruh Yakub pergi sampai kemarahan Esau mereda. Selain itu, Ishak juga ingin Yakub pergi mencari istri dari antara sanak saudara Ribka.

Oleh karena itu, Yakub meninggalkan rumah dan tiba di Betel di mana ia memutuskan untuk bermalam. Pada malam itu, Allah menampakkan diri kepada Yakub; ia melihat sebuah tangga dan malaikat-malaikat Allah turun naik di atasnya. Allah, yang berada di samping tangga, memberkati dan berjanji kepada Yakub:

Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, ke manapun engkau pergi, dan Aku akan membawa engkau kembali ke negeri ini, sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang Kujanjikan kepadamu.(Kej. 28:15)

Ketika Yakub bangun dari tidurnya, berkatalah ia dengan takjub: “Sesungguhnya TUHAN ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya” (Kej. 28:16). Ini sungguh merupakan pengalaman iman yang baru dan mendalam bagi Yakub sehingga ia mengambil batu yang menjadi alas tidurnya dan mendirikan tugu. Kemudian ia menuangkan minyak ke atasnya, menyucikan dan menamainya Betel—“rumah Allah”. Lalu ia bernazar:

“Jika Allah akan menyertai dan akan melindungi aku di jalan yang kutempuh ini, memberikan kepadaku roti untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai, sehingga aku selamat kembali ke rumah ayahku, maka TUHAN akan menjadi Allahku. Dan batu yang kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala sesuatu yang Engkau berikan kepadaku akan selalu kupersembahkan sepersepuluh kepada-Mu.” (Kej. 28:20-22)

Tidaklah sulit untuk melihat mengapa Yakub begitu terpesona oleh pengalaman yang luar biasa ini. Ia sudah dididik untuk takut akan Allah. Tetapi di rumah yang nyaman, Allah hanyalah sosok yang samar. Sekarang dirinya adalah buronan ketakutan yang membutuhkan kepastian. Dan Allah memberikan hal itu kepadanya dengan cara yang spektakuler. Jadi Allah bukan hanya ada di rumah, Allah bersama dengan dia di tempat ini! Seketika saja, Allah ayahnya jadi lebih menyerupai Allahnya sendiri.

Tugu Betel ini adalah tugu iman. Bukan hanya menandai awal pengalaman Yakub dengan Allah, tugu ini akan terus menjadi lambang perjanjian seumur hidupnya dengan Sang Pencipta. Di masa-masa hidupnya kemudian, setiap kali Yakub menghadapi kesulitan, Allah akan mengingatkannya pada tugu yang ia dirikan di Betel ini.

Setelah itu, Yakub tinggal bersama pamannya, Laban, selama dua puluh tahun. Pada waktunya, Yakub menyadari bahwa Laban tidak lagi sebaik dulu terhadapnya. Allah pun menyuruh Yakub pergi (Kej. 31:1-3). Tetapi ketika Yakub sudah dekat rumah, putrinya, Dina diperkosa oleh Sikhem, seorang pangeran Hewi (Kej. 34). Dua anak Yakub yang marah karena peristiwa tersebut, membalas dendam dengan membunuh semua laki-laki di kota itu. Hal ini menempatkan seluruh keluarga Yakub dalam bahaya karena orang Kanaan dan orang Feris, penduduk asli wilayah tersebut, berusaha membalas dendam. Pada saat kritis ini, Allah menampakkan diri.

Bersiaplah, pergilah ke Betel, tinggallah di situ, dan buatlah di situ mezbah bagi Allah, yang telah menampakkan diri kepadamu, ketika engkau lari dari Esau, kakakmu. (Kej. 35: 1)

Sekali lagi, ketika Yakub hampir kehilangan daya, Allah ada di sana. Allah mengingatkannya pada tugu di Betel, bahkan memperkenalkan diri sebagai Allah yang di Betel untuk mengingatkan Yakub pada pengalamannya di sana. Bagi Yakub, tugu Betel ini tetap ada bersamanya sepanjang hidupnya. Di masa senjanya, Yakub menceritakan kepada Yusuf anaknya bagaimana Allah yang ia jumpai di Luz ini selalu menyertainya.

Maka, tugu yang didirikan Yakub di Betel ini merupakan tugu imannya, tugu yang tak dapat dimusnahkan dan tugu yang mendukung Yakub seumur hidupnya, membuatnya dapat menyembah Allah. Penting juga bagi kita untuk memiliki tugu iman seperti ini, tugu yang mewakili kepercayaan awal kita, iman kita yang sejati. Ini akan menjadi tugu yang mewakili awal dan akhir kita.Ketika kita menghadapi jalan buntu, kita perlu memikirkan tugu ini dan ingat bahwa ujian iman itu sementara saja. Kenanglah bagaimana kita pertama kali menjadi percaya dan merasa nyamanlah karena tugu iman yang telah kita dirikan akan mengikuti kita seumur hidup kita.

Yang penting, sekalipun tugu itu menyertai kita, kita harus tinggal bersama tugu ini seumur hidup. Artinya kita harus terus berpegang pada keyakinan dan kasih kita yang semula sampai pada akhirnya. Kita harus ingat bagaimana kita pertama kali memutuskan untuk melayani Kristus dan mempertahankan tekad ini. Hanya dengan begitu kita dapat memiliki bagian dalam Kristus.

Karena kita telah beroleh bagian di dalam Kristus, asal saja kita teguh berpegang sampai kepada akhirnya pada keyakinan iman kita yang semula. (Ibr. 3:14)

 

2) TUGU DI MIZPA: PERPISAHAN (KEJ. 31:45-50)

Setelah dua puluh tahun di tempat Laban pamannya, Yakub tahu sekaranglah waktunya ia dan keluarganya pergi. Akan tetapi, ia tidak memberitahukan kepergian mereka itu kepada Laban. Ketika Laban tahu, ia langsung mengejar mereka. Setelah berhasil menyusul menantunya, Laban menuduh Yakub melakukan penculikan dan pencurian (Kej. 31:26, 30). Bertekad untuk membuktikan dirinya tidak bersalah, Yakub memperbolehkan Laban menggeledah seluruh miliknya. Meskipun Rahel, istri Yakub, memang mencuri berhala keluarga, ayahnya tidak menemukannya.

Merasa telah dituduh secara tidak adil, Yakub kehilangan kesabaran. Rasa frustrasi yang sudah dipendam selama dua puluh tahun pun meluap ke permukaan:

Apakah kesalahanku, apakah dosaku, maka engkau memburu aku sehebat itu? … Selama dua puluh tahun ini aku bersama-sama dengan engkau; domba dan kambing betinamu tidak pernah keguguran dan jantan dari kambing dombamu tidak pernah kumakan.Yang diterkam oleh binatang buas tidak pernah kubawa kepadamu, aku sendiri yang menggantinya; yang dicuri orang, baik waktu siang, baik waktu malam, selalu engkau tuntut dariku.Aku dimakan panas hari waktu siang dan kedinginan waktu malam, dan mataku jauh dari tertidur. (Kej. 31:36-40)

Yakub bukanlah anak kaya manja yang baru tahu bahwa pekerjaan menggembala itu terlalu sulit baginya. Tetapi Laban, pamannya sendiri, sudah memanfaatkannya di luar batas. Ia jarang sekali punya waktu untuk mengistirahatkan jasmani atau menenangkan pikiran. Laban bahkan menipunya untuk mengabdi selama empat belas tahun demi menikahi wanita yang dicintainya, dan enam tahun lagi demi memperoleh kawanan domba. Dalam prosesnya, Laban mengganti upah Yakub berkali-kali.

Karena semua yang diucapkan Yakub benar adanya, Laban hanya bisa menjawab dengan lemah, “Perempuan-perempuan ini anakku…” (Kej. 31:43). Untuk menebus kesalahan, Laban pun mengadakan perjanjian dengan Yakub. Untuk mengesahkan perjanjian itu, Yakub mengambil batu dan mengaturnya sebagai tugu. Laban menamainya “Yegar Sahaduta”, yang berarti “timbunan saksi”. Laban ingin memastikan bahwa anak-anak perempuan dan cucu-cucunya aman, dan menyuruh Yakub untuk setia kepada istri-istrinya (Kej. 31:50). Laban juga tidak ingin ada pertengkaran lagi di antara mereka dan mengusulkan agar tugu itu digunakan sebagai perbatasan antar kedua wilayah mereka (Kej. 31:52). Dengan kata lain, tugu ini memisahkan Yakub dan Laban; Yakub sekarang bisa benar-benar membangun rumah tangganya sendiri. Dia bukan lagi pekerja atau perantauan di bawah perlindungan Laban.

Lebih jauh lagi, tempat itu akan disebut “Mizpa” yang berarti “berjaga-jaga” dan “TUHAN menjadi saksi kita”.

TUHAN kiranya berjaga-jaga antara aku dan engkau,apabila kita berjauhan. (Kej. 31:49)

Bagi Yakub, tugu itu lebih dari sekadar pembatas wilayah; ini adalah tanda yang memisahkan keberhasilan dengan kegagalan. Sebagaimana Laban sendiri mengakui, ia bisa saja mencelakai Yakub. Seandainya Allah tidak campur tangan untuk melindungi Yakub, Laban mungkin sudah merampas semua kepunyaan Yakub (Kej. 31:29).Yakub mengerti bahwa kesejahteraannya adalah akibat langsung dari pemeliharaan Allah (Kej. 31:42). Seandainya Allah tidak menampakkan diri kepada Laban, dia pasti harus pergi dengan tangan hampa.

Oleh karena itu, keberhasilan Yakub benar-benar terletak pada jenis tugu yang ia dirikan antara Laban dan dirinya, sebagaimana terungkap dalam namanya. Keberhasilan dan kegagalan memiliki peluang yang sama untuk terjadi. Seandainya Yakub tidak mencari Allah sebagai saksi, ia mungkin sudah kehilangan seluruh perolehannya; ia harus pulang dengan tangan hampa.

Pemeliharaan Allah terhadap Yakub adalah pemenuhan janji-Nya kepada Yakub. Di Betel, Allah memberitahu Yakub bahwa Dia akan menyertainya. Jadi ketika Yakub diperlakukan tidak adil oleh Laban, Allah merebut kembali jatah Yakub untuknya. Tanpa pertolongan Tuhan, Yakub akan meninggalkan tempat Laban sebagai orang yang gagal.

Karena itu, tugu yang Yakub dirikan di Mizpa mewakili penjagaan dan penghakiman Allah. Allah menolong Yakub dan menyertainya karena dia adalah orang pilihan Allah yang istimewa (Yes. 41:8, 12-13). Hari ini, Tuhan juga mengawasi dan menjaga kita, para keturunan rohani Abraham. Meskipun kita menghadapi banyak ketidakadilan dalam hidup, segalanya akan adil di Mizpa; kita dapat menemukan penghakiman Allah di sana. Sekalipun kita mengalami kerugian, Tuhan akan memberikan kompensasi.

Mengetahui hal ini, kita harus mendefinisikan kembali “keberhasilan” dalam hidup. Keberhasilan bukanlah tentang menikmati berkat atau kekayaan materi. Harta yang jauh lebih penting adalah hadirat Tuhan, sebab jika Tuhan tidak tinggal bersama kita, kita bisa kehilangan segalanya dalam sekejap. Yakub tahu dengan sangat jelas bahwa kalau bukan karena Allah, ia pasti gagal. Kita juga harus memiliki kesadaran ini—hanya dengan hadirat Tuhan yang terus-meneruslah hidup kita dapat benar-benar berhasil.

Nama Yakub berarti “mencengkeram” dan di bagian pertama hidupnya, Yakub merencanakan, menipu, dan mencengkeram untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Tetapi ia kehilangan semua yang diperolehnya. Hanya pemberian Allahlah yang benar-benar menjadi miliknya. Kita tidak boleh menggunakan kedua tangan kita hanya untuk mencengkeram harta duniawi, mengira inilah ukuran mutlak keberhasilan. Sebaliknya, kita harus ingat akan tugu di Mizpa dan pelajaran berharga bahwa keberhasilan sejati hanya dapat dicapai jika Tuhan beserta kita.

 

3) TUGU DI BETHLEHEM: KEMATIAN ORANG-ORANG TERKASIH (KEJ. 35: 16-20)

Tugu terakhir ada di Betlehem. Tugu ini menandai periode sedih dalam hidup Yakub, karena istrinya tercinta meninggal sebelum dirinya. Yakub mendirikan tugu di makam Rahel untuk mengingat tempat ia meninggal. Ia risau karena tidak bisa mengubur istrinya dengan layak. Dua orang lain yang dekat dengan Yakub juga meninggal—Debora, inang pengasuh Ribka (Kej. 35:8), dan Ishak, ayah Yakub (Kej. 35:29). Malah, istrinya yang lain, Lea, sudah meninggal lebih dulu. Bagi Yakub, semua ini adalah sumber kepedihan; karenanya, makam dan tugu adalah caranya untuk mengingat.

Kita semua pernah mengalami masa-masa penuh kesedihan mendalam seperti itu. Tetapi ini adalah bagian dari kehidupan—ada waktu untuk menangis dan ada waktu untuk tertawa (Pkh. 3:4).Ada saat-saat bahagia, tetapi juga ada saat-saat sedih. Kita menikmati rasa pemenuhan dari pekerjaan dan keluarga, tetapi kita sedih ketika orang-orang yang kita kasihi meninggal sebelum kita. Ada juga waktu untuk lahir dan waktu untuk meninggal (Pkh. 3:2). Kita tidak akan berada di dunia ini selamanya. Tak peduli seberapa tinggi karir kita dan seberapa banyak milik kita, pada akhirnya yang kita dapatkan hanyalah “tugu”; batu nisan dan plakat bagi kerabat kita untuk mengingat bahwa kita dulu pernah hidup. Tetapi seiring dengan generasi yang satu datang dan yang lainnya pergi, akankah kita masih diingat oleh tiga atau lebih generasi berikutnya?

Oleh karena itu, yang terpenting bukanlah seberapa sibuk kita ketika kita masih hidup, tetapi untuk apa kita sibuk. Untuk siapakah kita berjerih lelah? Jika kita tidak berjerih lelah untuk Yesus, maka batu nisan yang akan kita peroleh pada akhir hidup kita tidak akan terlalu berharga. Sebaliknya, jika kita berjerih lelah untuk Yesus, kematian kita akan penuh makna.

Untuk apa dan demi siapa kita berjerih lelah—inilah pertanyaan kunci untuk senantiasa kita renungkan; sama pentingnya, inilah kesempatan yang harus kita ambil sebelum meninggal.

 

KESIMPULAN

Meninggalkan rumah, kembali dari pengasingan, dan kematian—inilah masa-masa penting yang ditandai oleh tiga tugu dalam kehidupan Yakub. Pada akhirnya, yang terpenting adalah tugu iman, yaitu, hadirat Allah dalam hidup Yakub dari awal sampai akhir.

Kita juga mungkin memiliki banyak tonggak dalam perjalanan hidup dan iman kita. Yang terpenting, kita semua harus berjuang untuk memiliki tugu Allah dalam hidup kita. Hanya dengan demikian kita dapat melihat wajah Tuhan.