Kumpulan Renungan Sauh Bagi Jiwa yang ditulis oleh Para Pendeta dan Jemaat Gereja Yesus Sejati di Indonesia
6. Semoga Engkau Baik-Baik Saja
“Saudaraku yang kekasih, aku berdoa, semoga engka baik-baik dan sehat-sehat saja dalam segala sesuatu, sama seperti jiwamu baik-baik saja” (3 Yohanes 1:2)
Ucapan salam “bagaimana kabarnya” sering diutarakan saat kita berjumpa dengan orang lain–baik itu teman, sanak saudara ataupun rekan kerja–dengan maksud untuk menunjukkan keakraban. Meskipun terkadang salam tersebut sering disalahgunakan untuk sekadar basa-basi, salam tersebut sesungguhnya memiliki tujuan untuk mengetahui kondisi yang dialami oleh lawan bicara.
Dalam Perjanjian Baru, terdapat contoh tentang seorang penatua yang memberikan salamnya kepada seorang saudara yang dikasihinya, yaitu Gayus. Di dalam iman, sang penatua menyebut Gayus sebagai saudaranya yang kekasih (3Yoh 1:1). Hal ini mengajarkan kita pada hari ini bahwa meskipun jabatan di dalam rumah Tuhan merupakan sebuah tugas pelayanan, hubungan antar rekan sekerja dan jemaat adalah hubungan persaudaraan. Baik pengurus, aktivis, guru maupun murid dan jemaat–semuanya adalah keluarga di dalam Tuhan.
Sewaktu saya kuliah, ada seorang kakak senior yang sudah menganggap juniornya sebagai adik sendiri. Hubungan mereka sudah selayaknya saudara kandung. Sebaliknya, saat di gereja, justru sering kali kita hanya menganggap orang-orang yang kita kenal hanya sebagai teman saja, bukan sebagai saudara. Kiranya kita dapat meneladani semangat sang penatua dalam surat 3 Yohanes untuk mempererat hubungan antar saudara-saudari seiman sebagai satu keluarga besar dalam Kristus.
Kemudian, dalam ayat 4, sang penatua merujuk pada jemaat yang bersama-sama dengan Gayus sebagai “anak-anakku.” Meskipun kata “anak” dalam bahasa Yunani mengacu pada keturunan ataupun pada anak kecil secara usia, kata tersebut dalam Alkitab juga digunakan untuk merujuk pada keakraban dan kedekatan hubungan antar saudara-saudari seiman seperti layaknya hubungan keluarga kandung.
Apakah kita sudah memiliki kedekatan hubungan yang begitu akrab antar saudara-saudari seiman di gereja? Sering kali terhadap jemaat yang lebih tua usianya, kita merasa sungkan memberi masukan kepada mereka dengan alasan, “Tidak enak hati, kan bukan orang tua saya;” atau kepada jemaat usia kanak-kanak atau remaja, kita merasa enggan menegur mereka dengan alasan, “Toh bukan anak saya, kenapa saya yang harus menegur?” Namun, dari ucapan salam sang penatua, kita mau belajar bahwa saudara-saudari seiman perlu kita perhatikan–baik menghibur atau menegur–seperti layaknya anggota keluarga kandung kita, sebab kita semua adalah satu keluarga besar di dalam Tuhan.
Selain itu, dalam ayat 2, sang penatua menyampaikan doanya, “Semoga engkau baik-baik dan sehat-sehat saja.” Dalam bahasa asli, kalimat tersebut mengandung sebuah keingintahuan dari si penanya, bagaimanakah kesehatan lawan bicaranya atau apakah ia sedang berada dalam kondisi selamat dan aman secara jasmani maupun rohani. Dengan kata lain, ucapan salam yang disampaikan sang penatua bukanlah sekadar basa-basi, melainkan ia peduli dengan keadaan jasmani Gayus.
Demikian pula halnya, pada hari ini, dalam membangun hubungan dengan sesama, perlu dilakukan dengan kepedulian yang tulus. Kadangkala, di gereja, ketika banyak orang lalu-lalang, mungkin kita merasa risih dan repot jika harus menyalami dan memberi senyuman kepada orang-orang yang melintas di hadapan kita. Renungkanlah sejenak, bukankah mereka adalah saudara-saudari kita dalam Tuhan? Sesama warga negara sorgawi? Domba-domba Tuhan yang mungkin sedang sakit, luka, terjatuh dan membutuhkan perhatian? Tatapan mata yang lembut dan senyuman yang tulus yang diberikan saat kita menyapa satu dengan yang lain sungguh memberikan kehangatan dan penghiburan tersendiri dalam hati.
Kiranya ucapan salam yang disampaikan sang penatua dapat menjadi teladan tersendiri bagi kita untuk saling menyapa, memperhatikan, mendoakan, dan membantu antar saudara-saudari seiman di dalam satu keluarga besar Kristus. Amin.