Hidup Yang Lebih Berlimpah (Bagian 1): KEDAMAIAN DAN HARAPAN
Berdasarkan khotbah oleh Raymond Chou—San Jose, California, AS
Masyarakat membombardir kita dengan banyak prinsip dan filosofi tentang bagaimana menjalani kehidupan yang kaya dan memuaskan. Banyak orang berpikir bahwa jawabannya terletak pada karier yang menguntungkan, sehingga mereka mendorong kita untuk bekerja keras hingga mencapai kesuksesan, menemukan panggilan hidup, dan mengubah dunia. Yang lain percaya bahwa keluarga adalah yang utama, dan menganjurkan agar kita mengorbankan segalanya untuk mengasuh anak-anak kita dan memberi mereka masa kecil yang sempurna seperti yang ada dalam buku bergambar. Namun ada pula yang mempromosikan gaya hidup alternatif dan mandiri, menyarankan agar kita hidup pada saat ini dan mengejar kebahagiaan, membebaskan diri dari tanggung jawab keluarga, pekerjaan tradisional, dan kepemilikan fisik untuk memaksimalkan waktu dan uang untuk bepergian dan menambah pengalaman.
Pendekatan-pendekatan ini menjanjikan kehidupan berkelimpahan, namun pengorbanan besar yang mereka lakukan sering kali membuat janji tersebut tidak tercapai. Misalnya, mereka yang menganggap uang adalah jaring pengaman yang sempurna memaksakan diri hingga mencapai batas fisik dan mental untuk menambah saldo bank. Atau mereka secara obsesif memperhatikan setiap sen yang mereka belanjakan meski mendapat upah yang lumayan. Dalam prosesnya, mereka kehilangan hubungan, kesehatan dan kesejahteraan, dan bahkan kehidupan rohani mereka. Apakah orang-orang seperti itu benar-benar menikmati kelimpahan?
Tuhan Yesus Kristus pernah menyatakan, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10b). Sebagai umat Kristen, kita tahu bahwa Gembala yang Baik menyerahkan nyawa-Nya agar kita dapat memperoleh akses terhadap kehidupan kekal setelah kematian. Namun bahkan dalam kehidupan kita di bumi, Tuhan menjanjikan kita kelimpahan melalui kasih karunia dan berkat-Nya.
Artikel ini membahas dua aspek kehidupan berkelimpahan: kedamaian dan harapan. Apa sumber kedamaian dan harapan sejati, dan bagaimana mencapai hal ini dapat membantu kita menjalani kehidupan yang lebih bermakna?
HIDUP YANG DAMAI
Perdamaian di Dunia yang Tidak Pasti
Keinginan untuk hidup damai adalah keinginan alamiah manusia. Inilah sebabnya kita membeli berbagai jenis asuransi, dengan harapan dapat melindungi kita dalam keadaan yang tidak terduga. Namun, ketenangan pikiran yang dapat kita peroleh hanya akan bertahan sampai kita dilanda bahaya baru yang tidak ditanggung oleh asuransi! Manusia mungkin telah mengembangkan serangkaian instrumen ilmiah, perangkat teknologi, atau model statistik yang canggih untuk mencoba memprediksi atau meminimalkan dampak bencana global yang akan terjadi. Namun krisis COVID-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya ini merupakan pengingat akan keterbatasan kemampuan manusia dan rapuhnya perdamaian manusia.
Pesan inti yang Yesus nyatakan kepada orang-orang pada zaman-Nya dan kepada semua orang yang mendengarkannya saat ini adalah bahwa Dia dapat memberikan kedamaian yang sejati dan hakiki. Sayangnya, di masyarakat Barat yang makmur, semakin banyak orang yang berpikir bahwa mereka tidak membutuhkan Yesus—mereka dapat hidup dengan nyaman dan damai tanpa Dia. Kehadiran di gereja bagi banyak orang yang mengaku iman Kristen terbatas pada pembaptisan, pernikahan, dan pemakaman. Sebaliknya, umat Kristen di negara-negara berkembang menunjukkan iman yang lebih kuat karena mereka menyadari bahwa mereka membutuhkan penyertaan Tuhan untuk menjalani hari-hari mereka.
DENGAN KASIH KARUNIA TUHAN!
Penganut Gereja Yesus Sejati di Afrika sering berkata, “Dengan kasih karunia Tuhan!” Ini bukanlah sebuah kata seru biasa, melainkan sebuah seruan yang menyentuh hati karena di lingkungan tempat tinggalnya, banyak hal yang dapat menyebabkan kematian mendadak. Pada salah satu kunjungan pastoral saya ke Ghana, sesosok makhluk berwarna pelangi merangkak di bawah tempat tidur saya ketika saya hendak tidur malam itu. Saudara setempat yang menemani saya hanya bisa berkomentar tanpa daya bahwa ini “sangat buruk, sangat buruk!” Karena tidak ada yang bisa kami lakukan untuk mengatasi hal ini, kami hanya percaya pada Tuhan dan pergi tidur.
Kedamaian yang dibangun berdasarkan rencana manusia atau lingkungan sangat tepat diibaratkan seperti jendela kaca patri. Ini indah namun mudah hancur oleh batu kecil. Tidak peduli seberapa sehat kita saat ini atau seberapa stabil pekerjaan atau keuangan kita, sebuah batu kecil—penyakit, krisis ekonomi, dan sebagainya—dapat menghilangkan semua kedamaian yang kita miliki. Misalnya, pada tahun 2018, sebuah pesan darurat tiba-tiba disiarkan ke seluruh ponsel di Hawaii, memberitahukan bahwa sebuah rudal balistik sedang dalam perjalanan ke Honolulu dari Korea Utara. Ternyata ini adalah alarm palsu yang disebabkan oleh kesalahan manusia. Namun sebelum semua kepastian datang, semua orang ketakutan. Beberapa jemaat gereja langsung meluncur ke rumah anak-anaknya untuk berkumpul karena tidak tahu apakah itu saat-saat terakhir dalam hidup mereka.
Alkitab sering menggunakan laut untuk menggambarkan hal-hal yang berubah-ubah dalam kehidupan. Saat laut tenang, ia tampak seperti cermin yang memantulkan langit. Dunia bawah lautnya indah dan penuh dengan makhluk-makhluk menakjubkan. Ada banyak hal yang berharga dan diinginkan di bawah laut, seperti halnya dunia yang dipenuhi dengan daya tarik yang memikat. Namun ketenangan yang begitu indah bisa tiba-tiba menjadi badai yang mengamuk, seperti halnya kehidupan. Kecepatan penyebaran virus COVID-19 yang tidak terkendali ke seluruh dunia, frekuensi mutasi virus, dan gangguan global yang tidak terpikirkan merupakan peringatan yang jelas—jika kita salah mempercayai perdamaian dunia ini, kita mungkin akan diterpa ombak dan binasa.
ITU TIDAK MUNGKIN!
Pada acara kerohanian siswa Amerika pada tahun 2019, saya mengatakan kepada para mahasiswa untuk tidak menganggap remeh kehadiran di gereja karena pemerintah dapat melarang orang pergi ke gereja suatu hari nanti. “Itu tidak mungkin!” seru mereka. “Kita adalah negara bebas, dan gereja tidak akan pernah ditutup.” Tidak seorang pun dapat meramalkan bahwa pada tahun 2020, virus mikroskopis akan benar-benar mengganggu kehidupan kita. Dan memang benar, di banyak negara, gedung-gedung gereja ditutup, dan para anggota tidak dapat berkumpul secara fisik untuk melakukan kebaktian.
Menemukan Kedamaian Sejati dalam Yesus
Untuk mendapatkan kehidupan yang benar-benar bahagia dan berkelimpahan, kita harus menemukan kedamaian sejati—kedamaian yang bertahan bahkan ketika kehidupan kita tiba-tiba berubah total. Yesus menjanjikan kedamaian seperti itu.
“Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” (Yoh. 14:27)
Beberapa orang percaya kepada Yesus untuk menerima kesehatan dan kekayaan. Mereka berpikir bahwa sekali mereka percaya kepada Yesus, mereka tidak akan mempunyai masalah dalam hidup. Namun hal ini tidak selalu terjadi. Yesus memberi tahu kita bahwa orang Kristen akan menghadapi kesengsaraan. Kita masih akan mengalami kesehatan yang buruk, kecelakaan, dan kehilangan pekerjaan. Kedamaian yang Yesus berikan kepada kita bukanlah tentang menjalani kehidupan yang berjalan mulus. Sebaliknya, ini tentang menjadikan Yesus sebagai penolong dan sandaran kita selama badai yang tak terelakkan ini. Ini adalah kedamaian sejati karena tidak bergantung pada situasi eksternal kita. Tidak peduli seberapa besar perubahan keadaan kita, kedamaian yang Yesus berikan tidak akan berubah. Bahkan dalam situasi yang paling menyakitkan sekalipun, kita tahu bahwa Dia tinggal bersama kita.
Dan ketika hari sudah mulai malam, murid-murid Yesus pergi ke danau, lalu naik ke perahu dan menyeberang ke Kapernaum. Ketika hari sudah gelap Yesus belum juga datang mendapatkan mereka, sedang laut bergelora karena angin kencang. Sesudah mereka mendayung kira-kira dua tiga mil jauhnya, mereka melihat Yesus berjalan di atas air mendekati perahu itu. Maka ketakutanlah mereka. Tetapi Ia berkata kepada mereka: ”Aku ini, jangan takut!” Mereka mau menaikkan Dia ke dalam perahu, dan seketika juga perahu itu sampai ke pantai yang mereka tujui. (Yoh. 6:16-21)
Suatu malam, murid-murid Yesus sedang menyeberangi Laut Galilea dengan perahu. Menyeberang dalam kegelapan bukanlah hal yang aneh bagi mereka, karena sebagian besar dari mereka adalah nelayan yang terbiasa mendayung dalam kondisi apa pun. Mereka tidak khawatir karena mereka berpengalaman. Namun kemudian badai besar muncul. Para murid bertahan sampai mereka melihat Yesus berjalan di laut. Para murid merasa terhibur dengan kehadiran Yesus dan rasa takut mereka pun hilang. Ketika Yesus menaiki perahu itu, secara ajaib perahu itu diangkut ke tujuannya.
Percaya kepada Yesus bukan berarti kita tidak akan pernah menemui kecelakaan atau kesulitan. Namun hal ini berarti, apa pun yang kita hadapi, kita tahu bahwa Tuhan kita di surga menyertai kita
Apakah para murid mampu mengatasi situasi tersebut? Secara teknis, ya. Di masa-masa sulit, kita sering kali bisa mengertakkan gigi dan bertahan menghadapi situasi hanya dengan kemauan yang kuat. Tapi berapa lama kita bisa bertahan dan seberapa besar rasa sakit yang kita derita jika mengandalkan kekuatan kita sendiri?
Kita mungkin bekerja keras, tapi ini tidak menjamin imbalan. Kita mungkin mencari solusi terhadap permasalahan kita, namun hal ini tidak menjamin kedamaian. Hanya ketika kita menyambut Yesus di perahu kita dan mengandalkan Dia untuk tinggal bersama kita melewati badai kehidupan barulah kita dapat menerima kedamaian sejati. Situasi kita mungkin tidak berubah dan masalah yang kita hadapi masih ada, namun kedamaian di hati kita mengubah segalanya. Angin mungkin menderu-deru dan badai masih menerpa kita, namun Yesus akan membawa kita ke seberang.
Percaya kepada Yesus bukan berarti kita tidak akan pernah menemui kecelakaan atau kesulitan. Namun apa pun yang kita hadapi, kita tahu bahwa Tuhan kita di surga menyertai kita. Inilah kedamaian sejati yang dikejar oleh mereka yang percaya kepada Tuhan. Bahkan dalam kesengsaraan, kita mendapat kedamaian dari atas. Kita mungkin mengalami stres, kekhawatiran, dan kekecewaan, namun kita tidak akan putus asa karena kita mempunyai sauh di Batu Karang yang Teguh. Tidak peduli seburuk apa cuacanya, perahu kita tidak akan terhempas ke luar jalur. Jika kedamaian seperti itu tetap ada dalam diri kita setiap hari, kehidupan berkelimpahan pasti akan menyusul.
HIDUP YANG BERHARAP
Dimana Letak Harapan Kita?
Harapan—aspirasi seseorang—sangat penting dalam kehidupan. Mengetahui bahwa kita memiliki sesuatu untuk dinanti-nantikan adalah hal yang membuat kita terus maju dari hari ke hari. Namun, hanya harapan yang benar yang akan memberi kita kehidupan yang berkelimpahan. Jika kita menaruh harapan kita pada hal yang salah dan menghabiskan hari-hari kita mengejar kesenangan atau tujuan yang tidak berharga, hidup kita akan kehilangan tujuan dan makna. Lantas, apa harapan yang benar?
Banyak orang saat ini menaruh harapan mereka pada harta benda yang nyata. Lulusan baru berharap mendapatkan pekerjaan yang bagus dan mobil. Beberapa tahun kemudian, harapan mereka selanjutnya adalah memiliki rumah. Orang-orang di dunia ini sering menaruh harapan pada hal-hal yang ingin mereka miliki atau cita-citakan dan mereka akan menginvestasikan waktu dan tenaga untuk mencapai harapan tersebut. Meski tidak ada salahnya mengejar tujuan pribadi dan materi, harapan tersebut tidak akan pernah terjamin dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian. Misalnya, kita pernah mendengar tentang orang-orang sukses yang tampaknya memiliki segalanya—masa muda, karier cemerlang, keluarga bahagia—tiba-tiba menyadari bahwa mereka mengidap penyakit mematikan. Di saat seperti ini, apakah perusahaan besar yang kita miliki masih akan memberikan kepuasan bagi kita? Akankah rumah yang sangat besar dan mobil bertenaga milik kita menghibur dan memberi kita harapan?
Meskipun pendidikan, pekerjaan, dan rumah adalah hal-hal penting yang harus kita upayakan, kita harus menyadari bahwa hidup kita memiliki tujuan yang lebih tinggi.
Kesia-siaan Harapan Duniawi
Raja Salomo adalah seorang raja sukses di zaman dahulu yang sangat dikagumi karena kebijaksanaan dan kekayaannya (1 Raj. 10:1–7). Kekayaan yang begitu besar itu memungkinkannya memuaskan setiap keinginan.
Aku melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, mendirikan bagiku rumah-rumah, menanami bagiku kebun-kebun anggur; aku mengusahakan bagiku kebun-kebun dan taman-taman, dan menanaminya dengan rupa-rupa pohon buah-buahan; aku menggali bagiku kolam-kolam untuk mengairi dari situ tanaman pohon-pohon muda. Aku membeli budak-budak laki-laki dan perempuan, dan ada budak-budak yang lahir di rumahku; aku mempunyai juga banyak sapi dan kambing domba melebihi siapa pun yang pernah hidup di Yerusalem sebelum aku. Aku mengumpulkan bagiku juga perak dan emas, harta benda raja-raja dan daerah-daerah. Aku mencari bagiku biduan-biduan dan biduanita-biduanita, dan yang menyenangkan anak-anak manusia, yakni banyak gundik. (Pkh. 2:4-8)
Siapa yang tidak mendambakan kehidupan seperti miliknya? Namun apa yang diperoleh Salomo dari kehidupan ini?
Aku tidak merintangi mataku dari apa pun yang dikehendakinya, dan aku tidak menahan hatiku dari sukacita apa pun, sebab hatiku bersukacita karena segala jerih payahku. Itulah buah segala jerih payahku. Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari. (Pkh. 2:10-11)
Salomo mempunyai banyak harapan dan tujuan. Dia ingin membangun rumah, membuat kolam, dan menanam pohon serta kebun anggur. Pencapaian ini membuatnya puas—“hatiku bersukacita karena segala jerih payahku.” Wajar jika kita merasa bahagia ketika kita mencapai tujuan kita.
Namun perhatikan bahwa ketika Salomo mengingat kembali kehidupannya, dia menggambarkannya sebagai “kesia-siaan dan usaha menjaring angin.” Mengapa penilaiannya terhadap prestasinya berubah drastis? Dan mengapa dia menyimpulkan bahwa dia membenci kehidupan dan menganggap segala sesuatu di bawah matahari tidak ada artinya (Pkh. 2:17)?
Karena tidak ada kenang-kenangan yang kekal baik dari orang yang berhikmat, maupun dari orang yang bodoh, sebab pada hari-hari yang akan datang kesemuanya sudah lama dilupakan. Dan, ah, orang yang berhikmat mati juga seperti orang yang bodoh! (Pkh. 2:16)
Jawabannya terletak pada kematian yang tak terhindarkan. Jika kita tidak harus mati, maka masuk akal jika kita mengejar kesenangan dan bersukacita atas hasil kerja kita (Pkh. 2:10). Namun kematian membawa segala sesuatu ke dalam perspektifnya (Pkh. 2:11). Kenikmatan, keuntungan, dan kesuksesan duniawi mempunyai nilai. Namun nilainya terbatas—nilai ini hilang ketika kita meninggalkan dunia ini.
Harapan Surgawi akan Keselamatan Kekal
Kematian bisa menjadi topik yang sensitif—dan tabu bagi sebagian orang. Namun menghindari atau menyangkalnya tidak membuatnya hilang, sehingga harus kita hadapi. Makan dengan baik dan berolahraga dapat membantu kita hidup lebih lama. Namun tidak peduli seberapa baik kita merawat diri kita sendiri, kita semua pasti mati suatu hari nanti. Sebenarnya, refleksi terhadap kematian bermanfaat karena mendorong kita untuk berpikir tentang nilai kehidupan. Jika hari ini adalah hari terakhir hidup kita, akankah tujuan-tujuan duniawi yang kita perjuangkan dengan susah payah masih tampak penting?
Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya. (Pkh. 7:2)
Fakta penting lainnya adalah kematian bukanlah akhir dari segalanya. Hidup memang akan menjadi tragis dan tidak berarti jika tidak ada apa pun setelah kematian. Namun masih ada harapan karena kematian bukanlah akhir. Setelah kematian, ada penghakiman. Tuhan menaruh konsep kekekalan dalam hati kita (Pkh. 3:11). Kehidupan kita di bumi mungkin singkat, namun kita mempunyai tujuan dan harapan yang lebih tinggi.
Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi, demikian pula Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia. (Ibr. 9:27-28)
Pertanyaan pentingnya adalah, hasil apa yang akan kita peroleh dari penghakiman ini?
Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini. Sebab mereka yang berkata demikian menyatakan, bahwa mereka dengan rindu mencari suatu tanah air. Dan kalau sekiranya dalam hal itu mereka ingat akan tanah asal, yang telah mereka tinggalkan, maka mereka cukup mempunyai kesempatan untuk pulang ke situ. Tetapi sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka. (Ibr. 11:13-16)
Kitab Ibrani mencatat para pahlawan iman yang harapannya hanya tertuju pada warisan yang jauh melampaui masa hidup mereka di bumi. Mereka menjalani kehidupan sederhana, berharap lebih dari sekadar berkat fisik. Abraham adalah orang kaya, namun dia tidak pernah berharap untuk mendapatkan lebih banyak kekayaan. Dia tidak pernah berinvestasi pada lebih banyak tanah atau membangun kota untuk dirinya sendiri. Dia menjalani kehidupan sebagai pendatang, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Harapannya bukan pada daratan atau kota—dia mencari sesuatu yang lebih baik. Apa yang Abraham lihat adalah kemuliaan kekal yang akan diterimanya di surga.
Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu” (Yoh. 14:2b). Saat ini, kita tidak percaya kepada Yesus hanya untuk menerima berkat di dunia ini. Mungkin kita akan tetap menerimanya, yang merupakan anugerah Tuhan, namun itu bukanlah alasan kita percaya kepada Yesus. Sebaliknya, kita berusaha untuk berdiri tanpa cela di hadapan Tuhan pada hari penghakiman—menghadapi-Nya dengan hati nurani yang baik dan memasuki kerajaan surga untuk menikmati berkat-berkat kekal. Inilah tujuan akhir dan paling berharga serta harapan para pengikut Kristus yang sejati. Apakah itu juga menjadi tujuan dan harapan hidup Anda?
Kita harus jelas tentang harapan kita yang sebenarnya. Hanya dengan begitu kita akan mengetahui arah dan tujuan hidup kita.
Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. (2 Tim. 3:15)
Hanya ada dua hasil penghakiman: keselamatan kekal atau kutukan kekal. Apa yang menentukan tujuan kita? Apa yang menentukan apakah kita menerima upah kekal atau hukuman kekal? Bukan seberapa banyak kita berdonasi atau seberapa banyak perbuatan baik yang telah kita lakukan. Kitab Sucilah yang memberi kita hikmat untuk keselamatan. Alkitab membimbing kita menuju kemenangan pada hari penghakiman, untuk menerima harapan hidup kekal di surga.
Satu-satunya cara untuk menerima harapan ini adalah dengan mengetahui dan mengikuti Alkitab. Surga adalah bagi mereka yang berusaha keras dan menjalankan iman dengan sungguh-sungguh. Jika kita bertekun dalam iman, kita akan menghargai apa yang Alkitab katakan. Kita akan mengambil tanggung jawab atas jiwa kita dan menjalankan apa yang kita pelajari dalam Alkitab. Ketika kita melakukan ini, kita memiliki kehidupan berkelimpahan yang penuh makna, tujuan, sukacita rohani, dan berkat. Dan ketika tiba saatnya kehidupan duniawi kita berakhir, kita akan dengan senang hati menerima kehidupan yang akan datang.
KESIMPULAN
Kita hidup di dunia yang terus berubah-ubah di mana kehidupan penuh dengan kekacauan dan ketidakpastian. Betapa pun eratnya kita berpegang teguh pada harta benda dan pencapaian duniawi untuk memantapkan diri kita, hal-hal tersebut terlalu singkat untuk memberikan kedamaian dan keamanan sejati. Kematian membuat impian dan pengejaran kita menjadi sia-sia.
Namun dengan iman kepada Yesus dan janji-janji Alkitab, kita dapat mengakses kedamaian abadi dan harapan yang meredakan badai di hati kita, memampukan kita untuk berani menghadapi segala kesengsaraan dan menempuh jalan yang benar menuju harapan surgawi kita (Rm. 5:1-5). Meraih kedamaian dan harapan sejati akan membawa kita pada kehidupan yang berkelimpahan.