Hubungan Yang Renggang, Iman Yang Teguh
Philip Shee—Singapura
“Dan sekarang, saudara-saudara, aku mau mengingatkan kamu kepada Injil yang aku beritakan kepadamu dan yang kamu terima, dan yang di dalamnya kamu teguh berdiri. Oleh Injil itu kamu diselamatkan, asal kamu teguh berpegang padanya, seperti yang telah kuberitakan kepadamu.” (1Kor 15:1-2)
Menerima firman Tuhan adalah kunci keselamatan kita. Itu sama pentingnya dengan berpegang teguh pada firman sampai akhir. Hal ini sejalan dengan ajaran Alkitab tentang berpegang pada iman kita dan bertahan sampai akhir:
“Tetapi orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman, dan apabila ia mengundurkan diri, maka Aku tidak berkenan kepadanya. Tetapi kita bukanlah orang-orang yang mengundurkan diri dan binasa, tetapi orang-orang yang percaya dan yang beroleh hidup.” (Ibr 10:38-39)
“Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.” (Mat 10:22)
“Tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.” (Mat 24:13)
Ayat-ayat ini menunjukkan pentingnya kita tetap teguh dalam iman kita bahkan dalam penderitaan, kesulitan dan penganiayaan yang besar. Sayangnya, ketika melihat foto-foto masa lalu, kita teringat dengan saudara-saudari seiman yang pernah beriman teguh dan bersemangat dalam pelayanan tetapi mereka tidak ada lagi di gereja. Mungkin mereka meninggalkan gereja karena tersinggung atau kecewa atas banyak hal. Walaupun kepergian mereka bukan tanpa alasan, hal yang menyedihkan adalah pemicunya seringkali bukanlah karena salah satu kesusahan yang disebutkan di dalam ayat-ayat Alkitab di atas. Kadangkala, orang meninggalkan gereja karena tindakan orang lain terhadap mereka. Seiring dengan waktu mereka berusaha membenarkan kepergiannya dengan menyimpang dari kebenaran yang pernah mereka terima. Selain itu, mereka juga mencari-cari kesalahan mengenai doktrin-doktrin di dalam Alkitab. Bagaimana kita dapat mempertahankan iman dan keselamatan ketika menghadapi masalah dengan hubungan antar manusia yang bisa menyebabkan kita meninggalkan kebenaran?
KESALAHPAHAMAN
Karena gereja adalah kumpulan berbagai orang yang berinteraksi satu sama lain, miskomunikasi dan kesalahpahaman di antara jemaat pasti akan terjadi. Jika tidak segera diselesaikan, hal ini dapat dengan cepat berubah menjadi kehilangan kepercayaan satu sama lain, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kesalahpahaman lebih lanjut. Pihak-pihak yang terlibat mulai memandang setiap interaksi dengan penuh curiga, menganalisis setiap kata yang diucapkan untuk mencari maksud yang tersembunyi dan menyelidiki tindakan yang dilakukan orang lain karena setiap orang saling meragukan niat orang lain. Hubungan mulai retak dan putus. Akhirnya, hubungan yang rusak seperti itu – terutama di antara mereka yang dulunya adalah teman baik – dapat membuat kita menjauhkan diri dari jemaat lainnya. Hal ini dapat membuat kita meragukan iman kita dan meragukan kebenaran yang pernah kita terima dari orang-orang ini.
Ketika kedua cara itu gagal, Iblis mulai menanamkan kesalahpahaman di antara jemaat untuk memecah belah gereja
Kita harus mengenali tangan Iblis yang mencampuradukkan masalah seperti itu di gereja. Ketika gereja para rasul bertumbuh, serangan Iblis yang berbahaya juga semakin berlipat ganda. Penganiayaan mula-mula berasal dari sumber di luar gereja, yaitu penangkapan Petrus dan Yohanes setelah mukjizat di pintu gerbang yang disebut Gerbang Indah. Namun, Iblis dengan cepat masuk ke dalam gereja melalui tindakan korupsi Ananias dan Safira (Kis 5:1-11). Ketika kedua cara itu gagal, Iblis mulai menanamkan kesalahpahaman di antara jemaat untuk memecah belah gereja:
“Pada masa itu, ketika jumlah murid makin bertambah, timbullah sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani, karena pembagian kepada janda-janda mereka diabaikan dalam pelayanan sehari-hari.” (Kis 6:1)
Pembagian makanan sehari-hari kepada para janda merupakan pengaturan yang baik, yang didasarkan atas kasih, di dalam gereja mula-mula. Ironisnya, bahkan hal yang positif dapat digunakan oleh Iblis untuk menyerang gereja. Ketidaksepakatan bisa timbul akibat cara pandang orang-orang Ibrani atau sensitivitas berlebihan dari orang-orang Yunani. Namun, untuk menyimpulkan bahwa itu adalah keputusan yang disengaja, sistemik dan jahat oleh orang Ibrani, akan memperdalam kesalahpahaman yang ada di antara jemaat yang sudah menjadi satu di dalam Kristus, yang sudah “satu hati dan satu jiwa” dan bahwa “segala sesuatu adalah kepunyaan bersama.” (Kis 4:32). Ini adalah masalah yang berbahaya karena dapat memicu perpecahan yang besar di dalam gereja. Karena setiap komunitas memandang satu sama lain dengan curiga dan sikap bermusuhan. Ini mengakibatkan adanya individu dan rumah tangga yang merasa diperlakukan tidak adil.
Sungguh bersyukur bahwa para rasul memiliki hikmat dan dibimbing oleh Tuhan untuk menangani masalah ini dengan cepat sehingga memberikan hasil yang baik. Jemaat diminta untuk mengangkat dari antara mereka sendiri tujuh orang yang memiliki reputasi baik, penuh dengan Roh Kudus dan hikmat, untuk membantu para rasul dalam hal ini. Patut diperhatikan bahwa orang-orang yang dipilih termasuk orang-orang dengan nama-nama Yunani, seperti Nikanor, Timon dan Parmenas, yang kemungkinan besar adalah orang-orang Yunani. Ini adalah cara yang elegan untuk mengatasi sensitivitas berlebihan yang ada karena ketujuh orang ini dipercaya akan bersikap adil dan menjadi perwakilan dari orang-orang Yunani. Mereka juga akan mendapatkan rasa hormat dari orang-orang percaya yang telah memilih mereka.
Hari ini, tantangan serupa dapat terjadi di gereja karena Iblis terus mengganggu pekerjaan Tuhan. Jika tidak ditangani, kesalahpahaman semacam itu dapat membangun emosi negatif di antara jemaat. Sinisme dapat terjadi jika mereka tidak dapat berdamai dengan perasaan adanya ketidakadilan di gereja yang dirasakan berbeda dengan firman Tuhan yang mereka dengar. Terutama jika mereka sudah memiliki prasangka tertentu terhadap para pembicara atau pemimpin gereja.
Karena mengetahui rencana Iblis, kita harus meningkatkan kewaspadaan kita, “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera.” (Ef 4:2-3). “Sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah… kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan,” (Ef 4:13-14)
KESOMBONGAN
Gereja Korintus terdiri dari banyak orang percaya yang berbakat, kaya, berpengetahuan luas, fasih berbicara dan penuh dengan hikmat duniawi. Mereka dapat menggunakan sumber daya dan berkat dari Tuhan untuk memajukan pelayanan-Nya. Sayangnya, mereka terlalu sombong sehingga mereka lebih mengejar kemuliaan diri sendiri, menyombongkan karunia mereka daripada memuliakan Tuhan atau membangun gereja. Ketika mereka mengikuti ego mereka, masing-masing meninggikan diri mereka di atas yang lain. Bahkan beberapa orang merasa lebih hebat daripada Paulus, sehingga merendahkan dia dan ajarannya. Mereka mulai mencari alasan untuk membedakan diri mereka dari orang lain, termasuk membuat perbedaan di antara para hamba Tuhan. Seolah-olah para pekerja ini terpecah, dengan pandangan yang berbeda tentang kebenaran:
“Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus. Adakah Kristus terbagi-bagi? Adakah Paulus disalibkan karena kamu? Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?” (1Kor 1:12-13)
“Karena kamu masih manusia duniawi. Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara manusiawi? Karena jika yang seorang berkata: “Aku dari golongan Paulus,” dan yang lain berkata: “Aku dari golongan Apolos,” bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi yang bukan rohani?” (1Kor 3:3-4).
Kesombongan dapat menghalangi hubungan kita di gereja karena nasihat yang masuk akal dianggap sebagai serangan.
Ketika Paulus membela kesatuan para rasul—bahwa ia, Petrus dan Apolos benar-benar selaras—ia juga menyebut kesalahan jemaat Korintus:
“Saudara-saudara, kata-kata ini aku kenakan pada diriku sendiri dan pada Apolos, karena kamu, supaya dari teladan kami kamu belajar apakah artinya ungkapan: “Jangan melampaui yang ada tertulis”, supaya jangan ada di antara kamu yang menyombongkan diri dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang lain. Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?” (1 Kor 4:6-7).
“Pengetahuan yang demikian membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun. Jika ada seorang menyangka, bahwa ia mempunyai sesuatu “pengetahuan”, maka ia belum juga mencapai pengetahuan, sebagaimana yang harus dicapainya.” (1 Kor 8:1b-2).
Kita perlu belajar dari kesalahan jemaat Korintus dan mendengarkan ajaran Paulus. Pernahkah kita tanpa disadari membiarkan kesombongan menyelusup ke dalam hati kita? Jika demikian, kita berada dalam bahaya meninggikan diri kita sendiri daripada memuliakan Tuhan atau membangun orang lain. Kita mungkin berusaha untuk membangun diri kita sendiri melalui ide-ide atau ajaran baru yang tidak sehat dengan maksud untuk menonjolkan diri. Kesombongan kita mungkin dibangun seperti halnya beberapa orang yang “tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” (2 Tim 4:3–4). Ketika penggemar kita bertambah banyak, mungkin kita menutup telinga terhadap nasihat dari jemaat yang peduli ketika kita mulai mengakar lebih dalam pada pandangan yang menyimpang. Ini adalah refleks manusia pada umumnya: membela diri daripada mengakui bahwa kita mungkin telah salah. Kesombongan dapat menghalangi hubungan kita di gereja karena nasihat yang masuk akal dianggap sebagai serangan. Apa yang seharusnya mendorong hal yang baik malah memicu pembalasan, dan akhirnya hubungan menjadi rusak ketika ada pandangan berbeda. Pada akhirnya, hal ini dapat menyebabkan berbagai pihak menyimpang dari iman atau terbagi-bagi di dalam gereja.
Ketika kita mengenali rencana Iblis dan potensi bahaya yang dihadapi gereja, marilah kita senantiasa merendahkan diri, “dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;” (Flp 2:3). Kita juga harus waspada agar tidak terjerumus ke dalam cara kerja orang yang sombong, seperti yang dikatakan Paulus:
“Jika seorang mengajarkan ajaran lain dan tidak menurut perkataan sehat — yakni perkataan Tuhan kita Yesus Kristus — dan tidak menurut ajaran yang sesuai dengan ibadah kita, ia adalah seorang yang berlagak tahu padahal tidak tahu apa-apa. Penyakitnya ialah mencari-cari soal dan bersilat kata, yang menyebabkan dengki, cidera, fitnah, curiga, percekcokan antara orang-orang yang tidak lagi berpikiran sehat dan yang kehilangan kebenaran,” (1 Tim 6:3-5a)
PERBEDAAN MANUSIA
Walaupun gereja para rasul jelas dipimpin oleh Roh Kudus dan menjadi model positif bagi kita dalam banyak hal, tetapi kita juga dapat belajar tentang kelemahan manusia di antara para pekerja gereja mula-mula.
Euodia dan Sintikhe adalah pekerja yang baik yang bekerja bersama dengan Paulus dalam Injil dan bersama Klemens serta banyak orang lain yang namanya terdapat dalam Kitab Kehidupan. Walaupun keduanya adalah para pekerja yang tulus dan dapat bekerja sama dengan baik dengan orang lain, tetapi mereka tidak dapat bergaul satu sama lain. Alasan yang mendasarinya tidak jelas, tetapi permusuhan mereka begitu parah sehingga Paulus harus memohon agar mereka memiliki pikiran yang sama. Paulus juga mendesak jemaat lain untuk membantu para perempuan ini mengatasi perbedaan mereka (Flp 4:2-3). Jika rekan sekerja tidak sejalan, mereka memberikan pijakan bagi Iblis untuk mengganggu pekerjaan Tuhan dan memecah-belah gereja. Ketidaksepakatan mereka pada awalnya mungkin disebabkan oleh pendekatan yang berbeda terhadap pekerjaan gereja. Tetapi, ketika ketidakpercayaan dan permusuhan semakin mendalam, masing-masing dapat mencari para pendukung untuk menentang pekerjaan orang lain yang berbeda pandangan dengan mereka. Pada tahap ini, keraguan terhadap ajaran firman Tuhan bisa muncul di antara jemaat.
Demi kesatuan gereja, kita harus berusaha mengabaikan perbedaan kita dan berusaha “memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera” (Ef 4:2-3).
Bentrokan antara dua pemimpin gereja seperti itu dapat menyebabkan krisis besar
Petrus dan Paulus juga tidak setuju atas satu hal dalam pelayanan mereka. Pada waktu itu, ada perbedaan pandangan di dalam gereja tentang orang percaya non-Yahudi. Walaupun Petrus telah menerima mereka dan akan makan bersama mereka secara normal, tetapi ia menarik diri dan memisahkan diri dari mereka ketika beberapa orang percaya yang bersunat datang berkunjung. Kemunafikannya juga memicu perilaku serupa dari orang-orang percaya Yahudi lainnya, termasuk Barnabas. Ketika Paulus menyaksikan tingkah laku Petrus, ia langsung menentangnya (Gal 2:11-14). Bentrokan antara dua pemimpin gereja seperti itu dapat menyebabkan krisis besar. Petrus dapat menantang, membela diri atau bahkan bermusuhan karena ego yang terluka. Lagipula, ia adalah pilar utama di gereja. Ia mungkin bertanya-tanya bagaimana mungkin Paulus, sebagai pelayan yang baru melayani, memiliki keberanian dan kesombongan untuk menentangnya secara langsung.
Di sisi lain, Paulus dapat saja terus bertahan dengan standar moralnya yang tinggi sehingga meremehkan dan tidak menghormati Petrus. Ini akan menjadi bencana bagi pelayanan. Syukurlah, baik Petrus maupun Paulus merupakan pemimpin rohani yang memiliki kebesaran hati yang dapat bergerak maju secara positif. Mereka tidak membiarkan perselisihan memecah belah atau menyebabkan mereka menyimpang dari firman yang mereka ajarkan. Sebaliknya, mereka berdua berkumpul dan bekerja sama dalam pelayanan mereka. Surat-surat Paulus ada yang ditujukan bagi Petrus, menyebutnya sebagai saudara yang terkasih. Dalam ajarannya, Petrus juga menguatkan surat-surat Paulus, mendesak orang percaya untuk tetap teguh dan tidak memutarbalikkan Kitab Suci:
“Anggaplah kesabaran Tuhan kita sebagai kesempatan bagimu untuk beroleh selamat, seperti juga Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya. Hal itu dibuatnya dalam semua suratnya, apabila ia berbicara tentang perkara-perkara ini. Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain. Tetapi kamu, saudara-saudaraku yang kekasih, kamu telah mengetahui hal ini sebelumnya. Karena itu waspadalah, supaya kamu jangan terseret ke dalam kesesatan orang-orang yang tak mengenal hukum, dan jangan kehilangan peganganmu yang teguh.” (2 Pet 3:15-17).
Ketika melayani di gereja, kita mungkin juga mengalami perselisihan antar rekan sekerja. Pada saat-saat seperti itu, marilah kita belajar dari kerohanian kedua pekerja mula-mula ini.
Pada kesempatan lain, Paulus dan Barnabas memiliki pendapat yang tegas tetapi berbeda tentang apakah mereka akan membawa Yohanes, yang disebut juga Markus, dalam perjalanan penginjilan mereka. Perselisihan mereka begitu tajam sehingga Barnabas membawa Markus, Paulus membawa Silas, dan mereka berpisah. Sekali lagi, tampaknya ini merupakan perkembangan yang merugikan dalam pelayanan dan menimbulkan ketegangan yang patut disesalkan dalam hubungan antara dua rekan kerja yang baik (Kis 15:36-40). Baik Paulus maupun Barnabas memiliki alasan yang sah untuk membenarkan keputusan mereka. Bagi Paulus, pekerjaan penginjilan tidak bisa dianggap remeh, dan Yohanes/Markus memang telah meninggalkan pekerjaan itu di tengah jalan (Kis 13:13). Sebaliknya, Barnabas mungkin merasa bahwa Yohanes/Markus hanyalah seorang pekerja muda yang tidak berpengalaman yang harus diberikan kesempatan kedua dan dididik dengan kesabaran. Hari ini, kita mungkin mengalami situasi yang sama di dalam gereja. Sekali lagi, mengingat bahwa baik Paulus maupun Barnabas adalah pelayan rohani, mereka tidak membiarkan pertengkaran membuat mereka menyimpang dari kebenaran. Mereka tidak saling melihat satu sama lain dengan sikap permusuhan atau saling menentang pekerjaan yang mereka lakukan. Gereja terus berkembang (Kis 16:5) dan Barnabas juga berhasil mengubah Yohanes/Markus menjadi pekerja yang baik, yang berguna bagi pelayanan, dan akhirnya diakui oleh Paulus (2 Tim 4:11).
KONFLIK KELUARGA
Sama seperti gangguan dari dalam gereja lebih berbahaya daripada ancaman dari luar, pukulan yang jauh lebih besar terhadap iman kita sayangnya bisa datang dari anggota keluarga kita di dalam gereja. Ini akan menjadi pukulan ganda karena orang yang kita kasihi seringkali menjadi pihak yang paling memengaruhi kita.
Bagaimana jika ada konflik di dalam keluarga kita walaupun semua orang seharusnya beriman? Apakah konflik ini akan memengaruhi keyakinan kita tentang kebenaran, iman kita terhadap kasih Tuhan dan semangat kita dalam pelayanan? Akankah kita menjauhkan diri dari gereja jika kita mengetahui rahasia perilaku orang yang kita anggap munafik di antara anggota keluarga kita, yang mungkin dihormati di dalam gereja dan menyimpulkan bahwa semua orang di dalam gereja itu sama?
Bahkan orang yang paling rohani sekalipun memiliki kekurangan yang belum dapat mereka atasi atau titik-titik lemah ketika mereka gagal memenuhi standar Tuhan
Sebagai langkah awal, kita harus menyadari bahwa tidak ada orang yang sempurna. Bahkan orang yang paling rohani sekalipun memiliki kekurangan yang belum dapat mereka atasi atau titik-titik lemah ketika mereka gagal memenuhi standar Tuhan. Daud, orang yang berkenan di hati Allah, jatuh ke dalam dosa karena Batsyeba dan tidak menyadari kemunafikannya (2 Sam 11:1–12:14). Abraham, bapa orang beriman, tidak memiliki keberanian untuk melindungi istrinya ketika ia memberitahu Abimelekh bahwa Sarah adalah saudara perempuannya (Kej 20). Petrus dan Barnabas bersikap munafik terhadap orang-orang percaya non-Yahudi (Gal 2:11-14).
Oleh karena itu, sekalipun kita menyaksikan kelemahan dan kegagalan di antara anggota keluarga yang kita kenal, janganlah kita terkejut, kecewa atau merasa jijik. Lagipula, kelemahan manusiawi mereka tidak ada hubungannya dengan kesetiaan Tuhan. Kita juga harus berhati-hati agar tidak terlalu menghakimi hanya karena kita lebih mengenal anggota keluarga ini daripada orang lain. Seperti yang telah diperingatkan Tuhan Yesus kepada kita, “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya.” (Mat 13:57).
Situasi yang lebih tidak menguntungkan dan lebih sulit adalah ketika satu atau lebih anggota keluarga kita menyimpang dari kebenaran atau melakukan dosa yang tidak dapat diampuni. Ketika kita berinteraksi dengan mereka, kita mungkin mengalami konflik yang dalam karena ketika kita berusaha membela kebenaran, itu sama dengan menghakimi orang yang kita kasihi. Ketika kita bergumul dengan rasa sakit dan gejolak di dalam diri kita, kita bahkan mungkin mempertanyakan atau menyalahkan Tuhan atas situasi tersebut. Keadaan seperti itu memang disayangkan, dan kita tidak selalu memiliki jawaban langsung mengapa hal itu terjadi.
Namun, kemarahan tidak akan membantu kita untuk lebih memahami atau memecahkan masalah. Satu-satunya pilihan adalah tetap teguh, terus melakukan apa yang benar dan percaya bahwa Tuhan akan memberikan jawaban bagi kita pada akhirnya. Kita dapat belajar dari bagaimana Yonatan memilih hubungan rohaninya dengan Daud, dibangun di dalam Tuhan, melebihi hubungan fisiknya dengan Saul, ayahnya. Ia menentang perilaku ayahnya yang salah dan malah mendukung Daud (1 Sam 19-20). Ketika anak-anak Harun—Nadab dan Abihu—mati di hadapan Tuhan karena mempersembahkan api najis, ini pasti sulit, menyedihkan, dan menyakitkan bagi Harun. Tetapi ia tetap tenang ketika Tuhan menjelaskan alasannya (Im 10:1-3). Abraham, ketika diuji, mempersembahkan putranya, Ishak, di atas mezbah. Allah mengakui bahwa Abraham bahkan tidak menahan putranya dari kehendak-Nya (Kej 22:1-12). Oleh karena itu, walaupun kita harus mengasihi keluarga kita, tetapi kita harus menyadari bahwa kasih seperti itu tidak boleh melebihi kasih kita kepada Tuhan. Karena alasan ini, Tuhan Yesus meninggalkan ajaran berikut bagi kita:
“Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” (Mat 10:37)
RENUNGAN AKHIR
Ketika kita melanjutkan perjalanan iman, persekutuan di dalam gereja dan pelayanan kita kepada Tuhan, tidak dapat dihindari bahwa Iblis akan berusaha untuk mengganggu dan menggagalkan perjalanan kita menuju pada keselamatan. Mungkin ada saat ketika kita mengalami masalah dalam hubungan antar manusia di dalam gereja atau konflik dalam keluarga kita. Kita belajar dari catatan gereja para rasul dan pengalaman orang-orang kudus bahwa mereka juga menghadapi tantangan yang serupa. Namun, mereka mampu mengatasinya untuk mencapai hasil yang baik. Demikian juga, ketika kita menghadapi kekecewaan, provokasi, kesalahpahaman atau tantangan lain dalam hubungan kita, jangan biarkan ini menjadi keraguan terhadap kebenaran yang telah kita percayai. Marilah kita tetap setia dalam iman kita sampai akhir.