Suara Sejati
Tiga Jawaban Tuhan
“Sdri. Riana Subroto, Gereja cabang Boston, Amerika Serikat”
Dalam keluarga besar kami, nenek yang pertama datang beribadah di Gereja Yesus Sejati. Nenek selalu mengajak kami untuk ikut kebaktian sabat dan Sekolah Minggu. Selain itu, nenek juga mengajak kami, ketiga cucunya untuk dibaptis. Pada saat itu, usia aku baru 8 tahun.
Mulai dari jenjang sekolah TK sampai SMA, kami bertiga menempuh pendidikan di Sekolah Kristen Kanaan. Setiap hari sabtu, kami mengikuti kebaktian Sabat di sekolah. Setelah pulang sekolah, kami bertiga mengikuti kebaktian sabat di Gereja Yesus Sejati Samanhudi. Ketika mendengar khotbah, sering kali aku tertidur karena merasa sangat lelah. Akan tetapi, nenek yang duduk di sebelah, selalu berusaha membangunkanku.
Kebangunan Rohani (KKR) siswa yang diadakan tiap tahunnya. Aku sangat menyukai acara ini karena dapat menginap di gereja dan mengenal banyak teman dari cabang lain. Kemudian, aku mulai mengikuti doa mohon Roh Kudus. Tetapi, setelah sekian tahun berlalu, aku tetap belum menerima Roh Kudus itu.
Pada saat aku berada di jenjang SMP, kami bertiga kembali mengikuti KKR siswa. Akhirnya, pada saat sesi doa, kedua adikku menerima Roh Kudus. Namun, aku tetap belum menerima. Pada saat itu, aku merasa kecewa dan mulai berpikir kalau Tuhan tidak sayang padaku.
Setelah itu, walau aku masih mengikuti kebaktian sabat dan KKR siswa tahunan, hatiku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku merasa bahwa kebaktian hanyalah seperti suatu rutinitas. Aku mulai malas pergi ke gereja dan lebih suka bergaul dengan teman-teman sekolahku yang bukan jemaat Gereja. Aku masih tetap berpikir kalau Tuhan tidak sayang padaku, sampai akhirnya Tuhan memberikan tiga jawaban kepadaku.
Suatu hari, keluarga besar kami berlibur bersama ke daerah Puncak. Tempat yang kami singgahi sangat menyenangkan. Kami mulai berlarian di suatu tempat terbuka. Lalu pada saat berlarian, aku tidak dapat lagi menghentikan kecepatan dan terus menuju bibir jurang. Aku sangat ketakutan dan berseru di dalam hati: “Tuhan Yesus, tolong.”
Secara tiba-tiba, sepupuku berlari melintang di depan, sehingga aku menabrak dia. Akhirnya aku dapat berhenti dan tidak terperosok ke dalam jurang. Puji Tuhan, bagiku ini merupakan jawaban pertama dari Tuhan.
Suatu hari saat di jenjang SMA, aku bersama dengan sepupu pergi ke kolam renang di Ancol. Sepupuku menyanggupi untuk mengajariku berenang. Lalu kami berenang di kolam ombak, di area yang paling dalam. Awalnya sepupuku mengajari bagaimana caranya mengapung. Aku mencobanya dan ternyata bisa. Kemudian dia memintaku untuk mencoba tidak berpegangan pada tepi kolam. Aku menyetujuinya dengan syarat bahwa ia harus tetap menjagaku dan ia menyanggupi.
Setelah beberapa saat aku coba mengapung. Namun, aku mulai merasa bahwa gerakan tangan dan kakiku tidak teratur. Aku mulai panik dan berusaha naik ke permukaan air, tetapi gagal. Dalam hati aku berkata: “Dimana sepupuku?”
Padahal sebelumnya sepupuku berpesan: “Kalau kaki bisa menyentuh dasar kolam, tendang saja dasar kolamnya, nanti bisa naik ke atas lagi.” Akan tetapi kakiku sama sekali tidak bisa menyentuh dasar kolam dan aku berpikir: “Aku harus bagaimana?” Dikarenakan aku sudah tidak kuat menahan napas, aku mulai gelagapan dan air mulai tertelan.
Aku merasa bahwa ajalku sudah dekat. Lalu dalam posisi tenggelam, aku berdoa dan memohon ampun akan segala dosa. Aku sudah pasrah akan hidupku dan sudah tidak sanggup lagi untuk berusaha naik ke atas. Tiba-tiba, aku merasa diangkat ke atas permukaan.
Ternyata ada dua orang pemuda menarikku ke tepi kolam sehingga aku tidak jadi mati tenggelam. Puji Tuhan, bagiku ini merupakan jawaban kedua dari Tuhan.
Tidak lama setelah itu, sepupuku datang mendekat. Aku langsung marah dan mencecar dia dengan pertanyaan, “Mengapa engkau tidak menjaga aku!”
Dia menjelaskan bahwa sebelumnya memang ia mencoba berenang sendiri, tetapi hanya sebentar. Namun, saat ia menoleh kembali ke arahku, dia tidak dapat menemukanku. Dia berpikir bahwa aku berenang ke arah lain. Sebenarnya aku merasa kesal mendengar penjelasan itu, tetapi yang penting Tuhan Yesus masih menjaga nyawaku.
Setelah lulus SMA, aku bekerja di sebuah toko di daerah Mangga Dua. Selain menjaga toko, aku diminta untuk mengerjakan pembukuan ringan usaha konveksi di rumah atasanku. Suatu pagi, aku menggunakan angkutan umum dan turun seperti biasa di depan gedung Mangga Dua. Sesudah itu, aku mulai berjalan menyusuri rel kereta api.
Ketika hendak menyebrang menuju Jalan Pangeran Jayakarta, yaitu lokasi rumah atasanku, tiba-tiba seorang pria menarik tanganku. Aku langsung marah dan membentak, “Ngapain loe narik tangan gue!” Aku merasa jengkel sekali dan berpikir dalam hati, “Dia pikir boleh seenaknya melecehkan wanita.”
Akan tetapi, pria itu balas membentakku dengan tidak kalah galaknya dan berkata, “Loe mau mati ya!” Kemudian dalam hitungan detik, melintaslah sebuah kereta api melewati jalan yang seharusnya akan kulangkahi jikalau tanganku tidak ditarik.
Aku begitu terkejut dan gemetar. Entah mengapa, tadi aku sungguh tidak melihat ada kereta api. Mungkin karena pikiranku sedang kosong. Aku malu sekali. Padahal orang tersebut sudah tolongku, tetapi malah kumarahi.
Walaupun harus menahan malu yang amat sangat, aku sangat bersyukur bahwa aku tidak tewas tertabrak kereta api. Puji Tuhan, bagiku ini merupakan jawaban ketiga dari Tuhan.
Sekarang aku percaya bahwa Tuhan Yesus sayang padaku dan DIA sayang setiap manusia. Dengan cara-Nya yang unik, setiap hati yang masih ragu, akan Ia sampaikan: “Aku mengasihimu.”
“Bukan orang-orang mati akan memuji-muji Tuhan, dan bukan semua orang yang turun ke tempat sunyi, tetapi kita, kita akan memuji Tuhan, sekarang ini dan sampai selama-lamanya. Haleluya!” (Mazmur 115:17-18)
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus,
amin.