Suara Sejati
Bapa
“Sdri. Nadia Lim, Gereja cabang Teluk Kurau, Singapura”
Saat SMP kelas 2, aku pindah untuk tinggal dengan Papa dan “keluarga barunya” di Jakarta. Papa menikah lagi sedangkan mama tinggal di Bogor. Rumah Papa berada di Sunter. Setelah masuk pagar rumah, terlihat ada dua pintu. Pintu sebelah kanan adalah Pintu Utama yang menuju ruang tamu, toilet, dapur, dan ruangan lainnya.
Sedangkan pintu sebelah kiri, awalnya diperuntukkan sebagai ruang kantor. Tetapi Papa mengubahnya menjadi “sebuah kamar” untukku. Di dalam kamarku, hanya ada satu “lubang” yang mengarah ke dalam rumah. Namun, “lubang” itu tidak lain adalah sebuah jendela, bukan pintu.
Dalam hati aku berkata, “Mengapa akses masuk ke rumah harus ditutup?” Aku masih ingat, saat dulu dijadikan kantor, ruangan itu terdapat jalan tembus ke dalam rumah. Akan tetapi sejak kedatanganku, akses itu sudah ditutup dengan bata dan semen, tepatnya sudah menjadi tembok. Mengapa harus begini? Mulut Papa juga tertutup, tidak ada penjelasan darinya.
Dari dalam kamar, jika aku ingin pergi ke toilet dan dapur, aku harus “keluar rumah,” lalu masuk dari pintu utama. Cara kedua, agar aku bisa ke toilet dan dapur, aku harus membuka jendela itu dan melompat untuk masuk ke bagian dalam.
Dengan mendapatkan posisi kamar yang terpisah seperti ini, aku merasa seperti anak kos. Kamar mandi yang aku gunakan pun terpisah. Toilet kecil ini khusus dibuat untuk kupakai sendirian.
Aku dan Papaku hampir tidak pernah makan bersama. Aku seakan terpisah dengan semua orang dirumah itu. Aku merasa terjebak dan sungguh merasa kesepian. Walaupun hidup bersama Papa, aku merasa hidup di dunia yang berbeda.
Namun karena aku sekolah di Jakarta, terlalu jauh bagiku untuk tinggal dengan mama di Bogor. Hal ini membuat aku mau tidak mau, suka tidak suka, tetap harus bertahan.
Tumbuh dewasa dengan lingkungan seperti itu, membuat aku merasa “bebas”. Aku dapat pergi kemana pun, kapan pun, tanpa perlu memberitahu orang lain di rumah. Aku merasa amat senang setiap kali ada teman yang mengajak aku pergi keluar, untuk pergi bermain atau sekedar pergi untuk makan.
Aku memiliki dua kelompok teman. Ada teman sekolah atau gereja dan ada teman di luar sekolah. Kelompok yang satu menarikku untuk ke gereja. Kelompok lain menarikku untuk pergi ke “Lipstik,” sebuah tempat bermain sepatu roda.
Di “Lipstik,” aku semakin banyak kenal dengan teman baru. Kadang, karena rasa keingin-tahuanku atau pun rasa solidaritas terhadap teman, aku semakin terjerumus ke dalam dunia mereka.
Namun, Tuhan tetap mengirim para guru agama yang terus peduli dan bahkan ada salah satu guru yang akan “memarahi”- ku jika aku tidak belajar. Aku pun harus melaporkan nilai ujian yang aku dapat kepadanya.
Aku sangat bersyukur, karena guru tersebut dan sejumlah teman di gereja membuatku tetap termotivasi untuk belajar sehingga dapat naik kelas. Jika saat itu tidak ada yang memperdulikan, maka aku akan semakin terjerumus ke dalam pergaulan yang buruk dan masa depan aku pasti hancur.
Tanggal 15 Oktober 1995, aku menerima baptisan air. Alkitab mencatatkan bahwa baptisan air adalah untuk pengampunan dosa. Puji Tuhan, hari itu juga aku menerima Roh Kudus saat berdoa di Gereja Yesus Sejati Jakarta. Menurut Alkitab, Roh Kudus merupakan jaminan untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga.
Aku sungguh beruntung, padahal ada jemaat yang katanya sudah bertahun-tahun berdoa memohon, tetapi belum kunjung menerima Roh Kudus. Sungguh Tuhan memperhatikan kehidupan manusia, Dia memberikan Roh Kudus-Nya di saat yang paling aku butuhkan. Aku percaya, hal ini juga karena doa dari mamaku. Dia adalah orang pertama yang menerima baptisan air dan Roh Kudus di keluarga kami.
Tuhan menyembuhkan hatiku dari luka batin yang berkepanjangan. Aku merasa seakan Tuhan membukakan atap kamarku, lalu menurunkan sebuah tangga ajaib yang bisa kugunakan untuk pergi ke rumah baru.
Tuhan telah menjadi seperti seorang “BAPA” yang menggenggam tanganku sebagai anak-Nya. Dalam berbagai kegiatan gereja, aku dapat merasakan kehangatan kasih dan kelegaan dari semua beban pikiran. Aku sungguh bersyukur karena dapat merasakan kasih Tuhan Yesus yang mengangkatku menjadi anak-Nya.
Waktu terus berlalu dan Tuhan terus membimbingku. Tak terasa aku sudah hampir lulus dari SMA. Sungguh, karena kemurahan Tuhan, aku akhirnya dapat memperoleh peringkat pertama saat kelas 3 SMA. Tuhan sungguh baik kepadaku. Sampai sekarang aku masih teringat akan lirik sebuah lagu rohani yang begitu berkesan bagiku, “Sungguh ku bangga Bapa, punya Allah seperti Engkau.”
“Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu” (1 Yohanes 2:15).
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus,
amin.