Suara Sejati
Doa Di Kala Membara
“Sdri. Imelda, Gereja cabang Green Lake City, Jakarta Barat”
Rumah kami berlokasi di Gang Kapuas, Jalan Adisucipto, Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Gang ini adalah gang kecil yang tidak bisa dilewati kendaraan besar. Yang lewat umumnya hanya motor. Papa bekerja di kapal tongkang yang mengangkut pasir dan kelapa sawit. Papa jarang berada di rumah; ia hanya pulang tiga minggu sekali. Dan itu pun ia hanya beberapa hari saja di rumah, lalu harus pergi lagi. Mama hanya seorang ibu rumah tangga biasa.
Kami hidup sangat sederhana, tetapi berkat Tuhan cukup bagi kami. Menu masakan kami setiap hari umumnya adalah sayuran hijau. Kadang ada ikan hasil tangkapan Papa. Dapat ikan seberapapun, tetap kami syukuri. Itu lauk yang cukup untuk kami makan. Daging jarang kami santap, belum tentu satu kali sebulan. Kata orangtua, kami harus tetap bersyukur, tidak boleh mengeluh.
Kalau sudah hari Sabat (Sabtu), mama tidak mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasanya. Semua ditunda sampai pulang dari gereja. Buat mama, anak-anak tidak boleh ada alasan untuk tidak ke gereja. Semua harus pergi beribadah. Kami bisa berada di Gereja Yesus Sejati dari pagi sampai sore, sudah seperti rumah kedua kami. Tidak pernah absen. Mama selalu mendorong kami untuk mengikuti kegiatan di gereja dan melakukan pelayanan.
Tahun 1996, saat itu usiaku sepuluh tahun dan adikku tujuh tahun. Malam itu kami sekeluarga sudah tidur. Tiba- tiba terdengar suara tetangga berteriak: “Kebakaran… Kebakaran!” Aku terbangun, lalu melongok keluar rumah. Terlihat api yang besar, orang-orang lari berhamburan untuk menyelamatkan diri. Api menyambar dengan sangat cepat, dari satu rumah ke rumah berikutnya.
Aku dan adik hanya bisa menangis karena panik. Mama menggendong adik kecil kami yang masih berusia tiga bulan. Papa tidak berada di rumah karena sedang berlayar. Di tengah suasana yang kacau-balau, Mama mengajak kami semua untuk berlutut berdoa. Aku sempat merasa aneh dan berpikir, “Ini sedang dalam keadaan panik, harusnya lari. Kok malah berdoa?”
Tetapi selesai doa, Tuhan sungguh memberi ketenangan sehingga kami masih sempat membawa beberapa potong pakaian dan surat-surat berharga.
Karena nyala api makin membesar dan sudah menyambar puluhan rumah lainnya, kami tidak bisa lagi keluar dari pintu depan dan harus lewat pagar samping. Semua orang berlari menuju tempat yang aman, menghindari kobaran api. Kami hanya bisa memandang rumah kami dari kejauhan. Api terus melahap rumah demi rumah. Banyak rumah yang masih terbuat dari kayu, sehingga api begitu cepat menyambar.
Saat itulah Mama melihat dengan jelas: seekor burung merpati putih terbang mengelilingi kobaran api. Lalu bentuk api itu jadi berubah, tidak lagi melebar ke kiri-kanan, tapi hanya ke atas, dan apinya jadi tinggi. Mama memberitahukan kami soal itu.
Aku lalu berpikir, “Warga sekitar kami hanya ada yang memelihara kambing, mengapa malam-malam ada burung merpati? Mengapa burung merpati itu tidak takut api, malah berputar-putar di atas kobaran api? Mengapa bentuk api jadi berubah?”
Kebakaran itu terjadi selama beberapa jam. Rumah kami berada di Gang Kapuas, sebuah gang kecil yang tidak bisa dimasuki kendaraan besar. Akhirnya mobil pemadam kebakaran menerobos lewat sebelah gang kami, masih jauh dari lokasi kebakaran. Entah bagaimana caranya, akhirnya api padam sekitar jam tiga subuh. Lalu sambil harap-harap cemas, kami berjalan kembali ke rumah untuk melihat bagaimana kondisinya.
Saat masuk rumah, kami merasakan hawa dalam rumah masih panas. Tapi tidak lama kemudian hujan turun, membuatnya jadi sejuk. Puji Tuhan Yesus, rumah kami tidak terbakar sedikit pun.
Hanya satu kaca jendela kecil yang pecah. Pohon yang terletak persis di depan rumah kami, tidak hangus sama sekali. Aneh sekali, rumah kami luput, padahal cuma selisih satu rumah dengan rumah yang terbakar. Kami tidak dapat membayangkan, jikalau rumah sebelah sampai ikut terbakar, pasti api cepat merambat ke rumah kami yang juga masih terbuat dari kayu.
Besoknya, aku melihat keadaan rumah-rumah tetangga. Sungguh prihatin. Banyak rumah yang hangus terbakar, puluhan jumlahnya. Memang api cepat sekali menjalar semalam. Sebagian tetangga juga harus kehilangan barang berharga mereka karena dicuri orang yang tidak bertanggung jawab. Rumah yang jaraknya lebih jauh dari rumah kami, kacanya pecah semua. Sebatang pohon besar yang jaraknya sepuluh meter juga hangus terbakar.
Aku jadi bingung. Perbedaannya terlalu mencolok. Sulit dijelaskan. Mengapa sejumlah tetangga yang rumahnya selamat, tapi letaknya jelas-jelas lebih jauh dari api, kaca rumahnya pecah semua? Sedangkan kami yang cuma selisih satu rumah dari api kebakaran, hanya pecah satu jendela kecil?
Mengapa pohon lain yang jaraknya lebih jauh hangus terbakar? Sedangkan pohon kami utuh dan hijau? Apa karena burung merpati ajaib itu? Siapa Pemiliknya?
Kami percaya, kejadian ini bukan suatu kebetulan. Sama sekali bukan keberuntungan. Kalau sampai hari ini keluarga kami masih boleh tinggal di rumah yang luput ini, semua karena perlindungan YESUS, nama yang selalu kami sebut dalam doa.
“TUHAN akan menjaga engkau terhadap segala kecelakaan; Ia akan menjaga nyawamu.” (Mazmur 121:7)
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus,
amin.