6. Berakar Dalam Kristus (Bagian 3)
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Michael Chan — Leicester, Inggris
Berakar dalam Kristus (Bagian 3): Berbuah dalam Kristus
Iman yang dewasa mengalahkan segalanya – iman yang tetap kokoh ketika dihadapkan pada pencobaan dan ujian. Iman yang dewasa bahkan dapat bertumbuh dan menghasilkan buah melalui ujian. Bagaimana kita dapat mengatasi hambatan-hambatan pertumbuhan untuk menumbuhkan iman yang berkemenangan seperti itu?
RINTANGAN PERTUMBUHAN KITA
Kadangkala kita merasa jauh dari Tuhan. Sepertinya ada banyak tembok yang menghalangi antara kita dengan Dia. Selalu ada saja rintangan yang menghalangi kita untuk mendekat ataupun menyembah dengan sungguh-sungguh kepada-Nya. Di bawah ini beberapa hambatan yang mungkin menghalangi kita:
A. Lingkungan
Kita dapat terpengaruh oleh berbagai masalah yang muncul sesuai dengan keadaan kita (Mat. 13:20-22). Kita dapat dihadapkan dengan kemiskinan, sakit penyakit, pengangguran, ataupun situasi dalam pekerjaan yang berlawanan dengan status kita sebagai orang Kristen. Semua faktor ini mungkin berada dalam kendali kita, tetapi mungkin juga tidak, tetapi faktor-faktor ini dapat menghalangi kita untuk mendekat kepada Tuhan.
B. Diri Sendiri
Walaupun kita dapat menganggap diri kita sebagai orang yang berpikir rasional, manusia dikendalikan juga oleh emosi. Tingkah laku dan sikap kita akan senantiasa dipengaruhi oleh perasaan kita: bahagia, marah atau sedih (Ams. 4:23). Jika kita tidak merasa perlu menaati firman Tuhan, atau tidak merasa sukacita ketika menyembah Tuhan, apakah kita dapat mengingkari diri kita sendiri?
C. Hubungan dengan Orang Lain
Jika ada kebencian atau permusuhan antara kita dengan orang lain, ada perintang yang menghalangi kita untuk mendekati Allah (Mat. 5:22-24). Sangat disayangkan, konflik ini juga dapat terjadi di antara sesama saudara seiman, ketika terjadi kesalahpahaman atau selisih pendapat, yang dapat meningkat sampai salah satu pihak tidak lagi datang ke gereja. Kita bahkan dapat menjadi sangat marah dengan orang lain, sampai kita merasa tidak ingin berdoa atau beribadah di rumah Tuhan.
MEMEGANG TEGUH IMAN KITA
Banyak tokoh Alkitab berpegang teguh pada iman mereka dalam Tuhan, walaupun mengalami kesedihan dan kesengsaraan hebat. Salah satu contohnya adalah Hana. Setiap tahun, ia pergi ke Silo dengan keluarganya untuk mempersembahkan korban dan menyembah Tuhan (1Sam. 1). Tetapi Penina menggunakan kesempatan ini untuk mengolok-olok Hana yang mandul. Jadi setiap kali Hana pergi untuk beribadah kepada Tuhan, kesempatan itu ternoda dengan kesedihan dan aib. Kalau setiap Sabat kita kembali ke rumah dari gereja dengan kesedihan dan air mata, apakah kita dapat bertahan dan terus terus beribadah? Walaupun Hana tentu menyadari bahwa Penina akan mengolok-oloknya, Hana tetap setia melakukan perjalanan ibadah untuk menyembah Allah.
Contoh lain adalah Ayub. Bagi banyak orang, mengalami kebangkrutan dan kehilangan segala harta benda mereka sangatlah menyakitkan. Tetapi apabila mereka masih tetap sehat dan memiliki keluarga yang bahagia, mereka akan dapat membangun kembali kehidupan mereka yang penuh arti. Seseorang yang kehilangan anaknya akan lebih sulit menerima dan melanjutkan hidupnya, seberapa pun lamanya ia bersama anak itu. Kita mungkin mengira menghadapi penyakit kronis lebih mudah dihadapi, tetapi kita tahu dari pengalaman, bahwa infeksi sekecil apapun akan membuat kita memohon Tuhan menyembuhkan kita.
Ayub kehilangan semua hartanya, anak-anaknya, dan kesehatannya. Ia bukan saja kehilangan satu anak, tetapi sepuluh anak-anaknya dan keluarga mereka. Barah merusak wajahnya sampai teman-teman Ayub tidak dapat mengenalinya. Ini pengujian yang tak terpikul, tetapi Ayub tetap berpegang teguh pada imannya. Ia tidak berdosa, walaupun istrinya sendiri berusaha menjerumuskannya. Bukan berarti Ayub tidak merasa sedih atau menderita, tetapi Ayub tahu bahwa ia tidak boleh melakukan dosa melawan Allah.
Meneladani tokoh-tokoh ini, bagaimanakah kita berpegang teguh pada iman kita saat melalui pengujian dan rintangan pertumbuhan rohani kita?
“Bukan berarti Ayub tidak merasa sedih atau menderita, tetapi Ayub tahu bahwa ia tidak boleh melakukan dosa melawan Allah.”
A. Iman, Bukan Perasaan
Kalau kita benar-benar berakar dan bertumbuh secara rohani, maka lingkungan, diri kita sendiri, dan relasi antar-manusia tidak dapat mencegah kita untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Iman tidak bergantung pada perasaan, dan emosi kita tidak boleh lebih diutamakan dalam melakukan kebenaran. Jika kita masih terus berada dan menanamkan akar kita pada perasaan, kita tidak akan pernah dapat bertumbuh dan dikuatkan oleh Tuhan.
B. Senantiasa Dipenuhi Roh Kudus
Kita tidak sepatutnya hanya berdoa di dalam Roh Kudus ketika kita membutuhkan Tuhan. Atau, kita hanya mencari Dia saat kita merasa lemah saja. Kita harus berdoa agar diri kita senantiasa dipenuhi oleh Roh Kudus, yang akan memperbaharui sikap dan karakter kita.
“Satu kali doa dengan penuh kesungguhan tidak dapat mengilhamkan dan memelihara kita untuk terus melakukan kehendak Allah.”
Kalau kita hanya menginginkan “perasaan” rohani yang dipenuhi Roh Kudus, kita tidak akan berakar dalam. Satu kali doa dengan penuh kesungguhan tidak dapat mengilhamkan dan memelihara kita untuk terus melakukan kehendak Allah, memberitakan Injil, dan tetap setia pada firman-Nya, terutama saat kita menghadapi permasalahan dan tidak lagi merasakan perasaan istimewa tersebut. Dapatkah kita menjadi seperti tiga teman Daniel, yang tetap setia ketika dihadapkan pada hukuman mati, walaupun tidak ada tanda-tanda dari Allah bahwa Ia akan menyelamatkan mereka (Dan. 3:16-18)?
Saat ini, kita harus merenungkan apakah kita sedang tunduk pada Roh Kudus dalam hidup kita sehari-hari dan melakukan segala hal yang berkenan keapda Allah. Apabila kita hidup untuk menyenangkan Tuhan, kita dapat memperoleh keyakinan bahwa Allah menyertai kita (Flp. 2:13).
C. Iman adalah Intisari Kehidupan
Iman kita harus menjadi bagian utama dan yang terpenting dalam hidup kita. Walau demikian, kita seringkali menganggapnya sebagai sampingan, yang hanya kita perhatikan saat memiliki kebutuhan atau menghadapi permasalahan. Kita melihat iman hanya sebagai salah satu bagian lain yang harus dikelola, dan memprioritaskan tanggung jawab kita lainnya di atasnya. Misalnya, kita mungkin melihat pendidikan sebagai yang utama dalam hidup kita, dan kita hanya berdoa kepada Tuhan untuk memperoleh keberhasilan akademis. Saat kita sedang menghadapi ujian, kita mungkin menolak pelayanan di gereja, bahkan melewatkan ibadah Sabat. Ini menunjukkan bahwa pendidikan telah menggantikan Allah sebagai pusat hidup kita, dan iman hanya sekadar pelengkap.
“Tetapi kalau kita bisa menenangkan hati kita dan menemukan damai sejahtera di tengah pencobaan, kita tahu bahwa kita telah bertumbuh dalam iman.”
Jika iman benar-benar merupakan pusat hidup kita, walau kita juga menginvestasikan waktu dan usaha dalam bagian-bagian kehidupan lainnya, seperti keluarga, pekerjaan, atau hobi, tetapi kita tidak akan pernah mengorbankan dan mengabaikan ibadah serta hubungan kita dengan Allah. Kita akan terus menerus melakukan perintah Allah, semaksimal yang kita bisa. Iman kita tidak akan lagi runtuh atau tersesat di tengah tantangan – iman akan menjadi hal yang kita pegang teguh sehingga kita dapat tetap berdiri.
PENGHIBURAN DI MASA SUKAR
Saat kita menghadapi tantangan dan berpegang teguh pada iman, Allah tidak akan membiarkan kita menggertakkan gigi dan menembus kesukaran hanya dengan mengandalkan tekad. Allah mengetahui bahwa kita membutuhkan dorongan dan kekuatan yang akan menjaga kita melalui masa-masa yang sukar. Kalau kita percaya bahwa kehendak-Nya baik untuk kita, Allah akan menghibur dan membantu kita bertumbuh.
A. Allah Memberi Tidur Nyenyak Pada Orang yang Dikasihi-Nya
Di masa sukar, rasa takut dan gelisah yang berkecamuk dalam diri kita dapat membuat kita sulit untuk bisa tidur. Tetapi saat kita sepenuhnya mempercayakan hidup kita kepada-Nya, kita akan dapat tidur dengan penuh damai, sama seperti Yesus dan Petrus saat mereka dalam keadaan-keadaan yang berbahaya (Mat. 8:24; Kis. 12:6, 7, 9; Mzm. 127:2). Jika kita dapat merelakan segala sesuatunya dan membiarkan Allah yang memegang kendali sepenuhnya, hati kita akan dapat menjadi tenang saat masalah tiba. Ini bukanlah sikap apatis – kita masih peduli dan dipengaruhi oleh naik-turunnya kehidupan. Tetapi kalau kita bisa menenangkan hati kita dan menemukan damai sejahtera di tengah pencobaan, kita tahu bahwa kita telah bertumbuh dalam iman (Yes. 26:3).
B. Berusaha Menghibur, Bukan Dihibur
Memberikan perhatian kepada orang lain sangat relevan di masa pandemi Covid-19, atau krisis dan bencana lainnya. Secara perorangan, kita telah mengalami berbagai tingkat dan rupa-rupa tekanan dan ketidakpastian. Pembatasan yang ditetapkan pemerintah memberikan pengaruh besar pada kehidupan kita, dan kombinasi faktor-faktor ini menyebabkan krisis kesehatan mental. Tetapi sebagian orang dapat melihat melampaui penderitaan mereka, dan memberikan perhatian kepada orang lain (Flp. 2:30). Kalau kita dewasa secara rohani, kita akan mengesampingkan kekuatiran kita untuk menjangkau saudara-saudari kita, baik dekat maupun jauh, untuk mengetahui keadaan mereka.
BERTUMBUH MELALUI PENCOBAAN
Ada beberapa tokoh dalam Alkitab yang berakar kuat dalam firman Tuhan, yang mencapai tingkat kedewasaan rohani sehingga dapat mengalahkan keadaan mereka. Mereka tidak menunggu keadaan yang damai untuk membangun diri mereka; sebaliknya, mereka tetap dengan setia melayani Tuhan di tengah penganiayaan yang hebat. Walaupun mereka menyadari bahwa sisa waktu mereka di dalam dunia tidak banyak lagi, mereka tidak berkeluh kesah atau bertanya-tanya, tetapi menggunakan segala kesempatan untuk menuliskan nubuat, kesaksian, dan nasihat demi kemajuan iman jemaat.
“Tetapi sebagian orang dapat melihat melampaui penderitaan mereka, dan memberikan perhatian kepada orang lain.”
A. Petrus: Menggenggam Setiap Kesempatan
Ketika Petrus menulis suratnya yang kedua, ia menyadari bahwa dirinya akan segera lenyap (2Ptr. 1:12-21). Apakah yang akan kita lakukan mengetahui bahwa kita “akan segera menanggalkan kemah tubuh” ini? Yesus telah memberitahukan Petrus bahwa ia akan meninggal dengan cara yang mengenaskan (Yoh. 21:18-19). Dirinya akan dianiaya, tetapi kematiannya akan membawa kemuliaan bagi Allah. Petrus pun menuliskan:
“Aku menganggap sebagai kewajibanku untuk tetap mengingatkan kamu akan semuanya itu selama aku belum menanggalkan kemah tubuhku ini. Sebab aku tahu, bahwa aku akan segera menanggalkan kemah tubuhku ini, sebagaimana yang telah diberitahukan kepadaku oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Tetapi aku akan berusaha, supaya juga sesudah kepergianku itu kamu selalu mengingat semuanya itu.” (2Ptr. 1:13-15)
Petrus terus menasihati saudara-saudari seiman, memastikan agar kesaksiannya tetap hidup setelah kematiannya.
Hari ini, apakah kita melepaskan pelayanan kepada Tuhan saat kita masih memiliki kesempatan dan kenyamanan hidup? Saat kita menjadi semakin dewasa dan mendapatkan lebih banyak tanggung jawab dalam kehidupan, kita juga harus memegang setiap kesempatan untuk membangun diri sendiri, mencari kesenangan Allah, dan menasihati orang lain, bagaimanapun keadaan kita.
B. Paulus: Tidak Terkekang Keadaan
Paulus beberapa kali dipenjara dan menjadi tahanan rumah. Andai yang dia rasakan adalah kesedihan maupun frustrasi karena dibelenggu, namun kita tidak pernah melihat gejala-gejala ini. Yang kita lihat, saat Paulus dan Silas dipenjarakan, mereka menghabiskan waktu dengan bernyanyi dan berdoa (Kis. 16:25). Secara jasmani mereka dipenjara, tetapi secara rohani, melalui iman, mereka adalah orang-orang yang merdeka. Pada kesempatan lain, Paulus menjelaskan kepada Timotius, bahwa walaupun dirinya dirantai, namun firman Tuhan tidak pernah terbelenggu (2Tim. 2:9). Inilah sebabnya Paulus dapat menulis banyak surat saat ia berada dalam tahanan rumah (Ef. 6:20). Hari ini, kita mungkin tidak berada dalam penjara, tetapi mungkin kita merasa terbelenggu oleh keadaan. Di masa-masa pembatasan sosial yang ketat, para pemuda dapat merasa terbelenggu dan tidak dapat memperoleh pekerjaan. Para orang tua merasa terkekang oleh tekanan dalam mengasuh anak dan tugas-tugas sekolah, sambil dirinya sendiri masih harus bekerja dari rumah. Seperti dalam penjara, kita kehilangan kebebasan dan dipaksa berada dalam keadaan yang bukan merupakan pilihan kita. Apakah kita merasa putus asa, atau apakah justru kita menggunakan kesempatan ini untuk bertumbuh dalam Kristus?
Paulus mengambil pilihan kedua – tidak dapat lagi berkelana memberitakan Injil, ia mengambil kesempatan untuk menulis. Surat-suratnya menjadi sumber dorongan bagi jemaat dan menjadi bagian penting dalam Perjanjian Baru. Membangun dan mencerahkan begitu banyak jiwa melewati banyak generasi. Hari ini, oleh karena surat-surat Paulus dari penjara, kita juga memperoleh pemahaman yang lebih mendalam pada keyakinan dan pengajaran Allah.
C. Yohanes: Dataran Rohani yang Lebih Tinggi
“kita harus berubah dan mengakarkan diri kita lebih dalam pada firman Allah.”
Hidup Yohanes juga diakhiri dengan keadaan yang mengerikan. Ia dianiaya dan dibuang ke Pulau Patmos sebagai kriminal. Tetapi di sinilah Tuhan menyatakan rahasia-rahasia-Nya dan penglihatan kepada Yohanes tentang hal-hal di masa depan, yang dicatat Yohanes dalam Kitab Wahyu (Why. 1:9). Saat kita berjalan melalui kesulitan, tidak jarang Tuhan menyatakan kehendak-Nya dan menolong kita belajar dari pengalaman.
Tiga rasul ini menghadapi kesesakan, tetapi mereka tidak mengejar kenyamanan atau kemerdekaan; sebaliknya mereka menerima keadaan dan menggunakan keadaan mereka. Mereka mencatat apa yang telah mereka terima dari Allah untuk membangun dan menasihati jemaat. Hari ini, kalau kita ingin berakar di dalam Kristus, gereja-Nya, dan kebenaran, kita harus menanggapi tantangan dan rintangan dengan positif. Kalau perilaku dan pola pikir kita tidak sejalan dengan Alkitab, kita harus berubah dan mengakarkan diri kita lebih dalam pada firman Allah.
KESIMPULAN
Berakar dan bertumbuh dalam Tuhan bukan sekadar pemikiran atau gagasan yang abstrak – tetapi dapat dicapai dengan langkah-langkah yang praktis dan realistis. Allah menghendaki kita semua untuk semakin kuat dibangun dalam Dia. Tetapi yang lebih penting lagi, kita harus berakar, bertumbuh secara rohani untuk memajukan pekerjaan Allah dan membangun orang-orang di sekitar kita, sehingga kita semua dapat dibangun di dalam Kristus (Ef. 4:11-17). Jadi, mari kita renungkan: Seberapa dalam saya berakar pada kebenaran? Seberapa kuat iman saya? Apakah saya mampu mempertahankan keyakinan saya? Dan apakah saya mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Tuhan, apapun yang saya hadapi?
Allah senantiasa menyertai kita, dan tidak akan pernah meninggalkan orang-orang yang melakukan kehendak-Nya. Jadi, janganlah bersusah hati, apapun yang terjadi pada diri kita, karena janji Allah tidak pernah gagal. Kita akan menjadi seperti pohon yang berbuah lebat melalui iman di dalam Tuhan, yang ditanam di tepi air (Mzm. 1:3; Yer. 17:8).