Suara Sejati
Jodoh Versi Suami (Bag 1)
“Sdr. Rusmidi Karyoko, Gereja cabang Jakarta”
Aku merasa kesal sekali siang itu di kantor. Bukannya apaapa, sudah tahu waktu tersebut adalah jam kerja, cewek ini terus saja menelponku. Sudah beberapa hari seperti ini. Ia menelponku selalu saat jam sibuk sampai-sampai aku berpikir jangan-jangan urusan penting. Tetapi setiap kali menelpon, ia hanya berkata, “Halo, lagi ngapain?” Lalu, kebanyakan dia berdiam diri, seakan-akan menyuruhku yang lebih banyak berbicara. “Orang aneh. Benar-benar tidak asyik” pikirku.
Aku bekerja di sebuah biro perjalanan. Pimpinan perusahaan sering keluar kantor. Oleh karena itu, kami para karyawan yang lebih sering melayani pelanggan. Saat itu pertengahan tahun 1999. Handphone hanya dimiliki oleh pimpinan dan ukuran handphone-nya besar dan berat. Internet juga belum digunakan. Semua pesanan tiket, hotel, tour, dilakukan lewat telepon atau fax. Maka, hampir semua pelayanan konsumen mengandalkan telepon. Tidak heran pimpinan sering mengerutkan wajahnya tanda tidak suka, kalau ia menangkap basah karyawan kantor yang menggunakan telepon dalam waktu cukup lama.
Saya sedang melayani pelanggan lewat telepon seperti biasa, saat kasir kami berteriak, “Line 3 untuk loe.” Saya angkat line itu. Begitu mendengar suara di seberang line, perasaan kesal langsung muncul.
“Cewek itu lagi. Sudah yang kesekian kalinya begini terus,” aku menggerutu dalam hati. Dia jemaat satu gereja denganku. Sangat jarang kami berbicara satu dengan yang lain. Menurutku, ia adalah seorang yang tidak menarik.
Apalagi ditambah dengan “aksi teror” telepon selama berhari-hari seperti ini, aku tidak segan-segan untuk mendaftarhitamkan dirinya!
Besoknya, aku memberikan pesan kepada kasir. Kantor kami kecil dan tidak mempekerjakan seorang resepsionis. Oleh karena itu, kasir kami yang dijadikan “tumbal,” merangkap tugas ini dan itu.
Aku berkata pada kasir, “Pokoknya kalau ada telpon buat gue, tolong tanya dulu namanya. Kalau namanya Dewi, gue kagak mau angkat.”
Beberapa hari mulai tenang tanpa ada gangguan. Sampai pada suatu hari, kasir kami sakit dan ia tidak masuk beberapa hari lamanya. Telepon itu berbunyi lagi. Kali ini, suaraku mulai dingin saat berbicara dengan “pengganggu” ini. Dalam hati aku berpikir, “Walaupun loe satu Gereja, tapi kalau nyebelin, tetap akan gue sikat!”
Aku menulis surat agar dapat menyampaikan pesan dengan kata-kata yang lebih jelas. Aku harus tegas kepada jemaat ini. “Kaga boleh dikasih harapan sedikit pun,” aku memutuskan.
Inti dari surat itu tegas, “Gue kagak suka sama loe, jangan ganggu hidup gue!”
Saat bertemu di Gereja, aku menyodorkan surat itu, lalu pergi. Sesudah itu, dia tidak pernah telpon lagi. “Ah, akhirnya…tenang juga hidup ini,” aku merasa lega.
Awal Agustus tahun 1999, aku berusia 28 tahun. Hari itu, aku meminjam kaset dari perpustakaan Gereja. Isi dari kaset tersebut adalah khotbah yang dibawakan oleh seorang pendeta luar negeri yang tutur bahasanya kusuka.
Zaman itu kaset masih umum, selain Laser Disc piringan besar dan Compact Disc yang baru booming. Aku membawanya pulang untuk diputar di rumah. “Ah, ternyata topiknya soal Pernikahan Seiman. Sudah basi ini…” Pikirku. Topik ini sudah sering sekali dibahas oleh pembina di Gereja, apalagi oleh pendeta. “Basi banget,” aku berseloroh.
Aku merasa kecewa setelah mengetahui topiknya adalah tentang pernikahan seiman. Lagi pula, aku belum tertarik untuk menikah. Aku merasa trauma melihat orang tuaku yang bercerai berkali-kali. Pamanku juga demikian. Temanku juga melakukan hal serupa.
“Heran deh, ngapain ya manusia menikah kalau akhirnya saling menyakiti. Kalau akhirnya tidak bahagia, ngapain menikah?” sering aku memprotes dalam hati. Kaset khotbah berputar terus, sampai pada bagian si pengkhotbah mulai menjelaskan tentang aksara mandarin 好. “Nah…ini menarik,” kebetulan aku berminat di bahasa mandarin.
Sang pengkhotbah menjelaskan bahwa ada dua karakter yang membentuk aksara 好 (baik), yaitu 子 (laki-laki) dan 女 (perempuan). Dikatakan, bahwa pada dasarnya Tuhan menciptakan pernikahan itu BAIK adanya.
Gara-gara aku mendengarkan kaset itu, aku jadi bingung. Aku mulai ragu, “benarkah menikah bisa bahagia? Lalu bagaimana dengan orang-orang di sekeliling saya yang menikah, tetapi tidak bahagia? Hanya dengan satu aksara mandarin itu, pikiranku menjadi kacau.
Sudah beberapa hari aku menjalani “ritual aneh.” Setelah pulang kerja, aku masuk ke kamar memikirkan tentang pernikahan. Padahal saat itu, aku sama sekali belum memiliki pacar. Maka aku sering berandai-andai, “Jikalau aku nanti menikah dengan si A, cocok tidak ya dengan sifat A yang demikian? Bagaimana dengan si B? Kalau dengan si C?” Aku mencoba mengurutkan dengan menggunakan abjad huruf agar lebih mudah diingat, meskipun “ritual” ini terasa seperti membuatku menjadi orang yang “tidak waras.”
Ternyata, aku justru menyukai andai-andai yang demikian. Sebab aku merasa lebih obyektif, aku dapat menganalisa kekurangan dan kelebihan orang-orang yang pernah kukenal. Sampai pada urutan huruf D, aku teringat pada ……..
Kesaksian ini akan dilanjutkan pada bagian terakhir
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin