Suara Sejati
Upah Dari Melayani-Nya
Sdr. Bambang Triyono, Gereja cabang Samanhudi, Jakarta
Malam itu hari Jumat, awal tahun 2009, di saat saya belum lama menikah. Hari Jumat malam itu ada ibadah di gereja dan saya bertugas sebagai pemimpin pujian. Seperti biasanya, dari kantor saya menjemput istri lalu bersama-sama menuju gereja.
Agar dapat melayani dengan segar, saya biasanya mencuci muka dahulu di toilet lantai dasar gedung gereja. Kemudian, saya mengganti dengan pakaian kemeja, memakai dasi dan langsung naik ke lantai dua aula gereja. Setelah itu, saya berdoa sebentar lalu berlatih dengan pianis lagu-lagu yang akan dimainkan dan menunggu waktu ibadah dimulai.
Tetapi mendadak saya baru sadar kalau cincin pernikahan tidak ada di jari manis tangan kanan saya. Saya berusaha mengingat-ingat, “Rasanya terakhir saya taruh di gantungan baju toilet pada saat mencuci muka…” Segeralah saya turun untuk mencarinya. Namun, alangkah terkejutnya saya karena cincin sudah tidak ada lagi di toilet. Saya mulai panik. Saya mencari kemana-mana dan bertanya pada satpam yang sedang bertugas di gereja malam itu. Tetapi tetap saja tidak ketemu.
Saya ingin rasanya meminta untuk digantikan orang lain saja tugas memimpin pujian malam itu, sebab hati sedang galau, gelisah dan tidak tenang. Sambil terus memikirkan, dalam hati saya hanya bisa berseru kepada Tuhan Yesus, “Mengapa saat mau melayani Tuhan, aku mendapat masalah seperti ini?”
Saya bukan mempersoalkan harga cincinnya, melainkan saya lebih peduli dengan arti yang dikandung dari cincin tersebut. Saya menikah hanya satu kali dan belum lama saya menikah, cincin sudah hilang.
Tetapi saya coba bulatkan tekad untuk tetap pelayanan dahulu, sambil berusaha untuk mengesampingkan masalah ini. Saya bergumul dan berusaha untuk menyerahkan masalah ini kepada Tuhan.
Saat itu, di dalam hati tetap ada godaan untuk segera pergi mencari dan godaan pikiran bahwa lebih baik mencari dibanding memimpin pujian. Bahkan, pikiran semakin kemana-mana: Jangan-jangan cincin itu diambil pencuri dan sang pencuri sudah lari jauh. Saya tahu bahwa semua pikiran-pikiran tersebut hanyalah kekhawatiran belaka dan belum tentu terbukti benar. Tetapi tetap saja kepikiran, bagaimana jika memang seorang pencuri yang mengambilnya? Bagaimana mungkin bisa mengejarnya jika saya baru mau mulai mencari setelah memimpin pujian?
Tetapi dalam nama Tuhan Yesus saya mantapkan hati untuk tetap melayani tugas memimpin pujian. Begitu saya naik ke lantai dua menuju aula, saya melihat salah seorang saudari sedang berbicara dengan istri saya. Setelah mereka selesai berbicara, barulah saya mendekati istri dan ia bercerita bahwa saudari tersebut menemukan sebuah cincin di toilet dan melihat ada nama istri saya di cincin tersebut. Saudari itu kebetulan mengenali nama istri saya, meskipun hanya beberapa kali bertemu. Alangkah terkejutnya saya mendengar pengalaman tersebut. Langsung di dalam hati timbul rasa sukacita yang luar biasa.
Malam itu, saya dapat melakukan tugas memimpin pujian dengan hati yang bersukacita, karena saya barusan merasakan kasih kemurahan dan kuasa Tuhan.
Memang, tidak banyak jemaat yang mengetahui nama istri saya, sebab kami baru aktif beribadah di gereja setelah menikah. Tentunya, peristiwa hilang dan ditemukannya cincin tersebut oleh saudari yang bersangkutan adalah suatu pengaturan Tuhan yang luar biasa.
Melalui pengalaman ini, selain saya diingatkan untuk tidak ceroboh di dalam meletakkan barang-barang berharga, saya juga diingatkan untuk tetap beriman dan tetap melayani Tuhan—walaupun mendapat kesulitan.
“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 petrus 5:7).
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin