Mezbah Keluarga
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Aun Quek Chin—Singapura
Mezbah Keluarga
“Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.” (Ul. 6:6-9)
Musa menasehati umat Allah untuk menempatkan firman-Nya ke dalam hati mereka dan mengajarkannya kepada anak-anak mereka. Mengikat firman-Nya sebagai tanda pada tangan dan dahi mereka adalah untuk mengingatkan mereka untuk tidak melanggar firman Allah dalam pikiran atau perbuatan. Menuliskan Firman Allah pada tiang pintu rumah dan pintu gerbang menekankan ketaatan pada Firman Allah, baik di dalam maupun di luar rumah. Hari ini, walaupun kita tidak perlu menuliskan Firman Allah pada pintu rumah kita secara harfiah, kita masih harus mengajarkannya di dalam rumah kita. Cara terbaik untuk melakukan hal ini adalah dengan membangun mezbah keluarga, dengan meluangkan waktu bagi semua anggota keluarga untuk membaca Alkitab, menyanyikan Kidung pujian, dan berdoa bersama-sama. Pada waktu mezbah, semua anggota keluarga harus mengesampingkan perkara-perkara yang tidak berhubungan dengan iman, dan membagikan Firman Allah untuk saling menasihati. Mezbah keluarga seperti ini akan dikenan Allah dan diberkati oleh-Nya.
Alkitab mencatat empat contoh mezbah keluarga yang dapat kita pelajari, sembari kita membangun mezbah keluarga kita.
- MEZBAH KELUARGA ADAM: MEWARISKAN IMAN
“Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain. Dengan jalan itu ia memperoleh kesaksian kepadanya, bahwa ia benar, karena Allah berkenan akan persembahannya itu dan karena iman ia masih berbicara, sesudah ia mati.” (Ibr. 11:4)
Mempersembahkan korban bukanlah sesuatu yang ditemukan oleh Habel, melainkan diajarkan oleh orang tuanya. Setelah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, mereka menyadari dan merasa malu atas ketelanjangan mereka. Karena belas kasihan, Allah menyuruh mereka untuk menyembelih seekor anak domba dan menggunakan kulitnya untuk menutupi aib mereka. Ini adalah korban pertama. Mempelajari hal ini dari orang tuanya, Habel menerima praktik ini, yang mungkin mempengaruhi pilihan pekerjaannya sebagai gembala. Sebelum air bah, umat manusia tidak pernah dicatat memakan daging (Kej. 9:3). Jadi Habel menggembalakan domba bukan untuk makanan, tetapi kemungkinan besar sebagai korban untuk dipersembahkan kepada Allah. Hari ini, kita percaya bahwa Tuhan Yesus adalah Anak Domba penebusan. Agar kita dan keluarga kita dikenan menerima anugerah keselamatan Allah dari Yesus, kita harus membangun mezbah iman keluarga.
“Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.” (2Tim. 15)
Paulus memuji iman Timotius dan memupuk pertumbuhannya. Tetapi sebelum Paulus muncul dalam kehidupan Timotius, bagaimana iman Timotius dibangun dan didirikan? Paulus bersaksi bahwa imannya diwariskan dari nenek Timotius kepada ibunya, dan akhirnya kepadanya. Warisan iman dari satu generasi ke generasi berikutnya sangatlah penting. Walaupun gereja berperan penting dalam membangun Iman, dasar utamanya tetap berada dalam keluarga. Jadi kita harus memprioritaskan pembangunan iman pribadi kita dan juga iman keluarga kita, dengan membangun mezbah iman keluarga kita.
Sebagian orang berkata, “anak saya terlalu kecil”, atau “anak saya terlalu banyak PR”, atau “kita sudah lelah bekerja. Tidak ada waktu buat mezbah keluarga!” Apakah mezbah itu? Mezbah adalah tempat korban diletakkan. Kalau iman adalah hal yang penting bagi kita, kita harus dengan tegas meluangkan waktu untuk itu. Kita dengan sukarela meluangkan waktu untuk berbagai hal – beberapa mungkin memang perlu dilakukan, tetapi ada waktu yang kita habiskan sia-sia, dan hanya menyisakan peluh dan kehampaan. Waktu yang diluangkan untuk mezbah keluarga mungkin membuat kita semakin merasa lelah, tetapi yang pasti kita tidak akan merasa hampa, karena kita meluangkan waktu bersekutu dengan kekekalan.
Waktu yang diluangkan untuk perkara yang kekal tidak akan pernah terbuang sia-sia, karena Allah kita yang kekal akan mengingat dan memberkati kita atas waktu yang kita luangkan dan atas-Nya. Kalau kita mementingkan hubungan kita dengan Allah Yang Mahakuasa dan Bapa di Surga, Ia pun akan mementingkan kita. Apabila Allah melihat bahwa kita mementingkan mezbah keluarga kita, walaupun kita menjalani hidup yang penuh kesibukan, pengorbanan yang kita lakukan akan disukai dan dikenan oleh-Nya. Berkat-berkat pun akan mengikuti kita (Mat. 6:33). Sebaliknya, waktu yang kita habiskan untuk perkara-perkara yang fana, pada akhirnya akan sia-sia, betapa pun menyenangkan kegiatan yang kita lakukan.
Berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk mengejar perkara yang kekal? Berapa banyak hal yang kita lakukan hari ini yang akan bertahan hingga kekekalan? Kalau kita ingin mengoptimalkan waktu kita di bumi, maka luangkanlah waktu untuk menjalankan mezbah keluarga.
- MEZBAH KELUARGA NUH: UCAPAN SYUKUR
“Lalu Nuh mendirikan mezbah bagi TUHAN; dari segala binatang yang tidak haram dan dari segala burung yang tidak haram diambilnyalah beberapa ekor, lalu ia mempersembahkan korban bakaran di atas mezbah itu. Ketika TUHAN mencium persembahan yang harum itu, berfirmanlah TUHAN dalam hati-Nya: “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan.” (Kej 8:20-21)
Keluarga Nuh diselamatkan dari air bah. Keluar dari bahtera, Nuh memimpin keluarganya membangun mezbah untuk mengucap syukur atas kasih karunia Allah.
Hari ini kita telah ditebus oleh Allah, dan keluarga kita memperoleh lebih banyak berkat dibandingkan orang-orang pada masa lalu. Tetapi apakah ucapan syukur kita pun bertambah? Kadang-kadang orang tidak bersyukur dengan tulus karena mereka mengaitkan keberhasilan mereka dengan kemampuan pribadi dan ketekunan mereka, ketimbang oleh karena kasih karunia Allah. Kita dapat melihat kecenderungan ini dari sejarah. Musa memperingatkan bangsa Israel untuk tidak menjadi tinggi hati apabila kekayaan mereka bertambah-tambah di Kanaan (Ul. 8:11-18). Ia menasihati mereka untuk mengingat bahwa keberhasilan mereka bukanlah karena kemampuan mereka, tetapi karena Allah, yang memberi mereka hidup dan kesempatan untuk memperoleh kekayaan. Tanpa kesehatan ataupun kehidupan, ketekunan tidak ada artinya. Jadi kita harus senantiasa bersyukur kepada Allah, yang telah memberikan kita kehidupan dan kesempatan untuk menikmati hasil jerih lelah kita.
Nuh membangun mezbah untuk bersyukur kepada Allah atas pemeliharaan dan perlindungan-Nya. Mezbah keluarga menjadi peringatan bagi keluarga kita, untuk selalu bersyukur kepada Allah atas segala yang kita peroleh. Dalam perayaan keluarga, seperti perayaan ulang tahun, keberhasilan pendidikan, keberhasilan pekerjaan, atau setelah kita selamat dari celaka, apakah kita mengesampingkan waktu untuk bersyukur kepada Allah dengan setulus dan sepenuh hati?
Mezbah keluarga juga menjadi wadah yang berharga untuk menunjukkan penghargaan kita bagi anggota-anggota keluarga, atas bantuan dan dukungan mereka yang berperan penting bagi keberhasilan kita. Allah memelihara kita dengan memberikan orang tua yang membesarkan kita. Saat kita hidup mapan dan sejahtera, selain mengucap syukur atas kasih karunia Allah, mari kita juga menghargai usaha dan jerih lelah anggota keluarga kita.
- MEZBAH KELUARGA ABRAHAM: PERCAYA PADA BIMBINGAN ALLAH
“Abram membawa Sarai, isterinya, dan Lot, anak saudaranya, dan segala harta benda yang didapat mereka dan orang-orang yang diperoleh mereka di Haran; mereka berangkat ke tanah Kanaan, lalu sampai di situ. Abram berjalan melalui negeri itu sampai ke suatu tempat dekat Sikhem, yakni pohon tarbantin di More. Waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu. Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya.” (Kej. 12:5-7)
Abraham percaya kepada Allah, dan mengikuti panggilan-Nya untuk membawa keluarganya keluar dari tanah Ur-Kasdim. Meninggalkan kampung halaman menuju tempat yang asing dan tidak dikenali, mereka mungkin merasa kuatir, tidak ada pertolongan, dan sendirian. Allah menyadari hal ini, sehingga Ia menampakkan diri kepada Abraham. Allah menegaskan janji-Nya, bahwa walaupun Abraham hidup di tanah asing tanpa sanak keluarga, Allah menyertainya. Abraham merasa terhibur dan memperoleh damai sejahtera. Namun, ia juga menyadari bahwa selain memperoleh jaminan Allah, ia harus memimpin keluarganya untuk percaya kepada Allah di tengah kelemahan, kekuatiran, dan kesendirian mereka. Mereka pun harus mengetahui bahwa Allah menyertai mereka. Inilah sebabnya Abraham membangun mezbah bagi Tuhan. Hari ini, kita harus membangun mezbah keluarga seperti ini untuk menunjukkan bahwa kita membutuhkan penyertaan Allah.
“Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.” (Mzm. 127:1)
Ayat ini dengan jelas menyatakan keterbatasan manusia dan ketidakterbatasan Allah. Kita mungkin dapat membangun rumah impian, tetapi tidak dapat membangun keluarga yang bahagia, betapa pun kerasnya usaha kita. Seringkali rumah besar nan indah penuh dengan penyesalan. Orang dari luar mungkin iri dengan kemewahan harta kekayaan, tetapi keindahan lahiriah hanya berperan menyelubungi hati yang pedih dan air mata.
Kita berusaha keras untuk menjaga setiap anggota keluarga kita dan menguatirkan kemunduran-kemunduran rohani mereka, tetapi tidak banyak yang dapat kita lakukan untuk memastikan keberlangsungan rohani dan iman mereka. Kalau anggota keluarga kita jatuh dalam iman, kita mungkin tidak dapat selalu mengawasi mereka, tetapi Tuhan kita senantiasa mengawasi. Jadi kita harus memohon kepada Allah agar Ia memelihara, memimpin, dan menolong kelemahan kita, sehingga kita dapat bersukacita dalam dukacita, dan anggota keluarga kita yang hilang dapat kembali dari pengembaraan mereka.
Generasi masa kini adalah generasi pemberontak. Namun diri mereka sendiri mungkin tidak memandang perilaku mereka sebagai pemberontakan, melainkan hanyalah penegasan atas kebebasan dan hak mereka untuk berekspresi. Jadi mereka tidak menyadari bahwa kebebasan dan ekspresi mereka dapat melukai orang lain. Misanya, ketika mereka mengalami kemunduran iman atau berpaling dari kebenaran, mereka masih mengira berada di jalan yang benar, walaupun mereka menyebabkan banyak duka bagi orang-orang yang mengasihi mereka.
Beberapa orang tua menyalahkan masyarakat yang menodai anak-anak mereka, dan menyalahkan gereja yang tidak mengajarkan anak-anak mereka dengan benar. Tetapi Sabat hanyalah satu hari dalam satu minggu. Ke manakah orang tua membawa anak-anak mereka di enam hari yang lain? Mengikuti kebaktian dan Kelas Anak hanyalah beberapa jam saja. Apa yang kita nasihatkan kepada anak-anak kita dalam waktu selebihnya?
Pendeknya, pengaruh masyarakat pada anak-anak kita adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Para pendeta dan guru-guru agama memang berperan penting untuk menjaga tren-tren sosial yang merusak anak-anak kita, dan kita memohon agar Allah memberikan hikmat-Nya kepada mereka. Namun, anak-anak kita lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Orang tua tidak dapat mengandalkan dua jam Kelas Anak di gereja untuk membangun kerohanian mereka. Orang tualah yang seharusnya memikul tanggung jawab yang lebih besar.
Belajarlah dari Abraham yang membangun mezbah keyakinan pada pimpinan Allah; pimpinlah keluarga kita untuk melakukan hal serupa. Melihat bagaimana orang tua menempatkan iman mereka sebagai prioritas yang terutama, anak paling pemberontak pun akan melihat usaha ini dan memahami betapa orang tua mereka peduli pada iman mereka. Pengetahuan ini akan membantu anak-anak kita menahan diri dari dosa. Kalau pun mereka tidak langsung bertobat, mereka tahu bahwa mereka harus bertobat. Pada akhirnya, mezbah keluarga akan mempengaruhi pemulihan iman mereka.
- MEZBAH KELUARGA AYUB: MENCARI PENGAMPUNAN ALLAH
“Setiap kali, apabila hari-hari pesta telah berlalu, Ayub memanggil mereka, dan menguduskan mereka; keesokan harinya, pagi-pagi, bangunlah Ayub, lalu mempersembahkan korban bakaran sebanyak jumlah mereka sekalian, sebab pikirnya: ‘Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati.’ Demikianlah dilakukan Ayub senantiasa.” (Ayb. 1:5)
Ayub mendirikan mezbah keluarga bagi anak-anaknya. Ia sepenuhnya menyadari kelemahan mereka. Sesungguhnya, setiap orang tua mengetahui seperti apakah anak-anak mereka, karena mereka hidup bersama dan mengenal anak-anak mereka sejak lahir. Orang tua mengetahui karakter, kekuatan dan kelemahan anak-anaknya, dan bagaimana mereka mungkin melanggar firman Allah. Ayub kuatir ketakutannya menjadi kenyataan. Ia tidak membangun mezbah keluarga kalau anak-anaknya sudah melakukan dosa; ia membangun mezbah karena mungkin anak-anaknya telah berbuat dosa dan mengutuki Allah. Ayub melakukan hal ini secara rutin, dan anak-anaknya tentu menyadari betapa ayahnya kuatir mereka berbuat dosa. Mereka tahu ayahnya mendoakan mereka, memohon pengampunan Allah bahkan sebelum mereka berbuat dosa. Walaupun mereka tidak menyatakan terimakasih secara terbuka, hati mereka tentunya tergerak. Kita harus membangun mezbah keluarga seperti Ayub karena kita dan anak-anak kita memiliki kelemahan, dan kita membutuhkan firman Allah untuk memimpin kita, agar kita tidak keluar dari jalan-Nya.
Ketika kita menasihati anak-anak kita, reaksi pertama mereka mungkin mengabaikan kita. Nasihat dan perkataan kita mungkin tidak didengar. Namun kata-kata ini sudah disemaikan dalam hati mereka. Apabila mereka berjalan menyimpang, pengingat akan muncul ke benak mereka. Setidak-tidaknya, pengingat ini akan menahan dan membuat mereka berpikir ulang apabila mereka harus melanjutkan jalan dosa atau bertobat. Kalau orang tua tidak menasihati mereka, tidak ada yang menghalangi mereka untuk berhenti dan berpikir kembali. Anak-anak dapat menafsirkan diamnya orang tua sebagai ketidakpedulian atas kemunduran rohani anak-anaknya; mereka akan menyimpulkan bahwa iman bukanlah perkara penting dan mereka akan meneruskan melakukan apa yang mereka inginkan. Apabila kita tahu bahwa anak-anak kita telah melakukan dosa, kita harus meluangkan waktu untuk membicarakannya dengan mereka. Mezbah keluarga dapat menjadi kesempatan yang baik untuk itu – inilah waktu dan tempat bagi setiap anggota keluarga untuk saling menasihati dengan firman Allah.
Firman Allah sungguh merupakan bagian penting dalam mezbah keluarga. Apabila ada anggota keluarga yang tersandung, kita menggunakan firman Allah untuk menasihatkan mereka agar bertobat. Kalau ada keluarga yang sedih, kita menggunakan firman Allah untuk menghibur mereka. Kadang tidak ada yang dapat kita lakukan untuk membantu, terutama dalam perkara hati, karena itulah kita membutuhkan firman Allah. Kalau anggota keluarga menghadapi masalah, lewat mezbah keluarga ini, kita dapat mengajak mereka agar tidak menyimpannya di dalam hati. Walaupun kita tidak dapat memecahkan masalahnya, setidaknya kita dapat berbagi beban dan mendoakannya bersama-sama.
PENUTUP: TETAP KUAT BERSAMA
Rumah adalah tempat di mana kita dapat mengalami sukacita yang besar, tetapi juga dukacita. Kita sangat mengasihi keluarga, tetapi kita juga mungkin bertengkar. Ada masa kita saling percaya, dan ada kalanya tidak. Tetapi kalau setiap anggota keluarga menempatkan Allah sebagai pusat kehidupannya, kita akan belajar untuk saling memaafkan dan menerima satu sama lain, seperti Allah telah mengampuni kita. Maka keluarga akan dapat saling mengasihi di tengah pertengkaran ataupun badai kehidupan. Tetapi kalau Allah bukanlah pusat kehidupan kita, rumah dapat menjadi medan peperangan, di mana anggota keluarga saling bertarung melindungi kepentingan mereka sendiri; rumah bahkan dapat menjadi seperti hotel, di mana kita berdiam di satu atap tetapi di kamar yang berbeda, dan tidak saling berbagi tentang apa yang terjadi dalam hidup kita.
Mezbah keluarga sangatlah penting untuk mengingatkan kita agar selalu menempatkan Allah sebagai pusat keluarga kita. Mari kita belajar dari Adam, Nuh, Abraham, dan Ayub dalam membangun mezbah iman, mezbah syukur, mezbah keyakinan pada pimpinan Allah, dan mezbah pengampunan Allah, agar seluruh keluarga kita dapat dipimpin untuk menerima berkat-berkat Allah.