Suara Sejati
Saat Tiga Anak Sakit
Sdri. Meriana Tju, Gereja cabang Samanhudi, Jakarta
Tanggal 02 Februari 2020 yang lalu, ada perayaan khusus di Sekolah Kanaan untuk menyambut usia sekolah yang genap 50 tahun. Tentunya banyak hal yang harus disiapkan supaya acara bisa berlangsung meriah. Acara akan dilangsungkan di hotel Discovery, kawasan Ancol. Semua panitia yang terlibat menjadi sangat sibuk, termasuk saya.
Tapi di saat seperti ini, pada waktu musim hujan, banjir sering melanda Jakarta. Cuaca yang tidak menentu berpengaruh ke kesehatan anak-anak saya.
Menjelang hari perayaan sekolah, tiga anak saya semua demam. Mungkin ini bisa dipahami oleh orangtua yang memiliki beberapa anak. Saat satu anak sakit, kadang penyakitnya menular ke anak yang lain.
Saya bingung, antara harus mengurus anak sakit atau fokus pada acara perayaan sekolah.
Pagi itu, 02 Februari 2020, kondisi anak-anak masih sakit. Bersyukur, ibu saya datang untuk menjaga dan menemani anak-anak, sehingga saya bisa pergi ke lokasi acara sekolah.
Sejumlah rekan kerja yang tahu keadaan anak-anak saya yang sakit, menanyakan kabar mereka. Saya berikan jawaban apa adanya.
Dalam acara perayaan tersebut, saya beserta dengan rekan-rekan sekerja yang lain dipertanggung-jawabkan untuk mengurus beberapa tim kecil yang akan tampil. Tugas itu tidak mudah dipindahkan ke koordinator yang lain, karena masing-masing sudah ada tugas yang tidak kalah pentingnya. Oleh karena itu, kami tetap berusaha untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah diberikan.
Akhirnya malam pun tiba, acara perayaan berlangsung dengan cukup lancar dan meriah. Selesai acara, saya segera pulang.
Begitu sampai di rumah, kemeriahan acara tidak bisa saya ceritakan ke keluarga. Mama dan suami saya sudah lelah sepanjang hari mengurus anak-anak yang sakit. Kami berdoa bersama supaya Tuhan menyembuhkan anak-anak.
Puji Tuhan, anak sulung kami, Jonathan sudah membaik, sudah tidak demam lagi. Malam itu kami lewati dengan mengurus sisa dua anak yang masih sakit, membujuk anak untuk minum obat, mengompres dahi mereka, dan hal-hal lainnya. Demikianlah perhatian demi perhatian diberikan sepanjang malam.
Esok harinya, tanggal 03-Februari-2020, kami putuskan untuk membawa mereka ke dokter—karena demam sudah sampai hari ke-3, terutama untuk Nea dan Timothy. Mereka ditangani oleh perawat dan menjalani pemeriksaan darah. Anak-anak kami masih demam, batuk dan pilek.
Saat itu virus Corona sudah mulai ramai diberitakan, tetapi Indonesia tetap menyatakan belum ada pasien yang terjangkit. Kami tetap memutuskan untuk pergi ke rumah sakit di dalam kondisi penuh kekuatiran akan banyak hal.
Ketika kami menerima hasil pemeriksaan Nea, walaupun belum terlalu buruk, kami putuskan Nea untuk menjalani rawat inap.
Alasan pertama, karena prosedur di rumah sakit butuh waktu. Alasan Kedua, tahun sebelumnya anak sulung kami Jonathan pernah mengalami hal serupa. Saat itu dokter menyarankan pulang saja, menunggu kondisi “memburuk” baru balik ke rumah sakit untuk dirawat. Hasilnya, kami kewalahan, karena membujuk anak—apalagi yang sedang sakit—sungguh tidak mudah.
Saat itu, Jonathan butuh waktu sehari semalam baru bisa ditangani pihak rumah sakit. Tentu kami tidak mau hal ini terulang. Akhirnya pihak rumah sakit membantu proses untuk rawat inap.
Malam itu, Timothy dibawa juga ke rumah sakit untuk rawat inap. Tetapi karena sebelumnya kami tidak memesan kamar untuk Timothy, pihak rumah sakit mengatakan kamar mereka berdua akan terpisah.
Tentu saya menjadi bingung, karena akan repot sekali kalau mengurus dua anak rawat inap di kamar yang berbeda. Saya berdoa dalam hati, “Tuhan tolonglah kami…..” Tiba-tiba terpikir untuk membawa mereka pulang ke rumah, karena lebih banyak bala bantuan. Namun, melihat anak sudah lemas, saya kuatir jika dibawa pulang maka penanganan medis menjadi terhambat.
Saya beranikan diri bertanya ke perawat yang bertugas mengenai solusinya. Kami ditawarkan kamar SVIP dan langsung saya tolak karena biayanya yang jauh lebih tinggi.
Oleh karena pengaturan Tuhan, setelah menunggu sekian waktu, akhirnya Timothy bisa mendapat kamar yang sama. Sungguh lega rasanya.
Timothy dikirim ke kamar rawat. Setelah itu, suami baru dapat mengurus administrasi dan pembayaran. Tentunya, hal itu karena kemurahan Tuhan. Biasanya pihak rumah sakit selalu dengan ketat mengharuskan pasien untuk mengurusi administrasi dahulu, barulah pasien bisa masuk kamar rawat inap.
Saya bertiga di kamar rawat. Nea dan Timothy serasa mendapat semangat, karena mereka memang tumbuh bersama, sakit pun sekarang bersama-sama.
Saat harus memilih dokter, ternyata dokter yang ditawarkan berbeda untuk kedua anak ini. Diagnosa mereka berbeda, maka penanganan yang diajukan pun berbeda.
Saya pasrah saja bersama kedua anak di rumah sakit. Saya pikir, paling tidak anak-anak sudah ditangani dengan cara yang tepat secara medis.
Puji Tuhan, hari demi hari anak-anak semakin membaik. Hanya proses pemulihan mereka berbeda. Timothy belum bisa dipulangkan, sementara Nea sudah boleh pulang. Kami minta pihak rumah sakit agar bisa disamakan waktu pulangnya.
Dokter berkata bahwa kami harus menunggu hasil pemeriksaan sore hari itu. Puji Tuhan, akhirnya hasil keluar, menunjukkan angka yang sudah di batas normal, sehingga kedua anak bisa pulang bersama dari rumah sakit malam itu.
Puji Tuhan Yesus, yang mengatur semuanya agar bisa berjalan dengan lancar.
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin