Kesan-kesan dari Zambia : Perjalanan Penginjilan
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Andy Wang – Irvine, California, Amerika Serikat
KESAN DARI ZAMBIA: PERJALANAN PARA RASUL
Dalam nama Tuhan Yesus Kristus, saya bersaksi. Pada bulan Juni 2011, saya diberkati dengan kesempatan untuk ikut serta dalam perjalanan penginjilan ke Zambia. Saya menemani pendeta Chong dari Gereja Yesus Sejati di London, Inggris dan pendeta Jung dari Gereja Yesus Sejati di El Monte, Amerika Serikat. Tujuan perjalanan ini ada dua, yaitu melayani jemaat-jemaat di Zambia dan melakukan penginjilan ke daerah terpencil.
Perhentian pertama kami adalah di Kitwe. Di sana terdapat dua tempat ibadah, yaitu Chimwemwe dan Chambol. Tempat-tempat ini meninggalkan kesan yang sangat mendalam karena kami menghabiskan sebagian besar waktu di kedua lokasi ini. Kami menetap di rumah jemaat di Chimwemwe dan sering mengunjungi kedua tempat ibadah ini. Tugas saya adalah mengajar pendidikan agama kepada anak-anak, memimpin pemahaman Alkitab untuk pemuda, dan secara umum membangun ikatan dengan para jemaat.
SEDERHANA NAMUN BAHAGIA
Melalui interaksi dengan jemaat, saya menemukan bahwa mereka ini adalah orang-orang yang paling sederhana yang pernah saya temui. Mereka menjalani kehidupannya dengan mencukupkan diri dengan apapun yang mereka miliki dan sangat cakap dalam memaksimalkan kepunyaan mereka. Sebagai contoh, setiap hari mereka terbiasa bangun sekitar pukul empat pagi dan memanfaatkan waktu mereka sehari penuh untuk menyelesaikan banyak tugas. Mereka juga akan memanfaatkan air sumur yang hanya tersedia pada waktu-waktu tertentu di hari itu. Anak-anak kecil yang berumur tiga tahun pun sudah terampil mencuci pakaian dengan tangan mereka. Gerakan yang tangkas saat memeras pakaian yang basah dengan pergelangan tangan mereka adalah bukti nyata usaha keras mereka dalam melakukan segala kegiatan sehari-hari. Mereka menunjukkan semangat dan kerja keras. Saya percaya Allah memberkati mereka dengan hati yang ceria dan penuh ucapan syukur di tengah keadaan yang tampak seperti sebuah kesengsaraan.
Walaupun saya telah menghadiri banyak persekutuan di Amerika Serikat, pengalaman di Zambia sungguh sederhana dan hangat. Seringkali jemaat akan berkumpul setelah matahari terbenam dan menyanyikan lagu yang menggetarkan jiwa dan lagu-lagu daerah tanpa diiringi alat musik. Pada awalnya saya ragu ikut bernyanyi karena lirik dan melodi lagunya terasa asing bagi saya. Namun suara mereka sangat indah dan sedemikian serasi sehingga saya terdorong untuk bergabung dan dengan cepat ikut tenggelam ke dalam suasana pujian. Karena kami menyanyi dengan kesungguhan hati dekat perapian hingga malam hari, saya merasakan persahabatan yang erat dengan saudara-saudara ini, sekalipun kami baru bertemu.
Saya juga menikmati kedekatan dengan jemaat-jemaat muda melalui permainan bola dan lari di atas jalan tak beraspal yang tidak rata. Gundukan bola kecil yang terbuat dari gumpalan kantong-kantong sampah digunakan sebagai bola “FIFA”. Kaki-kaki mereka sudah sangat kapalan, dan mereka dapat berlari dengan cepat seperti rusa. Ada kesan kebebasan hakiki yang tidak dapat saya temukan di dunia saya yang penuh dengan kemajuan teknologi di Amerika Serikat.
ORANG-ORANG BEREA DI AFRIKA
Selain hidup mereka yang sederhana dan apa adanya, jemaat Zambia juga mempunyai hati yang murni dalam beribadah dan menerima kebenaran.
Pada saat seminar tentang Nabi-Nabi Kecil dan doktrin-doktrin dasar gereja, saya melihat jemaat memperhatikan seminar dengan sungguh-sungguh. Mereka mempelajari ayat-ayat Alkitab dengan ketekunan dan penuh perhatian, sama seperti orang-orang Berea di zaman Paulus. Suatu malam ketika Pdt. Chong sedang mendiskusikan kebangkitan gereja para rasul seperti yang dinubuatkan di Kitab Yesaya, jemaat dengan semangat mengangkat tangan mereka untuk mengajukan banyak pertanyaan. Setelah diskusi, mereka sepakat bahwa kasih karunia Allah memungkinkan Injil tersebar dari Timur ke Barat, sampai ke Zambia. Mereka bersukacita dan bersyukur kepada Allah dengan tepuk tangan yang keras.
Terlebih, pengalaman saya dalam penginjilan begitu berkesan. Saya biasanya merasa ragu menyatakan iman dan memberitakan Injil dengan berani. Di Amerika, orang-orang mengikuti berbagai ragam agama dan filsafat. Kadang-kadang saya merasa kesulitan berbicara dengan pendengar yang kita tuju dan topik apa yang dibahas.
Di Zambia, pada umumnya orang-orang di sana beragama Kristen. Pada umumnya mereka sepakat bahwa kita harus memanggil nama Tuhan untuk bisa diselamatkan dan dosa dihapuskan melalui baptisan.
Dalam salah satu penginjilan sore yang kami lakukan, saya bertemu dengan seorang pendeta dari sebuah denominasi yang belum memahami bahwa cara baptisan yang benar sangatlah penting untuk mempunyai kuasa menyelamatkan. Saya menjelaskan kepadanya bahwa kita harus sepenuhnya diselamkan pada waktu dibaptis dan menundukkan kepala serupa dengan kematian Kristus. Pada awalnya cara-cara ini tampak seperti sekadar rincian-rincian simbolis baginya. Namun oleh karena kasih karunia Allah, ia dapat memahami pentingnya mengikuti teladan Yesus.
Zambia merupakan negara yang takut akan Allah. Begitu mereka mendengarkan Injil kebenaran, tidak banyak yang menahan diri mereka untuk bertobat, karena mereka menyadari bahwa “firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.” (Ibr. 4:12)
MENJAWAB PANGGILAN ORANG MAKEDONIA
Di Solwezi, Pdt. Jung, pengerja gereja lokal, dan saya bertemu dengan seorang pemimpin gereja dari sebuah denominasi di penginapan tempat kami menginap. Ia bertanya apakah kami adalah rombongan penginjil yang menginap di sana, dan kami mengiyakan. Pemimpin gereja itu ingin mendiskusikan doktrin-doktrin gereja dengan maksud menggabungkan gerejanya dengan Gereja Yesus Sejati.
Menyadari bahwa ini bukanlah maksud kedatangan kami, kami merasa tidak yakin apakah waktu dan usaha menginjilinya akan bermanfaat. Namun kami sepakat bahwa kami akan bertemu lagi dengannya di ruang tamu malam nanti untuk berdiskusi lebih lanjut. Pengerja lokal bersikukuh bahwa ini mungkin adalah jalan yang hendak dibuka Allah karena tersebut berasal dari Kabompo, wilayah di Zambia yang tidak memiliki tempat ibadah. Kemudian kami berdoa bersama-sama selama satu jam, memohon agar Allah memimpin kami menurut kehendak-Nya.
Tidak lama setelah itu, pemimpin gereja itu menemui kami di ruang tamu. Kami mulai menjelaskan satu demi satu mengenai sepuluh dasar kepercayaan kita, sembari memperhatikan wajahnya untuk melihat apakah ia mau menerima firman Allah. Secara mengejutkan, ia percaya dengan apa yang kami sampaikan dan menunjukkan minat yang besar. Pada akhirnya ia terlilhamkan untuk belajar lebih banyak tentang firman Allah dan mendesak agar pendeta kita datang mengunjungi Kabompo. Ia langsung bangkit dengan sukacita dan menelepon menanyakan gagasan untuk mengadakan KKR. Kami sangat tersentuh oleh kasih karunia Allah, karena kami menyadari bahwa ini mungkin merupakan titik awal sesuatu yang luar biasa.
Beberapa hari kemudian, Pdt. Chong tiba di Kabompo, dan dengan bantuan seorang saudara dari Chimwemwe, ia membuka kelas-kelas dasar kepercayaan selama beberapa hari. Jemaat gereja di Kabompo sepenuhnya tergerak oleh firman Allah dan datang menerima kebenaran. Beberapa hari kemudian, diadakan baptisan khusus di Kabompo dan lima pemimpin gereja di sana dibaptis.
Ketika Pdt. Jung dan saya mendengar kabar baik itu, kami berlutut berdoa dan memuji Allah dengan sukacita dan rasa syukur. Kami takjub dengan kuasa dan kehendak Allah yang ajaib. Tak diragukan lagi, Roh Kudus bekerja dalam penginjilan ini!
Pengalaman ini mengingatkan saya pada jawaban Paulus pada panggilan untuk menginjil ke Makedonia.
“Pada malam harinya tampaklah oleh Paulus suatu penglihatan: ada seorang Makedonia berdiri di situ dan berseru kepadanya, katanya: “Menyeberanglah kemari dan tolonglah kami!” Setelah Paulus melihat penglihatan itu, segeralah kami mencari kesempatan untuk berangkat ke Makedonia, karena dari penglihatan itu kami menarik kesimpulan, bahwa Allah telah memanggil kami untuk memberitakan Injil kepada orang-orang di sana.” (Kis. 16:9-10)
BERSANDAR PADA ALLAH
Dalam perjalanan ini, saya juga menyadari bahwa sebagian besar pergumulan saya di Zambia adalah pergumulan mental dan pribadi. Saya merasa diri saya seperti menjadi musuh saya sendiri. Saya selalu hidup nyaman di Amerika dan tidak pernah menguatirkan kebutuhan-kebutuhan pokok. Kadang-kadang saya bahkan mengeluhkan makanan yang saya santap atau hal-hal yang saya inginkan. Tetapi di Zambia, saya tiba-tiba dilemparkan ke dunia tanpa listrik, air bersih, mesin cuci, toilet, dan makanan favorit. Saya merasa seakan-akan hidup dalam dunia yang berbeda dan perlu segera beradaptasi.
Setiap hari, kami selalu bergerak, bepergian dari tempat ibadah ke tempat ibadah, berjalan kaki berjam-jam di jalan yang hanya diterangi bintang-bintang pada waktu malam, sembari dikawal oleh jemaat melalui kesibukan dan hiruk-pikuk pedesaan. Di hari-hari pertama, saya merasa gelisah dengan jadwal harian dan kuatir dengan kesehatan saya di tengah keadaan yang keras itu. Semua pikiran ini menjadi pergumulan mental yang bahkan membuat saya kurang tidur.
PEMIKIRAN AKHIR
Secara umum, perjalanan penginjilan ini adalah pengalaman yang membuka mata pada amanat agung Allah untuk memberitakan Injil ke segala penjuru bumi. Hidup di Amerika membuat saya menjadi pemalas, dengan rutinitas gereja dan kehilangan pandangan pada apa yang sesungguhnya sangat penting, yaitu semangat untuk menyebarkan firman-Nya yang hanya dapat dinyalakan oleh kuasa Roh Kudus dan penyertaan-Nya. Ketika saya bersandar pada Roh Kudus untuk menginjil di tanah yang asing itu, saya sungguh merasakan kuasa-Nya. Roh Kudus memberikan penghiburan besar untuk terus memberitakan Injil.
Selain itu, jemaat di Zambia mengingatkan saya bahwa kita adalah satu keluarga besar di dalam Kristus. Saya akan senantiasa mengenang kemurahan hati mereka mempersiapkan makanan yang nikmat bagi kami, ramah tamah mereka menampung kami di rumah-rumah mereka yang sederhana, dan kasih mereka yang tulus mendoakan kami ketika bepergian menuju tujuan perjalanan berikutnya.
Terpujilah Tuhan atas berkat-berkat-Nya yang ajaib. Kiranya segala kuasa, pujian, dan kemuliaan bagi nama-Nya yang kudus. Amin.