Bukan Yatim Piatu
Dalam nama Tuhan Yesus bersaksi,
Nama saya Tjoeng Hendra, jemaat Gereja Yesus Sejati cabang Daan Mogot, Jakarta Barat.
Rumah nenek
Berlibur ke rumah nenek di luar kota adalah hal rutin bagi keluarga kami. Akhir Februari 1995, kami sekeluarga berangkat dari Jakarta, untuk berlibur ke rumah nenek di Surabaya. Sebelum berangkat, kami berdoa memohon perlindungan-Nya.
Liburan
Perjalanan ke Surabaya memakan waktu sekitar 20 jam. Sangat melelahkan, tetapi kami selalu senang bisa mengunjungi nenek. Di rumah nenek, kami menginap selama seminggu. Hari demi hari kami lewati dengan senang di rumah nenek. Hingga tiba saatnya berpisah dengan nenek.
Bersiap pulang
Kami sudah terbayang harus kembali menempuh perjalanan yang sangat panjang sebelum tiba Jakarta. Seperti biasa, sebelum berangkat kami berdoa memohon perlindungan Tuhan. Yang menyetir mobil kakak sulung, di sebelahnya kakak yang ke-2. Saya bersama papa mama di kursi belakang.
Cirebon
Tanggal 5 Maret 1995, sekitar jam 20:30, kami melewati sebuah jalan di dekat kota Cirebon. Saat itu hujan gerimis. Tiba-tiba mobil yang kami kendarai slip tidak bisa dikendalikan. Kakak sulung berusaha sekuat tenaga mengendalikan mobil yang sedang slip itu. Papa dan mama berdoa dan berseru “Haleluya”, berharap kami sekeluarga bisa selamat. Tiba-tiba saya hilang kesadaran, tidak tahu apa yang terjadi. Semuanya mendadak gelap.
Apa yang terjadi?
Ketika siuman, tinggal saya sendiri di dalam mobil. Saya bingung, saat melihat bercak darah di jok mobil, kaca mobil berhamburan di jok mobil belakang, atap mobil ringsek, tercium bau bensin. Lalu saya baru mulai merasakan sakit luar biasa pada lengan kanan. Telinga kiri mengeluarkan darah. Saya sungguh tidak tahu, apa yang baru saja terjadi.
Ambulans
Saat itu ada seorang polisi bertanya : “Dik, kamu bisa keluar?” Saya mencoba sekuat tenaga untuk keluar dari mobil, tetapi karena sakit luar biasa pada lengan kanan, saya menyerah. Akhirnya polisi bekerja sama dengan beberapa warga setempat, mencoba mengeluarkan saya dari dalam mobil. Lalu saya diangkut dengan mobil ambulans ke rumah sakit terdekat.
Rumah Sakit
Sesampainya di rumah sakit, kepala saya dijahit. Lalu jalani rawat inap selama dua hari. Karena peralatan rumah sakit di daerah itu kurang memadai, perawatan dilanjutkan di sebuah rumah sakit di Jakarta. Dokter yang memeriksa lalu mengatakan bahwa saya harus menjalani operasi pemasangan pen. Dua buah pelat besi akan ditanam untuk menyangga tulang bahu saya yang terlepas dan sudah patah.
Kasih Jemaat
Selama saya dirawat di Rumah Sakit, banyak jemaat Gereja Yesus Sejati yang menjenguk. Saya merasakan kasih persaudaraan yang hangat dengan saudara-saudari seiman. Mereka sangat memperhatikan saya, bahkan ada yang sampai menginap menemani saya di rumah sakit. Sungguh ini kasih jemaat gereja yang sangat nyata.
Hadapi kenyataan
Kedua kakak saya mengalami cedera, walau tidak lebih serius dari cedera saya.Tetapi saya masih belum tahu bagaimana keadaan papa dan mama. Saat seorang pendeta menjenguk saya, akhirnya dijelaskan kalau dua orang tua saya wafat saat kecelakaan itu. Saya paham kalimat itu. Tapi saya tidak menangis. Mungkin karena sedang kesakitan. Mungkin sudah siap mental. Saya tidak tahu.
Pemakaman
Orangtua saya dimakamkan tepat di hari saya menjalani operasi. Penyesalan saya adalah tidak dapat menghadiri acara pemakaman orangtua, karena saya sedang dirawat. Memang terasa ironis karena saya anak mereka.
Pemulihan Fisik
Seiring berjalannya waktu, saya mulai bisa menerima kenyataan pahit itu. Setelah seminggu dirawat, saya keluar dari Rumah Sakit. Lalu menjalani perawatan di rumah selama beberapa waktu. Tangan saya akhirnya mulai bisa digunakan untuk bekerja. Keadaan fisik saya semakin membaik.
Pemulihan Batin
Suatu hari, saya sedang sendirian di rumah. Dua kakak saya sedang keluar. Rumah terasa begitu sepi. Saya merasa begitu kehilangan orangtua. Tidak terlihat lagi sosok mereka di rumah. Tidak terdengar lagi suara mereka menegur kami anak-anaknya. Tidak ada lagi suara mama yang menyuruh saya tidur tiap jam 21:30. Saat itulah, saya baru menangis tersedu-sedu.
Diizinkan = Sudah Diukur
Saat kejadian itu, saya masih seorang remaja yang berusia 15 tahun. Setelah itu, saat menghadapi berbagai masalah hidup, saya hanya bisa berdoa, menyampaikan tiap keIuhan dalam nama YESUS. Dan satu per satu masalah dapat terselesaikan dengan pertolongan-Nya. Ini yang menjadi penghiburan terbesar, sehingga akhirnya saya bisa menerima kepergian orang tua saya dengan ikhlas. Setiap orang mungkin akan menghadapi “badai hidup” yang diizinkan-Nya, tapi juga sudah diukur oleh Tuhan.
Masa SMU
Saya sungguh merasakan pimpinan dan penyertaan Tuhan Yesus. Setelah kecelakaan itu, sebagai pelajar SMU kelas 1, saya tetap harus melanjutkan pendidikan. Puji Tuhan, saya bisa naik kelas, walaupun cukup berat karena harus menyusul banyak pelajaran sekolah yang tertinggal, selama masa perawatan.
Masa kuliah
Selama kuliah, tiap ujian akhir semester (UAS) saya selalu berdoa dan berpuasa, memohon penyertaan Tuhan agar saya bisa lulus di semua mata kuliah, tanpa perlu mengulang. Saya sadar betul bahwa biaya tiap mata kuliah tidak murah. Puji Tuhan, saya bisa lulus kuliah dalam empat tahun, tanpa mengulang satu mata kuliah pun. Sungguh, ini karena kemurahan Tuhan.
Dunia kerja
Memasuki dunia kerja, Tuhan pimpin dan sertai saat melamar pekerjaan, sehingga bisa mendapat pekerjaan yang cukup baik. Di dunia kerja saya harus menghadapi banyak tantangan. Harus menghadapi berbagai macam karakter manusia. Namun Tuhan tetap sertai dan mengajarkan semua hal yang saya butuhkan itu.
Tiga Bersaudara
Sejak kepergian orangtua, kami tinggal bertiga di rumah tersebut. Puji Tuhan, waktu boleh memudar, tapi persatuan kami tidak pernah memudar. Akhirnya, kami satu per satu menikah. Masing-masing sudah diberkati dengan hunian sendiri. Masing-masing mendapatkan istri yang seiman dan takut akan Tuhan. Anak-anak kami diberkati dengan kesehatan dan hikmat dari Tuhan. Tuhan terus memelihara kami bertiga, baik secara rohani maupun jasmani, sehingga kami tidak kekurangan apapun.
Bimbingan Roh Kudus
Waktu terus berlalu. Tahun demi tahun. Tidak terasa, saat menulis kesaksian ini, sudah 26 tahun berlalu tanpa kehadiran orang tua. Memang tidak mudah. Namun yang pasti, kepergian orang tua membuat saya sangat merasakan bimbingan Yesus, yang saya rasakan menjadi sosok pengganti orangtua, yang selalu membimbing hidup saya lewat Roh Kudus-Nya hingga saat ini. Seperti dalam Yohanes 14:18, Yesus pernah berkata kepada murid-murid-Nya bahwa Dia tidak akan membiarkan murid-murid-Nya menjadi yatim piatu.
Segala kemuliaan dan puji syukur hanya bagi Tuhan Yesus. Haleluya. Amin.