Tuhan Berjalan Bersamaku Melalui Lembah
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Li Lin – New York, Amerika Serikat
Catatan editor: Pandemi COVID-19 dapat disebut pemerata sosial yang hebat, karena selebritis terkaya, politisi kelas teratas, dan atlet terkuat sekalipun tidak kebal terhadap dampaknya. Ketakutan akan virus korona menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa yang lemah, miskin, dan rentan dalam komunitas memiliki risiko terbesar terhadap virus ini dan akibatnya. Kelompok ini begitu mengandalkan layanan kesehatan masyarakat yang kewalahan, bukan hanya ketika mereka terjangkit COVID-19, namun untuk seluruh layanan kesehatan gawat darurat dan rawat jalan lainnya. Berlawanan dengan latar belakang inilah maka beberapa kesaksian ini ditulis. Bagi jemaat Gereja Yesus Sejati di seluruh dunia, entah terjangkit COVID-19 atau mengalami kondisi lainnya, baik memiliki akses untuk layanan kesehatan atau tidak, kita tidak perlu kuatir. Harapan untuk sembuh dan kekuatan untuk menanggung semua penderitaan fisik ada pada Bapa Surgawi kita. Bahkan di tengah krisis kesehatan global, kita tahu bahwa kita dapat menghadapi segala hal bersama dengan Tuhan di sisi kita.
Tanggal 28 Maret 2020 malam, setelah beberapa hari pusing dan sakit kepala, saya memutuskan untuk menghubungi 911 (layanan darurat). Setelah tiba, anggota paramedis mengukur suhu tubuh saya. Hasilnya 103 derajat Fahrenheit (39,4 derajat Celcius). Saya demam dan merasa sangat lemah, dengan detak jantung 105 denyut per menit (bpm). Saya merasa seolah-olah akan segera meninggal. Karena pandemi COVID-19, suami saya tidak diperkenankan menemani saya ke rumah sakit. Tiba di rumah sakit, saya segera dibawa ke tenda non permanen di luar rumah sakit. Setelah beberapa pemeriksaan singkat, mereka memastikan saya memiliki gejala COVID-19 dan membawa saya ke ruang gawat darurat.
Dalam prosesnya, saya juga mengalami diare dan harus pergi ke kamar mandi setiap sepuluh menit. Semua perawat sangat sibuk, dan saya ditinggal sendirian. Saya tidak punya pilihan lain kecuali berjalan perlahan-lahan ke kamar mandi, bersandar ke dinding setiap beberapa menit dalam perjalanan ke kamar mandi. Dalam hati, saya terus mengucapkan, “Haleluya.” Saya harus mengerahkan seluruh energi dan fokus yang bisa saya kumpulkan. Bersyukur kepada Tuhan, setelah beberapa saat, seorang perawat muncul, menempatkan saya di kursi roda dan mengantarkan saya ke kamar mandi, dan setelah itu membantu saya ke atas tempat tidur.
Dari tempat tidur saya yang berada di sudut, saya melihat banyak perawat begitu sibuk di ruang gawat darurat. Seluruh ruangan dipasang tempat tidur sementara. Ruangan pun penuh dengan begitu banyaknya pasien. Berbaring di sana, saya merasa sangat sedih. Tak lama kemudian seorang perawat melakukan pemeriksaan darah dan tes swab COVID-19 lalu memberikan obat-obatan kepada saya. Setelah tiga puluh menit, terjadi reaksi alergi pada saya dan rasanya sangat gatal. Perlu satu sampai dua jam sebelum perawat dapat mengunjungi saya kembali dan memberikan obat anti alergi. Selain masih diare, saya didiagnosa mengidap masalah hati (liver). Saya harus tinggal di rumah sakit lebih lama lagi. Saat itu, saya tidak tahu apakah saya terjangkit COVID-19 atau tidak.
Saya bersyukur kepada Tuhan karena membukakan telinga saya selama periode ini. Kemampuan bahasa Inggris saya buruk, dan tidak ada penerjemah. Namun mengherankan, apapun yang dokter katakan dalam bahasa Inggris, saya dapat memahaminya, dan saya juga dapat menjawab dalam bahasa Inggris. Tuhan sungguh ada di sisi saya.
Saya harus menunggu di ruang gawat darurat selama satu hari dua malam. Saat itu, saya tidak mengetahui waktu, dan tidak tahu apakah saya akan tetap hidup. Kemudian, tanggal 1 April pagi, saya dipindahkan ke sebuah ruangan. Akhirnya, suasana menjadi tenang. Saya bertanya kepada perawat apakah saya benar-benar terjangkit virus (COVID-19), dan ia menjawab ya. Pada saat itu juga, pikiran saya menjadi kosong, dan saya diliputi dengan kecemasan.
Karena pandemi, waktu makan di rumah sakit menjadi kacau dan terlambat dari jadwal. Saya tidak bisa makan, dan belum memakan apapun selama tiga hari. Saya harus mengkonsumsi beberapa jenis obat, dan perut saya mulai terasa tidak nyaman. Saya pun mengalami muntah parah. Jika saya minum segelas air, saya akan memuntahkan kembali setengahnya. Walaupun saya telah menekan tombol bantuan untuk memanggil perawat, namun tidak ada yang datang untuk membantu. Saya harus menunggu beberapa jam sebelum ada yang datang untuk memeriksa. Saya diberitahu bahwa muntah yang dialami dapat juga merupakan gejala dari virus (COVID-19). Saya bersyukur bahwa, melalui semua keadaan yang berat ini, Dia memberikan saya kekuatan yang cukup untuk berjalan ke kamar mandi ketika tidak ada yang membantu.
Masih ada lagi. Saya tidak dapat tidur selama empat hari. Saya sendirian, menderita diare dan terus muntah ketika menjalani dialisis untuk masalah ginjal saya yang telah ada sebelumnya. Saya merasa terkuras dan tidak bertenaga. Hal yang paling menyedihkan yang harus saya alami adalah menyaksikan pasien COVID-19 di ruangan yang sama dengan saya akhirnya meninggal. Saya merasa sangat sesak dan tidak tahu apakah saya sendiri dapat bertahan. Saya berkata kepada diri sendiri untuk tidak menangis, karena begitu saya mulai menangis, saya akan merasa tidak dapat bertahan. Keluarga dan anak-anak saya menunggu di rumah. Namun Tuhan Yesus Kristus ada di sisi saya. Saya berseru kepada Tuhan, berkata dalam hati kepada-Nya bahwa saya ingin hidup.
Pada hari ketiga, saya berkata kepada dua perawat yang sedang bertugas, yang belum pernah saya lihat sebelumnya, bahwa saya tidak dapat makan makanan rumah sakit dan merasa kelaparan. Kakak perempuan saya membawakan saya bubur, dan salah seorang perawat bersedia untuk mengambilkannya untuk saya. Karena pandemi, saya dikarantina di ruang isolasi, di mana petugas medis menggunakan perlengkapan perlindungan diri. Mereka harus melepaskan lapisan perlindungannya sebelum keluar dari ruangan saya. Ketika perawat membawakan makanan tersebut, saya merasa terharu hingga menitikkan air mata. Tidak mudah bagi semangkuk bubur ini untuk sampai kepada saya. Tuhan mendengar tangisan saya, dan Dia mengulurkan tangan-Nya yang perkasa mengirimkan perawat ini kepada saya.
Pada hari keempat, kondisi saya membaik. Saya berada di jalan menuju kesembuhan. Saya merasa seperti sebuah gunung telah diangkat dari tubuh saya. Walaupun masih merasa lelah, saya dapat melakukan panggilan video dengan seluruh anggota keluarga saya, dan hati saya sangat terhibur. Tekanan darah, detak jantung, dan suhu tubuh saya kembali normal, dan jumlah sel darah putih saya meningkat. Dokter memberitahu bahwa saya boleh pulang dalam dua hari. Dan benar, saya dapat kembali ke rumah pada tanggal 4 April. Saya berada di rumah sakit hanya selama tujuh hari, walau rasanya lama sekali.
Selama saya dirawat di rumah sakit, saya menyaksikan banyak kematian, namun saya bersyukur kepada Tuhan saya dapat pulang ke rumah. Karena mengkonsumsi obat-obatan untuk darah tinggi, saya termasuk yang berisiko tinggi untuk COVID-19.
Tongkat- Nya menghibur hati saya. Dia melihat tangisan anggota keluarga saya, dan Dia menghapus air mata mereka. Kiranya segala kemuliaan hanya bagi Tuhan!