SAUH BAGI JIWA
“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”
(Filipi 1:21)
“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”
(Filipi 1:21)
Paul Kalanithi, seorang ahli bedah syaraf, menulis buku otobiografi berjudul ‘Bila nafas menjadi udara’. Buku ini berisi pemikirannya yang mendalam tentang makna kehidupan, sewaktu dia berjuang melawan kanker paru-paru ganas yang mematikan, sebelum akhirnya meninggal pada usia 37 tahun. Di dalam bukunya dia menulis: “Hidup yang bagaimana adalah hidup sesungguhnya? Apakah kau rela kehilangan kemampuan berbicara karena operasi medis untuk mendapatkan extra hidup beberapa bulan dalam keheningan?” Lebih lanjut dia menulis: “Lebih baik mati dengan sederhana, atau hidup tidak berdaya bergumul dengan mengandalkan kantong-kantong infus?” Dia begitu bimbang antara harus berjuang untuk menambah hidupnya beberapa bulan di dalam penderitaan, atau meninggalkan dunia ini begitu saja. Namun akhirnya dia pun meninggal.
Seorang saudara di gereja, dua kali terserang stroke. Pada serangan pertama, sewaktu dirawat di rumah sakit, anak dari ibu tua yang dirawat di sebelah ranjangnya memperkenalkan Tuhan Yesus kepadanya, sehingga dia menjadi percaya. Tuhan Yesus berbelas kasih sehingga dia lambat laun menjadi pulih dan akhirnya dapat bergerak. Walaupun masih perlu bersusah payah menggunakan satu tangan dan satu kaki, dia dapat hidup mandiri tanpa perlu mengandalkan orang lain. Dia pun rajin ke gereja dan membaca Alkitab. Bahkan dia sudah membacanya sebanyak 11 kali. Untuk membalas kasih Tuhan, setiap hari Sabat dia memasak dua setengah kilogram kacang goreng sebagai cemilan tambahan untuk acara makan siang bersama di gereja. Kacang gorengnya lalu dikenal sebagai ‘kacang goreng syukur’.
Sepuluh tahun berlalu dengan penuh damai dan sukacita. Namun serangan stroke kedua menimpa dia. Ketika tim besuk gereja mengunjunginya di rumah sakit, sekujur tubuhnya tidak dapat bergerak. Dia hanya dapat mengisi perutnya dengan makanan kental khusus, dengan menggunakan selang melalui hidungnya. Dia menatap kami dengan penuh perasaan dan menitikkan air mata. Kali ini, dia pun tidak luput dari kematian.
Paulus di Kitab Filipi 1:23-24 mengungkapkan kebimbangan dan keputusannya: “Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus–itu memang jauh lebih baik; tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu.”
Kita sebagai manusia, sewaktu terpojok di tepi kematian, kita tidak tahu berapa lama lagi kita akan hidup. Namun pertanyaan sesungguhnya bukanlah berapa lama lagi kita akan hidup, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita telah menjalani hidup yang berarti dan bernilai bagi Tuhan.
Kalau kita dapat hidup bergaul dengan Tuhan, selama kita masih kuat dan mampu, selangkah demi selangkah terus menjalankan firman Tuhan, maka akhirnya kita akan dapat dengan lantang berkata seperti Paulus: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”
SAUH BAGI JIWA
“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”
(Filipi 1:21)
“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”
(Filipi 1:21)
Paul Kalanithi, seorang ahli bedah syaraf, menulis buku otobiografi berjudul ‘Bila nafas menjadi udara’. Buku ini berisi pemikirannya yang mendalam tentang makna kehidupan, sewaktu dia berjuang melawan kanker paru-paru ganas yang mematikan, sebelum akhirnya meninggal pada usia 37 tahun. Di dalam bukunya dia menulis: “Hidup yang bagaimana adalah hidup sesungguhnya? Apakah kau rela kehilangan kemampuan berbicara karena operasi medis untuk mendapatkan extra hidup beberapa bulan dalam keheningan?” Lebih lanjut dia menulis: “Lebih baik mati dengan sederhana, atau hidup tidak berdaya bergumul dengan mengandalkan kantong-kantong infus?” Dia begitu bimbang antara harus berjuang untuk menambah hidupnya beberapa bulan di dalam penderitaan, atau meninggalkan dunia ini begitu saja. Namun akhirnya dia pun meninggal.
Seorang saudara di gereja, dua kali terserang stroke. Pada serangan pertama, sewaktu dirawat di rumah sakit, anak dari ibu tua yang dirawat di sebelah ranjangnya memperkenalkan Tuhan Yesus kepadanya, sehingga dia menjadi percaya. Tuhan Yesus berbelas kasih sehingga dia lambat laun menjadi pulih dan akhirnya dapat bergerak. Walaupun masih perlu bersusah payah menggunakan satu tangan dan satu kaki, dia dapat hidup mandiri tanpa perlu mengandalkan orang lain. Dia pun rajin ke gereja dan membaca Alkitab. Bahkan dia sudah membacanya sebanyak 11 kali. Untuk membalas kasih Tuhan, setiap hari Sabat dia memasak dua setengah kilogram kacang goreng sebagai cemilan tambahan untuk acara makan siang bersama di gereja. Kacang gorengnya lalu dikenal sebagai ‘kacang goreng syukur’.
Sepuluh tahun berlalu dengan penuh damai dan sukacita. Namun serangan stroke kedua menimpa dia. Ketika tim besuk gereja mengunjunginya di rumah sakit, sekujur tubuhnya tidak dapat bergerak. Dia hanya dapat mengisi perutnya dengan makanan kental khusus, dengan menggunakan selang melalui hidungnya. Dia menatap kami dengan penuh perasaan dan menitikkan air mata. Kali ini, dia pun tidak luput dari kematian.
Paulus di Kitab Filipi 1:23-24 mengungkapkan kebimbangan dan keputusannya: “Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus–itu memang jauh lebih baik; tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu.”
Kita sebagai manusia, sewaktu terpojok di tepi kematian, kita tidak tahu berapa lama lagi kita akan hidup. Namun pertanyaan sesungguhnya bukanlah berapa lama lagi kita akan hidup, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita telah menjalani hidup yang berarti dan bernilai bagi Tuhan.
Kalau kita dapat hidup bergaul dengan Tuhan, selama kita masih kuat dan mampu, selangkah demi selangkah terus menjalankan firman Tuhan, maka akhirnya kita akan dapat dengan lantang berkata seperti Paulus: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”